Memasuki kebebasan berkomunikasi pasca
runtuhnya era orde baru, Pembicaraan politik di forum terbuka maupun di sosial
media yang mengkritisi berbagai masalah tentang kebijakan dan jalannya
pemerintahan menjadi hal yang lumrah. Bahkan pasal 28E ayat 3 UUD 1945 mengatur
tentang kebebasan mengeluarkan pendapat.
Sayangnya, kondisi ini kini harap-harap
cemas. Hal ini menggelayuti pikiran sebagian elit politik negeri ini dengan isu
radikalisme dan kritikkan. Aparatur sipil negara (ASN) harus makin hati-hati
menggunakan media sosial. Pasalnya, mengunggah kiriman “nyinyir” yang
berbau ujaran kebencian bisa dihukum, paling berat bisa dipecat. Mengunggah
tentang pro khilafah pun bisa berujung pemecatan. Sesuai PP 53 tahun 2010
hukuman disiplin bagi ASN, ringannya adalah teguran lisan dan tertulis atau
pernyataan tidak puas. Lalu meningkat bisa ke menengah seperti penundaan
kenaikan pangkat setahun, penundaan kenaikan gaji berkala selama setahun dan
yang terberat adalah pemberhentian.
Kritik dan Pendapat di Demokrasi
Dalam negara demokrasi, kritik sejatinya adalah inti dari demokrasi itu
sendiri. Kritik merupakan cara untuk mengetahui kekurangan, jadi keberadaan
pihak yang melontarkan kritik seharusnya disyukuri bukan dimusuhi. Kritik
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu kecaman atau tanggapan,
kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik dan buruk.
“Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.” Slogan yang berbanding terbalik
dengan kondisi saat ini. Ketika pemerintah dikritik dan rakyat
menyuarakan pendapatnya, rakyat seolah
harus pasrah dengan apa yang dilakukan pemerintah. Mengkritik di makzulkan,
berpendapat dibungkam, hingga sikap diam adalah keharusan.
Dilansir dari CNNIndonesia Plt Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Tjahjo
Kumolo telah memberi sanksi disiplin berupa pencopotan jabatan atau non jabatan
terhadap aparatur sipil negara (ASN) di kantor wilayah Kemenkumham
Balikpapan yang mengunggah konten pro khilafah di media sosial dengan kalimat
“Era Kebangkitan Khilafah telah Tiba”. Jika kita lihat hal ini merupakan
pendapat yang wajar sebab, khilafah adalah ajaran Islam bahkan tidak ada
pertentangan dikalangan jumhur ulama.
Pembungkaman kritik juga terlihat saat menjelang pelantikan presiden dan
wakil presiden yang sangat berlebihan di mata masyarakat. Dirilis dari
Tempo.com (19/10/2019), sekitar 31 ribu personel Polri dan TNI dikerahkan untuk
mengamankan acara pelantikan pada tanggal 20 Oktober 2019. Tak hanya itu,
polisi juga mengeluarkan larangan berdemonstrasi di seluruh daerah hingga
berakhirnya pelantikan. Jenderal Tito Karnavian menyatakan hal itu sebagai
diskresi Polri untuk menjaga harkat dan martabat bangsa. Benarkah slogan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat semata untuk rakyat? Faktanya, malah
membungkam rakyat yang melakukan kritik kepada kebijakan penguasa yang tidak
berpihak kepada rakyat, serta rakyat berhak berpendapat untuk kebaikan bersama.
Rezim Represif
Ironisnya, islamphobia (ketakutan terhadap Islam) itulah yang menggambarkan
sikap rezim saat ini. Islamphobia rezim semakin brutal dan ganas pada
episode kabinet jilid II ini terhadap Islam dan ulama, atas nama melawan
radikalisme. Simbol-simbol Islam seperti bendera tauhid bagi umat islam sebagai
bendera tauhid “Laa ilaha Illallah, Muhammadu Rasulullah”, serta khilafah
yang jelas ajaran Islam di opinikan sebagai simbol radikalisme bahkan
terorisme.
