Masalah yang sering dikeluhkan oleh peternak di lapangan salah satunya adalah ayam kerdil atau ayam dengan bobot badan kurang dari standar, serta keseragaman bobot yang rendah. Masalah ini sering dikeluhkan karena dapat menimbulkan kerugian ekonomi sehubungan dengan gangguan pertumbuhan dan pencapaian bobot panen yang rendah, peningkatan konversi ransum, serta peningkatan jumlah ayam afkir.
Ayam kerdil sebenarnya dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kualitas DOC. Kualitas DOC dapat dipengaruhi dari pembibitan maupun penetasan. Misalnya faktor genetik induk, telur tetas berukuran kecil yang berasal dari induk umur muda (kurang dari 25 minggu).
Bibit dalam budidaya ayam petelur dan broiler biasanya diasumsikan dengan _day old chick_ (DOC) atau ayam umur sehari. DOC turut menentukan performa ayam di kemudian hari. Kualitas DOC yang sejak awal kondisinya kurang baik akan menyebabkan tingginya biaya medikasi dan vaksinasi, inefisiensi pemakaian pakan, keterlambatan pertumbuhan dan berpengaruh pada performance ayam secara keseluruhan. DOC yang buruk dapat berasal dari bibit muda.
Ada kalanya peternak pasti menemukan DOC yang memiliki berat di bawah 36 gr, bibit ini sering di namakan dengan DOC BM atau DOC bibit muda. DOC BM adalah DOC yang berasal dari induk yang masih muda, indukan yang masih baru belajar untuk menetaskan telurnya.
Jika dalam dunia perpitikan ada masalah DOC Bibit Muda, dalam dunia politik praktis ada juga masalah yang mirip yaitu adanya Politikus Karbitan. Karbitan disini kita analogikan ibarat buah yang masih mentah dan kemudian dipaksa untuk cepat matang. Ketika sudah tampak matang dan dimakan, maka rasanya tidak akan sama dengan buah yang matang secara alami. Karbitan akan terasa kecut atau kurang manis, meskipun penampilan luarnya tidak berbeda dengan yang matang alami bahkan kadang terlihat lebih menarik.
Politisi-politisi yang dikarbit memang akan memiliki tampilan luar yang memukau, namun ketika berkuasa malah bisa mengakibatkan masalah disana-sini. Politisi karbitan adalah orang-orang yang tidak pernah merangkak dari bawah tapi menikmati empuknya kursi kekuasaan.
Mengapa muncul politisi karbitan? Apa efek buruk adanya politisi karbitan? Faktor-faktor apa saja yang membuat munculnya politisi karbitan? Bagaimana seharusnya membangun parpol yang bisa membawa perubahan dan kebangkitan? Bagaimana cara membentuk partai yang mampu mengubah peradaban?
Latar Belakang Munculnya Politisi Karbitan
Kepala Pusat Penelitian Politik pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengemukakan sistem oligarki masih terjadi dalam partai politik di Indonesia. (Republika.co.id./11/12/2108). Menurut dia, seharusnya penunjukan orang itu didasarkan pada sebuah merit system yang ketat atas dasar keahlian seorang menduduki jabatan tersebut. Namun, dia menilai yang terjadi saat ini adalah politik transaksional sehingga pengisian jabatan politik atas dasar konsep "siapa dapat apa" dan mengesampingkan kualitas. Firman mengatakan dari beberapa kajian akademik menyebutkan bahwa Indonesia menjalankan demokrasi yang liberal, bukan demokrasi yang kuat dan asli namun bercampur dengan oligarki.
Jeffrey A. Winters menjelaskan oligarki yang menekankan pada kekuatan sumber daya material sebagai basis dan upaya mempertahankan kekayaannya. Dalam penelitiannya terhadap dampak kekuasaan oligarki dalam ekonomi-politik Indonesia telah menunjukan bahwa ketidaksetaraan kekayaan yang ekstrem antar-warga senantiasa mengarah ke ketidaksetaraan politik dalam ranah demokrasi.
