Cinta Nabi Cinta Syariah


Tak terasa kita telah memasuki bulan Maulid. Bertepatan 12 Rabiul Awal, umat Islam akan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Dalam beberapa riwayat, waktu kelahiran Nabi Muhammad SAW juga disebutkan pada 10 Rabiul Awal bertepatan dengan tahun Gajah, sekitar tahun 570 masehi.

Di beberapa daerah jika datang bulan maulid, banyak yang merayakan dengan tasyakuran, kirab, 'ngumbah' (baca:mencuci) pusaka, dan lain-lain. Jika kita merenung kembali, bagaimana kita bisa mencintai Nabi Saw sepenuhnya? Apakah dengan merayakan hari kelahirannya dan melakukan tasyakuran cukup menunjukkan kecintaan kita pada Nabi Muhammad Saw?

Tentu tidak cukup. Cinta kita kepada Rasullah Saw dibuktikan dengan keimanan kita padanya. Iman inilah yang akan melahirkan ketaqwaan, karena iman itu tak hanya di hati dan lisan, tetapi dalam perbuatan. Bukti keimanan kita pada Nabi Muhammad Saw adalah ketundukan pada Syariat Islam yang telah diwahyukan kepada beliau Rasulullah saw.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat An Nisa ayat 65,

"Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim atas perkara apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka atas putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya"(TQS an-Nisa’ [4]: 65).

Jelas sekali dalam ayat di atas bahwa konsekuensi dari keimanan kita adalah menjadikan apa-apa yang dibawa Nabi Saw yaitu Quran dan sunnah sebagai pemutus segala perkara yang dihadapi dalam kehidupan ini.

Tak ada pilihan lain, selain syariat Islam dalam menyelesaikan segala permasalahan baik masalah individu, keluarga, masyarakat, bahkan negara. Karena Allah SWT turunkan syariat adalah untuk mengatur segala aspek kehidupan. Wajar saja jika Islam mampu mengatur segala sendi-sendi kehidupan.

Selain ayat di atas, ada pula hadist yang membahas tentang manisnya iman, yaitu sebagai berikut.

"Ada tiga perkara, siapa saja yang memilikinya ia telah menemukan manisnya iman. Yaitu orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lainnya; orang yang mencintai seseorang hanya karena Allah; dan orang yang tidak suka kembali kepada kekufuran sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke Neraka."(Mutafaq 'alaih).

Dalam hadist tersebut juga telah dijelaskan, manisnya iman hanya bisa dipetik apabila seorang Muslim mencintai Allah dan Rasul-Nya dari pada yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Allah dan Rasul-Nya adalah tujuan utama dari segala kepentingan kita hidup di muka bumi ini.

Bahkan, dalam hadist lainnya disampaikan pula;

"Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orangtuanya dan seluruh manusia." (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai, al-Baihaqi, al-Hakim dan Ibnu Hibban)

Semakin mempertegas bahwa bahwa mencintai Allah dan Rasulullah Saw adalah perkara yang wajib. Karena jika cinta pada dunia, harta, keluarga, dan lain-lain mengalahkan kecintaan kita pada Allah dan Rasulullah Saw cacat sudah keimanan seorang Muslim.

// Wujud Cinta Hakiki Kepada Allah dan Rasul-Nya //

Zaman memang telah berubah, tapi kecintaan kita kepada Nabi Besar Muhammad Saw tak boleh berubah. Justru harus semakin dalam dan tumbuh subur di benak kaum Muslim. Tentu saja semua itu tidak bisa muncul tiba-tiba. Tapi, cinta tersebut harus dihadirkan karena dorongan aqidah seorang Muslim.

Bagaimana memupuk cinta kepada Rasulullah Saw, kalau bukan dengan mengkaji, memahami, menghayati, dan mengamalkan tuntunan Nabi Muhammad Saw ajarkan?

Serta yang tidak boleh ketinggalan adalah meneruskan perjuangan Nabi Muhammad Saw dalam menyeru kemakrufan dan mencegah kemunkaran di muka bumi ini.

Rasulullah Saw adalah teladan hakiki umat Islam dalam segala aspek kehidupan. Dari mengatur masalah pribadi, masyarakat, hingga bernegara Rasulullah Saw mampu menjadi kiblat umat Islam dimana pun berada dan apapun zamannya.

Oleh karenanya, sungguh fakta yang sangat menyesakkan dada, jika kita hidup masih mengabaikan bahkan menolak tuntunan syariat Islam dalam mengatur segala aspek kehidupan, kususnya dalam hal bernegara.

Umat manusia yang seharusnya diatur oleh sistem warisan Nabi Muhammad Saw, malah diatur oleh sistem zalim buatan barat penjajah Kapitalisme sekuler liberal. Maka, untuk meneladani Nabi Saw janganlah jadi Muslim yang setengah-setengah, tapi harus totalitas mengikuti segala tuntunannya termasuk menjalankan sistem Islam yaitu Khilafah Islamiyyah 'ala minhajinnubuwwah (baca: Khilafah Islam yang sesuai metode kenabian).

Karena, hanya dengan sistem tersebut keadilan dan kesejahteraan dapat diwujudkan. Serta umat Islam mampu berada di puncak peradaban gemilang. Tentunya umat Islam bisa terbebas dari belenggu penjajah barat Kapitalisme maupun Komunisme.

Untuk mewujudkan kehidupan Islam pun kita juga harus meneladani bagaimana Nabi Muhammad Saw berdakwah. Bagaimana bisa kita wujudkan kehidupan Islam, jika cara yang ditempuh bertentangan dengan Islam?

Wajar, jika kita berdakwah pun juga harus mengikuti metode Rasulullah Saw. Sekalipun terlihat berat dan panjang, tapi sungguh inilah wujud cinta kita pada Nabi Muhammad Saw. Yaitu tetap teguh berada dalam perjuangan dakwah Islam.

Dimana, dalam menapaki jalan tersebut tak mudah goyah dengan iming-iming harta, tahta, dan syahwat-syahwat yang ditawarkan setan berkepala manusia.

Tentunya masih ingat, ucapan Nabi Muhammad Saw saat beliau diminta berhenti berdakwah dan dijanjikan kedudukan oleh kafir Quraisy.

Maka beliau Saw berkata, dengan kalimat yang agung,

“Wallahi, Demi Allah. Seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, agar aku menghentikan dakwah ini, niscaya aku tidak akan menghentikan dakwah ini hingga Allah memenangkannya atau aku binasa.”

Wahai saudaraku, ukir cinta kita pada Nabi Muhammad Saw dengan meneladaninya secara sempurna, mencintai, mengamalkan dan mendakwahkan syariah Islam kaffah (baca:totalitas) hingga kehidupan Islam terwujud. Allahuakbar..!

Oleh: Ika Mawarningtyas, S. Pd.
Analis Muslimah Voice

Posting Komentar

0 Komentar