Kritik dan pendapat yang tidak pro pemerintah dianggap pemecah kesatuan
bangsa. Lalu dengan OPM yang jelas-jelas melakukan pembantaian hingga dengan
nyata menyatakan keinginan memisahkan diri dengan bumi pertiwi. Namun tidak
dianggap teroris dan dianggap radikal. Pemerintah seharusnya membuka ruang
diskusi ilmiah kepada pengkritiknya dan orang-orang yang berpendapat tentang
khilafah. Bukan malah memakzulkan hingga memenjarakan yang tidak pro kepada
pemerintah. Bahkan kita ketahui bahwa kalangan pemerintah pun beragama
Islam, maka khilafah seharusnya tidak dianggap common enemy, serta
pemerintah adalah pekerja dan pelayan rakyat seperti slogannya. Sayangnya, yang
terlihat saat ini rezim bukanlah bekerja untuk rakyat tapi untuk kepentingan
tertentu. Itulah tabiat dari sistem demokrasi, sebatas pepesan kosong. Akar
dari aturan buatan manusia hanyalah akan membuahkan kekecewaan.
Penguasa atau pemimpin harus memiliki kesadaran bahwa ia tetaplah manusia
biasa, bukan seperti seorang rasul yang maksum/bebas dari kesalahan. Sebagai
manusia biasa, dia tetaplah punya potensi untuk berbuat salah. Apalagi kekuasaan
termasuk godaan besar bagi manusia, yang bisa mendorong pemegang kekuasaan
untuk berlaku korup bahkan lalim dan diktator. Pemimpin dan penguasa dengan
kesadaran seperti itu tidak akan memposisikan diri sebagai junjungan rakyat.
Sebaliknya, akan mudah bagi dirinya untuk memposisikan diri. Mendengar kritik
dan pendapat bukan malah menutup segala ruang untuk sebuah nasihat (kriitk dan
pendapat). Nasihat adalah bukti sayang agar dalam melangkah tiada yang terluka
karena tingginya jiwa. Sudah aturan yang dibuat oleh manusia yang serba
terbatas dan syarat akan kepentingan serta hawa nafsu, setelah dikritik malah
mengelak. Berharap dalam alam demokrasi memanglah berujung kecewa.
Kritik dalam Islam
Kesadaran yang telah dibahas sebelumnya,akan menjauhkan dukungan yang
membabi buta dari para pendukung. Pemimpin dengan kesadaran tersebut justru
akan mendorong para pendukungnya untuk tetap bersikap kritis kepada dirinya.
Pemimpin dan penguasa dengan kesadaran itu pula, tidak akan menjadi anti
kritik. Sebaliknya membuka diri akan kritik baik pedas dan keras sekalipun.
Pasalnya kritik dan nasihat itulah yang justru menjadi kebaikan bagi diri
seorang pemimpin/penguasa baik di dunia dan akhirat kelak.
Kritik dalam Islam adalah sebagai muhasabah bagi penguasa. Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memberikan tuntunan bagaimana rakyat mesti bersikap
kepada pemimpin/penguasa ketika melakukan kemungkaran atau kedzaliman:
“Sungguh akan diangkat atas kalian para pemimpin, sementara kalian
mengetahui (kemakrufannya) dan mengingkari (kemungkarannya). Siapa yang
membenci (kemungkarannya), dia bebas. Siapa yang mengingkari (kemungkarannya),
dia selamat. Akan tetapi, siapa yang ridha dan mengikuti (kemungkarannya)
(tidak selamat)..” (HR.Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).
Khilafah sebagai ajaran Islam dan kewajiban bagi umat Islam karena berhukum
dengan aturan Islam. Tidak perlu ditakuti oleh siapapun, karena ia adalah
konsekuensi keimanan. Maka kritik dan pendapat bagi penguasa saat ini yang
berupa ajakan untuk berhukum dengan aturan Allah adalah muhasabah bukanlah
masalah. Seperti halnya Umar bin Khattab yang terkenal tegas dan garang pernah
dikritik oleh seorang muslimah dengan menetapkan mahar. Sang khalifah pun
menerima dan memperbaiki kesalahannya. Hal seperti ini tidak akan didapatkan di
alam demokrasi. Maka, hanya kembali pada sistem Islamlah satu-satunya solusi
agar datannya rahmatan lil alamin.
Wallahu ‘alam bish showwab
Oleh : Irayanti
(Pemerhati Sosial Politik)
0 Komentar