Data tahun 2010 memperlihatkan bahwa rata-rata kekayaan bersih empat puluh oligark terkaya di Indonesia lebih dari 630.000 kali lipat PDB per kapita Indonesia. Dengan kekayaan tersebut, para oligark mengukuhkan posisinya sebagai pelaku utama dalam kehidupan politik Indonesia. Cengkeram mereka dapat dilihat dalam struktur dan operasi partai politik – termasuk kontrol oligarkis terhadap siapa yang bisa muncul mencalonkan diri untuk bertarung dalam pemilu dan bagaimana aparat politik digunakan untuk tujuan mempertahankan kekayaan.
Contoh terbaru dari kekuasaan partai politik yang menentukan siapa bisa muncul mencalonkan diri untuk bertarung dalam pemilu adalah pendaftaran pencalonan Gibran Rakabuming Raka. Tiga tahun menjadi kader PDIP merupakan salah satu syarat untuk mendaftar Pilkada via DPD. Gibran baru mendaftar sebagai anggota PDIP beberapa bulan lalu.
Ketua DPP PDIP Bidang Politik dan Keamanan Puan menanggapinya. "Kan ada mekanisme yang harus diikuti. Namun juga DPP partai punya hak prerogatif kemudian memilih siapa calon yang akan diputuskan," kata Puan usai menghadiri konsolidasi kader PDIP di Sukoharjo, Rabu (detik.com, 18/12/2019) .
Efek Buruk Politisi Karbitan
Berbondong-bondongnya kalangan artis, ulama dan pengusaha ke dalam dunia politik sebenarnya sah-sah saja. Konsitutusi menjamin bagi setiap orang untuk memiliki hak berpolitik, apakah itu membentuk organisasi maupun mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Namun, yang harus kita beri catatan kritis adalah kekawatiran munculnya fenomena _the wrong man in the wrong place_. Orang-orang yang tadinya tidak pernah sama sekali menimba ilmu dan malang melintang dalam dunia politik dikawatirkan akan menciptakan generasi politikus-politikus karbitan.
Pola rekruitmen yang hanya berorientasi pasar dan hubungan kekeluargaan hanya akan membuat kader-kader yang sudah berjuang dari bawah akan disingkirkan begitu saja demi hasrat berkuasa. Tentu pola rekrutmen seperti ini akan menghasilkan politikus yang tidak memahami politik dan perjuangan partainya.
Faktor-faktor yang Membuat Munculnya Politisi Karbitan
Munculnya politisi karbitan ditengarai akibat gagalnya partai dalam melakukan kaderisasi dan kemandirian dana. Kaderisasi di tubuh parpol hanya sebagai komoditas politik belaka. Dalam artian tetap saja, siapa yang memiliki uang yang akan menjadi pilihan.
Pola kaderisasi yang berjenjang juga belum menjadi pilihan banyak partai, sehingga kualitas kader-kader yang dihasilkan juga tidak dikenal oleh publik. Parpol juga harus membenahi dan mencari solusi dalam kemadirian dana. Hal ini menjadi penting karena parpol selalu didikte oleh kekuatan uang yang dimiliki calon.
Biasanya kemunculan tokoh karbitan juga didahului krisis kepemimpinan. Misalnya, jika di sebuah negara atau di lembaga negara mengalami kelangkaan calon pemimpin yang layak dipilih untuk memimpin maka sejumlah pihak bisa menjadikan orang lain atau dirinya sendiri sebagai tokoh karbitan agar tampak layak untuk segera dipilih menjadi pemimpin.
Hal ini persis seperti yang terjadi di pasar buah. Banyak orang biasanya akan terpaksa membeli buah karbitan karena buah yang matang alamiah sedang langka. Di banyak daerah, kemunculan tokoh-tokoh muda sebagai tokoh karbitan lazimnya karena ambisi elite politik senior. Elite politik senior yang sedang berkuasa atau mantan penguasa setempat ingin mengusung anak atau kerabat dekat untuk bertarung dalam pemilihan kepala daerah, padahal si anak atau kerabat dekat itu belum memiliki kapasitas sebagai pemimpin daerah.
