PEJUANG LITERASI DI ERA GHAZWUL FIKRI


(Strategi Literasi Berbasis Ideologi) 
“Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar maka menulislah seperti wartawan dan berbicara seperti orator.” (H.O.S. Tjokroaminoto)

Sebuah quotes inspiratif. Menghentak jiwa. Menggugah rasa.

Menjadi pemimpin adalah tugas kehambaan. Allah Swt telah mengamanahkan ke pundak tiap hamba untuk menjadi khalifah fil ‘ardli. Penjaga dan pengelola bumi agar senantiasa lestari hingga hari akhir nanti. 

Pun secara fakta, tiap diri adalah pemimpin. Pemimpin bagi dirinya sendiri. Sebagai ayah, pemimpin di rumah tangga. Ibu, pemimpin bagi putra-putrinya dan di rumah suaminya. Juga amanah kepemimpinan lainnya di komunitas dan masyarakat. Dan ingatlah, bahwa tiap pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.

Jika dia meneguhkan dirinya sebagai insan yang peduli kondisi umat Islam dan bertekad menyelamatkannya dari keterpurukan menuju kegemilangan peradaban, entah berlabel: pejuang Islam, pengemban dakwah, aktivis pergerakan, tokoh Islam, da’i, ustaz, muballigh, dst., berarti dia tengah berproses atau telah menjadi pemimpin bagi umat.

Sesuai quotes di atas, jika kita bercita-cita menjadi pemimpin besar (dan tiap pejuang mesti bermimpi besar ini), maka keterampilan menyampaikan pesan kebenaran, baik melalui lisan dan tulisan harus senantiasa diasah.

*

GHAZWUL FIKRI, INVASI IDEOLOGI

Seorang pejuang dituntut memahami peta pertempuran yang tengah dihadapinya. Hari ini, kita berhadapan dengan situasi perang yang dalam Bahasa Arab disebut ghazwul fikri (invasi/serangan pemikiran). 

Ghazwul fikri(GF) dapat disebut sebagai sebuah istilah kontemporer yang banyak dipopulerkan di kalangan umat Islam. Tujuan GF ialah menjauhkan Muslim dari Islam hingga kehilangan identitas keislamannya. 

Ditilik dari sejarahnya, kemunculan GF sebagai serial lanjutan dari penjajahan fisik yang dilakukan imperialis Barat terhadap dunia Islam selama berabad-abad. GF ialah penyempurnaan, alternatif, dan penggandaan cara peperangan dan penyerbuan mereka terhadap dunia Islam. 

Setelah penjajahan fisik tak mungkin lagi dilakukan secara langsung, maka untuk menjaga kepentingan Barat, mereka menghendaki agar sistem politik, ekonomi, dan sosial di dunia Islam berjalan mengikuti sistem ala Barat. 

Jika secara agama umat Islam sulit dimurtadkan, tetaplah terbuka peluang umat Islam meninggalkan ajaran Islam dan merujuk pada pemikiran Barat.

Sebagai suatu invasi, ia mempunyai unsur ‘kekerasan” atau pemaksaan kehendak kepada pihak lain yang hendak ditaklukkan. Dan sebagai serangan non fisik, ia mempunyai pemahaman yang dekat dengan brain washing (cuci otak), atau istilah-istilah lain seperti thought control, ideological reform, dan menticide. 

GF dilakukan oleh musuh Islam dengan pertimbangan bahwa dibanding melakukan peperangan militer/fisik, maka GF memiliki kelebihan seperti: lebih murah, jangkauan tak terbatas, lebih soft sehingga obyek tidak merasa diperangi, dan obyek tidak melawan bahkan menjadikan idola. 

GF efektif dilancarkan dalam situasi tidak berimbang seperti saat ini, ketika peradaban Barat mendominasi dunia Islam. Mereka menggunakan senjata berupa teknologi komunikasi seperti media massa, media sosial, dll. Adapun peluru yang ditembakkan berupa paham/ide/pemikiran sekularisme berikut derivasinya seperti liberalisme, kapitalisme, dst. Sampai hari ini upaya mereka menuai hasil gemilang.

