DAKWAH adalah PASSION



Dakwah tentu bukanlah perkara mudah. Jalan dakwah senantiasa dihadapkan pada tantangan dan hambatan. Sebagaimana yang telah dilalui oleh para pendahulu, Para nabi dan Rasul, Sahabat rasulullah saw, hingga orang-orang shalih setelahnya. Dakwah hari ini pun demikian, tentu akan berhadapan dengan berbagai tantangan dan hambatan karena demikianlah tabiat aktivitas dakwah. Namun, bagi setiap muslim yang memahami tujuan hidupnya di alam dunia, akan mampu memahami bahwa dakwah adalah bagian yang tak dapat terpisahkan dalam kehidupannya. Artinya, ia akan memahami bahwa dakwah adalah kewajiban dalam hidupnya.

Berbicara dakwah, saya teringat pesan dari seorang guru, beliau berpesan “Jadikan dakwah sebagai passion”. Mungkin bagi sebagian orang, kalimat ini terdengar klise, tapi bagi saya pernyataan ini memiliki makna mendalam. Pernyataan yang mampu menjawab pertanyaan, mengapa ada orang yang tampak menikmati kesempatan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk terlibat dalam aktivitas dakwah, pagi berada dalam salah satu forum dakwah, siang dan sore di hari yang sama tampak berpindah dalam satu forum dakwah ke forum serupa di tempat lain. Tidak hanya itu, tak sedikit harta yang dikeluarkan untuk memudahkan aktivitasnya dalam dakwah, bahkan seluruh kemampuan dan profesinya dioptimalkan untuk memberikan kontribusi terbaik dalam dakwah. Dan ia tampak menyenangi setiap saat diberi kesempatan untuk mengerjakannya. Hal yang asing, di tengah kehidupan masyarakat hari ini yang serba menuntut kesibukan diri pribadi. Ah, Passion, mungkin itu jawabannya.

Dalam berbagai literatur yang mengangkat tema tentang pengembangan diri, passion menjadi kata familliar yang seringkali disebut sebagai kunci bagi siapapun yang ingin mencapai apa yang dicita-citakannya. Seseorang yang melakukan pekerjaan sesuai dengan passionnya, akan menikmati pekerjaan yang dilakukannya, menyukai setiap kali diberi waktu untuk mengerjakannya, bahkan rela mengorbankan berbagai hal yang dimilikinya agar dapat melakukan apa yang menjadi passionnya. Passion bukan berarti menghilangkan lelah, namun kondisi apapun dalam mengerjakannya, passion membuatnya mampu menikmati aktivitas tersebut.

Begitu pula jadinya, jika seorang memilih dakwah sebagai passionnya. Ia akan menikmati setiap aktivitas yang dilakukannya dalam dakwah, ia senang setiap diberi kesempatan melaksanakan aktivitas dakwah, bahkan rela mengorbankan berbagai hal agar dapat melakukan aktivitas yang berkontribusi dalam dakwah. Setiap kesempatan dalam dakwah justru mampu mengisi hari-harinya dengan kesenangan menjalaninya. Hingga, setiap kemampuan dan profesinya dioptimalkan untuk dapat memberikan peran terbaik dalam dakwah. Inilah makna, menjadikan dakwah sebagai passion.

Seorang muslim semestinya menikmati setiap aktivitas yang diperintahkan Allah swt kepadanya. Dengannya, ia akan mampu menyenangi aktivitasnya dalam dakwah islam. Menikmati dan menyenangi akan mendorongnya mampu mempersembahkan kontribusi terbaik dalam dakwah. Tantangan dan hambatan dihadapi seorang pengemban dakwah dengan keyakinan dan pengharapan pada Rabbnya, ia tak akan rela melemah apalagi mundur dari dakwah tersebab mengerjakannya merupakan kenikmatan baginya.

Saya teringat, kisah para sahabat Rasulullah saw. Sosok generasi terbaik yang mampu mewujudkan gambaran menikmati jalan dakwah islam. Seorang Sahabiyah, Asma binti Abu Bakar menyambut gembira kedatangan Rasulullah sesaat akan berhijrah dan membantu menyiapkan segala perbekalan. Seorang muslimah pemberani yang membelah kain miliknya, satu bagian digunakan untuk mengikat bekal makanan untuk Rasul dan ayahnya saat perjalanan hijrahnya, satu bagian lainnya digunakan untuk mengikatkan pedang. Karena hal itu, beliau dijuluki pemilik dua ikat pinggang. Di malam hari, ia pergi mengantarkan bekal makanan serta menyampaikan kabar tentang kondisi kaum Quraisy yang berniat membunuh Rasulullah saw. Sikapnya ini tidak lain karena kecintaannya kepada Rasulullah saw dan dakwah islam. Hal ini kemudian mendorongnya berupaya mempersembahkan kontribusi terbaik dalam dakwah.

Kisah semisal datang dari shahabiyah Nushoibah binti Kaab. Seorang muslimah yang saat perang Uhud bergabung dalam barisan penjaga Rasulullah saw, hal ini dilakukannya dalam kondisi pasukan kaum muslim terdesak musuh. Hingga, ketika Rasulullah saw melihat 12 luka di sekujur tubuh Nushoibah, Rasulullah saw berdoa dan berpesan "Wahai Abdullah -putra Nusaibah-, balutlah luka ibumu! Ya Allah, jadikanlah Nusaibah dan anaknya sebagai sahabatku di dalam surga". Mendengar doa Rasulullah, Nusaibah tak lagi menghiraukan luka di tubuhnya dan terus berperang, membela Rasulullah dan agama Allah. Lalu, ia berkata "Aku telah meninggalkan urusan duniawi". Sikap Nushoibah binti Kaab tentu lahir dari kecintaannya kepada Allah, RasulNya dan dakwah. Hal ini mendorongnya untuk memberikan kontribusi terbaik dalam dakwah. Banyak gambaran kisah lainnya. Kisah para pejuang yang mencintai dakwah islam. Lantaran kecintaan, mendorong dirinya rela mempersembahkan hal terbaik dalam dakwah islam. MasyaAllah... teladan generasi terbaik yang sebagian dari kita -termasuk penulis- masih terlalu jauh untuk sebanding dengannya.

Semoga Allah swt senantiasa menjadikan kita bagian dari hamba yang senantiasa mencintaiNya dan mencintai islam. Dengan rasa cinta pada Allah, Rasul dan dakwah islam mendorong kita untuk senantiasa istiqomah dan siap memberikan kontribusi terbaik di jalan dakwah. Dengan kecintaan kepada dakwah menjadikan kita mampu menikmati setiap aktivitas di jalan ini. Hingga, cita-cita tertinggi setiap muslim mampu kita raih.

Tentu kita sangat ingin menjadi bagian orang yang disebutkan dalam ayat “Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah irji'ii ilaa Rabbiki raadhiyatan mardhiyyah. Fadkhulii fii 'ibaadii wadkhulii jannatii (Hai jiwa yang tenang kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridhai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu. Maka masuklah ke dalam surga-Ku),” (surat Al-Fajr: 27-30). Cukuplah Allah swt sebaik-baik tempat berharap.

Oleh: Habibah Bahrun Hamidy
(Aliansi Penulis Pena Ideologis)

Posting Komentar

0 Komentar