Prof. Suteki dalam tulisan berjudul "Oligarki Kekuasaan di Tengah Relasi Antara Negara Hukum dan Demokrasi" menjelaskan ada beberapa faktor yang mendorong munculnya oligarki. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, keberadaan figur utama atau elite partai yang menjadi penentu dalam banyak hal, karena pada sebagian partai hingga kini tidak pula mendapatkan pengganti. "Orang-orang kuat" ini muncul sebagai reprensentasi ideologis atau historis.
Dalam konteks Indonesia saat ini, karena pada umumnya partai tidak bersifat ideologis, maka figuritas di kebanyakan partai disebabkan karena faktor kesejarahan terbentuknya partai atau sebuah "momen historis" yang menyebabkan seorang figur menjadi mencuat ke permukaan dan mendapat dukungan luas. Figur-figur memainkan peran kesejarahan partai itu menyebabkan penghormatan, yang akhirnya kerap berlebihan sehingga keberadaannya berikut inner circle di dalamnya demikian kokoh.
Partai-partai yang sejak awal diinisiasi, dibentuk, dan dijalankan oleh tokoh penentu, yang biasanya kemudian sebagai pimpinan partai, cenderung berpotensi mengalami situasi oligarkis. Secara umum, kebanyakan partai kita juga tidak dibentuk secara kolektif oleh elemen masyarakat, seperti serikat pekerja atau komunitas yang mewakili kelas tertentu, atau yang mewakili kelompok-kelompok dasar sentimen primordial atau ideologis yang bekerja secara kolektif-kolegial.
Kondisi inilah yang pada akhirnya semakin menguatkan kehadiran dan peran personal. Tidak heran kemudian muncul belakangan ini istilah personalized party (Budi 2016) atau personalization of party (Ufen 2018) untuk menggambarkan beberapa partai berpengaruh di Indonesia. Keberadaan figur ini, di satu sisi mampu menghadirkan stabilitas partai. Namun, di sisi lain juga berpotensi besar menghadirkan model pengaturan dan tata kelola partai yang sentralistik.
Kedua, dalam perjalanannya, selain aspek historis ataupun ideologis, kehadiran para figur penentu yang melahirkan oligarki juga disebabkan adanya ketergantungan finansial partai pada sumber-sumber keuangan dimiliki atau jaringan yang dimiliki para figur itu. Colin Crouch (2004) menggunakan istilah "firma politik" untuk menggambarkan ketergantungan finansial dan merembet pada struktur pembentukan partai yang pada akhirnya bagaimana partai dikelola.
Partai-partai tersebut pada akhirnya cenderung bersifat "ultra-sentralistis" dan berperan terutama sebagai pelayan bagi kepentingan elite. Situasi ini diperkuat oleh kondisi pragmatisme semakin kental saat ini karena money talks yang menyebabkan figur-figur kuat secara finansial akan bisa berperan amat besar. Dulu almarhum Cak Nur pernah menyinggung faktor ini dengan istilah kepemilikan "gizi". Situasi ini sangat terasa terutama pada partai-partai yang tidak berorientasi values atau ideologi dalam aktivitasnya. Akibatnya, jaringan (networking ), konstelasi, ataupun kontestasi internal yang terbentuk saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor kekuatan material-finansial.
Ketiga, hal lain turut berkontribusi untuk menciptakan oligarki karena pelembagaan partai yang belum sempurna. Pelembagaan partai itu sendiri singkatnya adalah sebuah kondisi ketika sistem yang dibangun partai dan segenap aturan main dihargai serta dijalankan secara konsisten selain terbangunnya pola sikap dan budaya dalam partai (Randall dan Svansand 2002).