Menurut Abu Ridha dalam buku “Pengantar Memahami Ghazwul Fikri,” program GF meliputi hal-hal berikut: 

Pertama, tasykik. 

Yakni menciptakan keraguan (skeptis) dan pendangkalan kaum Muslimin terhadap agamanya. Misalnya menggugat otentitas Al quran, mengkampanyekan hukum Islam tidak sesuai tuntutan zaman.

Kedua, tasywih. 

Yaitu menghilangkan kebanggaan kaum Muslimin terhadap ajaran Islam. Dengan cara memberikan gambaran dan stigma buruk terhadap Islam melalui media-media. 

Sehingga terkesan menyeramkan, kejam, dst. Misalnya Islam ajaran radikal. Akibatnya, umat Islam mengalami inferiority complex (rendah diri) dan islamfobia.

Ketiga, tadzwib. 

Yakni pelarutan (akulturasi) peradaban dan pemikiran. Terjadi pencampuradukkan antara haq dan batil. Contohnya, umat Islam terjebak dalam pluralisme dan sinkretisme agama.

Keempat, taghrib. 

Ialah pembaratan (westernisasi) dunia Islam. Mendorong umat Islam agar menerima pemikiran dan budaya Barat dan meninggalkan tsaqafah Islam. Melalui serangan 4F (food, fun, fashion, dan faith), Barat terus mempropagandakan ideologinya.

*

HEGEMONI WACANA DALAM GHAZWUL FIKRI

Hegemoni wacana (perang istilah) merupakan bagian dari GF yang telah menjerat kaum Muslimin. Entah karena ketidaktahuan atau karena menjadi bagian dari agen Barat. Target perang istilah adalah agar negeri-negeri Muslim mudah dihegemoni dan dijajah.

Istilah-istilah ‘asing” seperti Islam garis keras, radikal, teroris, moderat, liberal, fundamental adalah bagian dari proyek imperialisme epistemologis penjajah Barat di dunia Islam. Tujuannya adalah agar kaum muslimin terpecah-belah dengan dan saling melontarkan tuduhan satu sama lain. 

Jika hari ini masih ada Muslim yang justru mempropagandakan istilah-istilah asing ini, maka selain gagal paham, propaganda ini justru berpotensi memecah-belah umat.

Sebab menyebut Islam garis keras sama dengan penyebutan para penjajah dahulu atas Muslim yang tidak mau tunduk kepada penjajah. Logika kacaunya adalah jika ada Islam garis keras, maka ada juga Islam garis loyo.

Perang istilah menurut Dr. Ahmad Ibrahim Khidr dalam makalahnya, Al Islam wa Harb al Musthalahat,” dilakukan dengan dua cara: 

Pertama, taqbih al hasan. 

Yaitu mencitraburukkan perkara yang baik di dalam Islam. Misalnya, istilah jihad yang merupakan ajaran mulia dicitraburukkan sebagai tindakan terorisme. Istilah khilafah yang merupakan ajaran Islam dicitraburukkan sebagai ajaran radikal, intoleran, anti Pancasila, diskriminatif, dan memecah belah bangsa. 

Kedua, tahsin al qabih.

Yakni mencitrakan baik terhadap hal-hal buruk dalam Islam. Contoh kata riba yang dimurkai Allah dicitrakan sebagai fa’idah (manfaat) atau disebut dengan istilah bunga. Sehingga kaum Muslimin tidak takut lagi bertransaksi ribawi. Bahkan pezina yang dilaknat Allah dicitrakan sebagai pekerja seks komersial atau prostitusi. 

