DERADIKALISASI, UPAYA BUNGKAM NALAR KRITIS DAN DAKWAH ISLAM


Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin telah mengumumkan susunan menteri dalam kabinet yang akan membantunya menjalani roda pemerintahan periode 2019-2024. Mereka mengumumkan di Istana Negara pada Rabu pagi (23/10) lalu.

Namun seiring terbentuknya kabinet yang dinamakan Kabinet Indonesia Maju tersebut, memunculkan pula kegaduhan dan berbagai kritik di tengah masyarakat. Karena selain dari penempatan pos-pos menteri yang tak biasa, meluncurkan agenda yang menuai kontroversi yakni lagi-lagi tentang Deradikalisasi. Agenda yang penuh dengan aroma propaganda yang menyasar umat dan ajaran Islam.

Tak tanggung-tanggung agenda rezim yang disebut-sebut untuk menanggulangi persoalan radikalisme tersebut telah disusun dengan menyiapkan formasi kementerian khusus. Selain Fahrul Razi selaku Menteri Agama dijadikan garda terdepan untuk menumpas radikalisme.

Nama lain tersebut adalah Tito Karnavian Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kummolo Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Prabowo Subianto Menteri Pertahanan.

Dari berbagai rekam jejaknya, ada Tito Karnavian merupakan mantan Kapolri, ia pernah menjabat sebagai Kepala Densus 88 Antiteror Polri dan Kepala Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT). Ada juga Menko Polhukam Mahfud MD pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

Selain itu, Tjahjo Kumulo juga memiliki rekam jejak mendukung pembubaran Hizbur Tahrir Indonesia salah satu ormas dan partai politik Islam yang aktif dalam mengkritik kebijakan-kebijakan zalim pemerintah. Tjahjo Kumolo juga mempersulit perpanjangan izin ormas Front Pembela Islam pada saat menjabat sebagai Kemendagri. Dan Kini Thajo menjabat Menpan RB.

Maka tak ayal beragam kritik dan pertanyaan publik mencuat tatkala pemerintah tak henti-hentinya kembali membiaskan isu radikalisme lewat agenda pemerintahan. Bukannya fokus pada berbagai permasalahan yang jelas terlihat semakin membelit rakyat, pemerintah justru terfokus pada sesuatu yang tidak jelas arah dan faktanya.

Isu radikalisme bukanlah barang baru yang setiap tahun selalu dimainkan oleh pemerintah yang tujuannya tiada lain yakni untuk menghilangkan fokus dan respon masyarakat terhadap berbagai kegagalan pemerintah. Analisa tersebut juga diutarakan oleh beberapa tokoh nasional, salah satunya dari Rizal Ramli.
Rizal Ramli, pakar ekonomi dan mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia itu, isu radikalisme yang didengungkan pemerintah bukan hal yang aneh. Menurutnya, isu ini akan terus dimainkan dalam setahun pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin.
“Setahun kedepan agaknya akan digoreng terus isu 3R (radikalisasi, radikulisasi & radikolisasi),” sindirnya dalam akun Twitter pribadi sesaat lalu, Minggu (27/10).

Ya, sungguh analisa yang dapat diterima secara logika berangkat dari fakta bahwa roda perekonomian masyarakat saat ini memang cenderung lesu akibat kegagalan urus serta hegemoni asing dan kapitalis atas negeri ini.

Selain untuk menutupi kegagalan pemerintah, nyanyian narasi radikalisme ini juga bertujuan untuk membungkam arus gelombang kritik dan perlawanan masyarakat terhadap berbagai kedzaliman dan ketidakadilan.Terutama dari para ulama, intelektual dan tokoh Islam yang cenderung vokal menyuarakan sikap kritisnya terhadap kebijakan-kebijakan zalim Penguasa.

Kondisi masyarakat yang kian melek politik dan sadar akan kegagalan rezim dalam mengurus rakyat dan negara. Menyadarkan rezim untuk melakukan sebuah manuver yakni agenda deradikalisasi atau peperangan terhadap radikalisme guna sebagai ancaman dan pembungkaman terhadap pihak-pihak yang berpotensi dapat mengusik kepentingannya.

Lebih dari itu, agenda deradikalisasi ini bukan hanya untuk membungkam sikap kritis masyarakat, tapi juga diarahkan untuk menyerang pemikiran, organisasi dan aktifitas politik Islam yang mengajarkan tentang wajibnya muhasabah/menasihati pemimpin dan ajaran islam tentang khilafah. Bagaimana tidak, melalui Kemenag pemerintah memberi ancaman kepada orang-orang yang mendukung Khilafah agar keluar dari Indonesia. Padahal perkara Khilafah adalah perkara ajaran mulia, penting dan tidak bisa dilepaskan dari umat Islam.

Ironis memang, demokrasi yang disebut-sebut sebagai sistem yang menjamin kebebasan berpendapat dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia justru bertindak secara arogan dan menunjukkan sikap anti kritik dengan cara licik berusaha mengekang dan menutup akses aktivitas masyarakat yang ingin menyuarakan pendapatnya.
Hal demikian sangatlah bertolak belakang dengan pandangan Islam, di dalam Islam aktivitas mengoreksi penguasa yang lalai dan pemimpin yang dzalim adalah sebuah keniscayaan yang telah diwajibkan Syara'.
Dari Tamim al-Dari ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Agama itu adalah nasihat’. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi Saw. bersabda: ‘Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin dan kaum Muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim)

Terang sudah, sikap kritis dan muhasabah atas kepemimpinan yang dzalim sangat dimuliakan di dalam Islam. Bahkan Rasulullah memuliakan sikap kritis kepada pemimpin yang dzalim seperti halnya amalan berjihad, beliau bersabda “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)

“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dan al-Thabrani).

Maka sungguh jelas agenda deradikalisasi atau peperangan terhadap radikalisme dalam demokrasi hanyalah upaya dan propaganda licik rezim anti kritik untuk membungkam kebenaran dan memerangi ajaran Islam.  Dan hanya sistem Islamlah satu-satunya sistem yang mampu diharapkan bagi umat. Untuk memiliki para pemimpin yang akan menjaga haknya, memuliakan dan melindungi rakyatnya dari berbagai kedzaliman.

Wallahu a'lam bishshawwab.

oleh: Liza burhan
Analis Mutiara Umat

Posting Komentar

0 Komentar