Namun, yang terjadi saat ini pelembagaan masih berjalan stagnan bahkan mengalami regresi. Sistem dan aturan kerap ditafsirkan untuk kemudian disesuaikan demi kepentingan elite dan jaringan oligarkinya. Dalam momen-momen tertentu, pelaksanaan musyawarah menjadi semu. Keputusan partai kerap diambil sepihak. Sementara hukuman bagi mereka yang membangkang atau dianggap tidak loyal bisa diputuskan secara cepat, tanpa harus melalui tahapan-tahapan sebagaimana yang harus dilakukan.
Turunan dari lemahnya kelembagaan adalah proses kaderisasi yang mati suri. Pada akhirnya memungkinkan "figur-figur asing" untuk bisa langsung berada dalam lingkar kekuasaan, yang kiprahnya kebanyakan cenderung mengokohkan oligarki. Ketidakjelasan kaderisasi juga menyebabkan kader lebih terpicu untuk berlindung pada patron tertentu sehingga memuluskan pola hubungan patron-client , tentu saja mengganggu pembangunan demokrasi intrnal partai yang sehat.
Keempat, di sisi lain, tidak dapat dimungkiri bahwa AD/ART partai juga memberikan landasan bagi penguatan peran elite. Studi mengenai kandidasi partai, misalnya, menunjukkan dalam banyak hal, termasuk kandidasi, figur pimpinan partai menjadi demikian berkuasa, dan pada beberapa partai menjadi demikian absolut, karena aturan main internal memberi celah untuk itu. Kondisi ini tentu saja pada akhirnya mendorong perluasan rekayasa penciptaan kepatuhan buta yang mengorbankan semangat untuk kritis dan objektif.
Kelima, faktor eksternal turut memengaruhi aturan main terkait kepartaian dan kepemiluan yang secara umum masih memberikan celah bagi partai-partai untuk membangun oligarki dalam dirinya. Setidaknya hingga kini keharusan kaderisasi, pengelolaan keuangan partai yang mampu menetralisasi peran oligarki belum diatur secara tegas dan komprehensif. Selain itu, syarat ambang batas presiden maupun pencalonan kepala daerah yang memberikan peluang elite partai untuk saling bermanuver membangun koalisi juga turut berkontribusi secara tidak langsung bagi pengokohan kekuasaan elite maupun ketergantungan kader pada manuver elite.
Membangun Parpol yang Bisa Membawa Perubahan dan Kebangkitan
Adagium bahwa partai politik hanya memproduksi politikus, bukan negarawan, terus mendapat konfirmasi dalam kultur politik di negeri ini. Bahkan lebih parah, alih-alih menciptakan pemimpin-pemimpin negeri yang cemerlang, parpol malah lebih sering diidentikkan sebagai entitas penghasil koruptor.
Identifikasi itu mungkin terlalu berlebihan, tapi tentu juga bukan tanpa alasan. Tak bisa dibantah, sampai hari ini sangat banyak politikus partai yang terjerat kasus korupsi, termasuk mereka yang duduk sebagai kepala daerah, menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ataupun anggota DPRD. Bahkan, tak sedikit ketua umum parpol yang tersangkut kasus korupsi. Beberapa di antara mereka malah sudah mendekam di bui. (Editorial Media Indonesia, 30 Agustus 2018)
Lalu bagaimana membangun parpol yang bisa membawa perubahan dan kebangkitan? Untuk mengetahui cara membangun parpol yang bisa membawa kebangkitan kita perlu memahami terlebih dahulu faktor-faktor penyebab gagalnya partai politik selama ini dalam usahanya membawa perubahan dan kebangkitan.
Ada 4 empat faktor penyebab gagalnya partai politik:
1. Bertumpu pada fikrah (konsep) yang masih umum.
2. Tidak tau dan tidak mengerti bagaimana thariqah (metode) untuk menerapkan fikrahnya.
3. Tidak diemban oleh orang-orang yang matang kesadarannya, hanya modal semangat dan ikut-ikutan saja.
4. Tidak mempunyai ikatan yang benar dalam mengikat anggotanya.
Kegagalan partai politik ini juga dikarenakan individu-individunya bukanlah individu yang matang dan sadar. Sebab, model rekrutment atau pengikatan orang-orang ke dalam gerakan-gerakan tersebut tidak didasarkan pada kelayakan individu tersebut, tapi didasarkan pada ketokohanannya di masyarakat, atau karena kemampuannya mendatangkan kepentingan sesaat bagi kelompok, dan sebagainya.