Bagi Barat, perang istilah ini sangat penting dan strategis sebagai bagian dari perang ideologi, sebab mereka tahu bahwa senjata ampuh umat Islam adalah akidah dan pemikirannya. Dalam perang istilah ini, Barat akan terus mereduksi dan mendistorsi ajaran Islam dengan tujuan westernisasi. 

Targetnya adalah umat Islam akan kehilangan ilmu dan tsaqafahnya. Maka, lahirlah muslim yang otaknya liberal yang justru berusaha meruntuhkan bangunan pemikiran Islam. 

*

PEJUANG LITERASI HADAPI GHAZWUL FIKRI

Penggagas, pengusung, dan donatur ghazwul fikri ini bekerja dalam skala internasional. Wajib disadari umat Islam sebagai umat yang satu di seluruh dunia, bahwa kaum kuffar Barat merupakan common enemy bagi umat Islam. 

Para aktivis dan pejuang Islam dituntut memberikan pencerahan kepada umat tentang bahaya GF berikut hegemoni istilah yang menyesatkan sebagai propaganda menyerang dan menfitnah Islam. 

Pun, penjelasan tentang hakikat Islam sejati yang sesuai dengan Alquran dan Al hadits.

Hari ini, serangan musuh telah tertata rapi dalam sekian narasi, wacana, dan propaganda. Istilah dilawan dengan istilah. Kata dilawan dengan kata. Goresan pena dan sentuhan keyboard gawai menjadi senjata.  Sehingga menjadi pejuang literasi di era GF ini adalah keniscayaan.

Literasi ialah kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi atau menyampaikan pesan kepada orang lain. Meliputi kemampuan: menyimak, membaca, menulis, dan berbicara. 

Seorang pejuang  mesti memiliki kemampuan literasi yang mencukupi sebagai bekal mengcounter dan menyerang balik pemikiran yang dilancarkan musuh. 

Secara ringkas, proses literasi yang dilakukan adalah: mencari informasi yang benar, melakukan analisa( politik), dan menyebarkan pemikiran yang benar. 

Adapun tahapan literasi bagi pejuang Islam  yaitu: 

1. Memonitor/menyimak berita dan peristiwa terkini.  

Hal ini dilakukan secara kontinyu dan mencoba menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, berita satu dengan berita lainnya. Hingga ditemukan simpul penghubungnya. 

2. Memilah dan memilih berita.

Melakukan pemisahan mana berita benar dan hoax dengan menelusur sumber dan kebenaran berita. Termasuk mana berita yang penting atau prioritas untuk disikapi. Kemudian memahami konteks berita tersebut. Sehingga terhindar dari penyesatan pihak lain.

3. Mencari bahan pustaka yang terkait untuk memperkaya wawasan.

4. Melakukan analisa tentang berita dan perisriwa tersebut.  

Seorang pejuang Islam akan memberikan analisa berdasar sudut pandang ideologi Islam, yaitu bagaimana Islam memandang dan memberikan solusi terhadap peristiwa tersebut.

5. Menyampaikan hasil pendalaman fakta dan analisa kepada umat, baik melalui lisan dan tulisan. 

Selain dengan lisan, menulis merupakan aktivitas literasi yang strategis. Apalagi di era media sosial yang memberikan peluang besar berdakwah demi perubahan  masyarakat Islam yang dicitakan. 

Ingat, menulis juga merupakan warisan para ulama salaf. Kebangkitan peradaban Islam dibangun oleh budaya menulis para ulama dan cendekiawan Muslim. Umat Islam khususnya aktivis dakwah, mestinya mewarisi budaya menulis para ulama ini.

Mari menulis karena Allah Swt dan demi menolong agama Allah Swt.

 Sebagai kalimat penutup, ada sebuah pesan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib R.A.,

“Setiap penulis akan mati, namun karyanya abadi. Tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti.”

Wallaahu a’lam.

Oleh: Puspita Satyawati
(dosOl di UniOl 4.0. Diponorogo)

#LiveOppressedOrRiseUpAgainst!
#LamRad

Posting Komentar

0 Komentar