Cara Membentuk Partai yang Mampu Mengubah Peradaban
Dengan melihat kegagalan partai politik yang ada sekarang dalam membawa perubahan maka perlu ada langkah baru dan revolusioner dalam membangun sebuah partai politik. Tidak hanya membangun partai yang sekedar mengikuti arus yang ada tapi membangun partai yang mampu mengubah peradaban.
Dengan kondisi partai politik yang selama ini ada dalam demokrasi apakah masih bisa diharapkan partai yang berdasarkan demokrasi akan menjadi jalan perubahan? Sedangkan demokrasi digembar-gemborkan sebagai pemerintahan yang kedaulatannya terletak di tangan rakyat hanyalah mimpi di siang bolong. Dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan.
Sejarah AS sendiri menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah, “from the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).
Sejak awal kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat (bukan di tangan rakyat), yakni di tangan para pemilik modal. Hanya saja, mereka menipu rakyat dengan menggembar-gemborkan seolah-olah kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi, bila perubahan yang dikehendaki adalah daulatnya rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal itu. Yang berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para pemilik modal yang memang memiliki uang.
Demokrasi tidak bisa diharapkan menjadi jalan perubahan. Jalan perubahan yang shahih itu hanya bisa diraih dengan Islam.
Sebagai seorang muslim, kita harusnya selalu mencontoh metode Rasulullah saw. dalam merubah masyarakat jahiliyyah pada waktu itu menjadi masyarakat Islam yang diterangi cahaya kemilau yang telah menggoreskan tinta emas pada peradaban manusia.
Ù‚ُÙ„ْ Ù‡َٰØ°ِÙ‡ِ سَبِيلِÙŠ Ø£َدْعُÙˆ Ø¥ِÙ„َÙ‰ اللَّÙ‡ِ ۚ عَÙ„َÙ‰ٰ بَصِيرَØ©ٍ Ø£َÙ†َا ÙˆَÙ…َÙ†ِ اتَّبَعَÙ†ِÙŠ ۖ ÙˆَسُبْØَانَ اللَّÙ‡ِ ÙˆَÙ…َا Ø£َÙ†َا Ù…ِÙ†َ الْÙ…ُØ´ْرِÙƒِينَ
”Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS Yusuf [12]: 108)
Bagaimana membentuk sebuah partai Islam yang sahih juga dengan melihat contoh Rasulullah. Partai Islam yang sahih, adalah sebuah partai politik yang berlandaskan ideologi Islam. Partai politik Islam ini merupakan sebuah kelompok yang individu-individunya mengimani Islam sebagai sebuah ideologi serta berusaha menerapkan ideologi ini ke tengah masyarakat untuk mengatur berbagai interaksi di tengah masyarakat.
Proses pembentukan partai politik Islam itu mengikuti tahapan berikut :
Adanya figur-figur pertama yang membangun ideologi partai (sel pertama). Yang dimaksud sel awal, adalah orang pertama, yang bersih serta telah memahami fikrah dan thariqah Islam dengan sempurna. Kemudian ia menularkan ideologi ini kepada orang-orang lain sehingga terbentuk halaqah ula.
Halaqah ula adalah kumpulan beberapa orang di bawah kepemimpinan sel awal tadi secara fikrah dan thariqah. Halaqah ula ini disebut juga dengan istilah qiyadah al-hizb (pemimpin partai) atau al-halaqah al-hizbiyah. Halaqah ula ini, akan berkembang menjadi kutlah hizbiyah (kelompok cikal bakal partai).
Kutlah hizbiyah adalah halaqah ula ditambah dengan banyak individu yang sepakat dengan fikrah dan thariqah yang ada. Kutlah hizbiyah dicirikan dengan adanya ikatan (rabithah) yang menjadi pengikat di antara banyak anggota baru tersebut. Ikatan ini adalah, Aqidah Islam dan Tsaqafah Islam partai yang lahir dari Aqidah Islam itu. Kutlah hizbiyah selanjutnya akan menjadi sebuah hizb mabda’i (partai politik ideologis) yang sempurna.
Hizb mabda’i, adalah kutlah hizbiyah yang sudah melakukan amal kepartaian. Jadi ciri yang menunjukkan berubahnya kutlah hizbiyah menjadi hizb mabda’i, adalah adanya amal kepartaian, yaitu melakukan pembinaan intensif untuk kalangan internal sehingga individu partai semakin banyak, dan pembinaan umum untuk masyarakat sehingga terwujud kesadaran umum di tengah seluruh masyarakat.
Selanjutnya partai politik akan melakukan aktivitas perubahan di masyarakat untuk membawa perubahan dan membangun peradaban. Tahapan yang dilakukan oleh partai politik dalam membangun peradaban adalah sebagai berikut:
1. Tahap Pembinaan.
Pembinaan dalam partai berbeda dengan pendidikan di sekolah. Setiap anggota partai harus melalui proses pembinaan ini. Sebab, dengan proses ini seseorang akan memahami fikrah dan thariqah partai. Setiap orang yang hendak bergabung dengan partai harus menempuh fase ini, tanpa memandang gelar dan kedudukan di tengah-tengah masyarakat. Keberhasilan pada fase ini merupakan jaminan bagi keberhasilan pada fase berikutnya
2. Tahap Berinteraksi Dengan Masyarakat
Pada fase ini partai menceburkan diri di tengah-tengah masyarakat untuk memahamkan fikrah dan thariqah partai kepada umat dan berjuang bersama-sama umat demi melanjutkan kehidupan Islam.
Pada fase ini partai akan menghadapi hambatan-hambatan dan bahaya-bahaya. Hambatan-hambatan yang ada : (1) pertentangan ideologi partai (Islam) dengan ideologi di masyarakat; (2) perbedaan tsaqafah partai (Islam) dengan tsaqafah di masyarakat; (3) adanya orang-orang pragmatis di masyarakat, baik yang pasrah dengan realitas, maupun orang zalim yang enggan hidup dalam kebenaran; (4) keterikatan manusia dengan kepentingan-kepentingannya; (5) sulitnya mengorbankan kehidupan dunia di jalan Islam dan dakwah Islam, (6) perbedaan sarana-sarana fisik di masyarakat, yang dapat mendorong partai membeda-bedakan pembinaan tsaqafah dan arahan ideologi di antara umat.
Sedangkan bahaya-bahaya ada dua, yaitu : (1) bahaya ideologis, yakni bahaya yang dapat mengancam fikrah atau thariqah partai; (2) Bahaya kelas, yaitu bahaya yang mengakibatkan anggota partai merasa menjadi kelas yang berbeda dengan masyarakat.
3. Tahap Penyerahan Kekuasaan
Inilah fase terakhir yang akan ditempuh oleh partai, yakni, umat menyerahkan kekuasaan kepada partai demi menerapkan Islam secara menyeluruh dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia.
Langkah-langkah membangun peradaban yang demikian telah dicontohkan oleh Rasulullah dan terbukti mampu mengubah kondisi jahiliyah menuju kehidupan Islam yang agung.
Sungguh ironis, salah satu tugas utama parpol ialah memberikan pendidikan politik kepada rakyat. Lalu bagaimana mungkin publik akan mendapatkan pendidikan politik yang baik bila institusi yang ditugasi sebagai 'pendidiknya' malah kerap bertingkah tanpa kontrol, "suka-suka kami" sehingga tidak malu lagi menunjukkan praktek politik oligarki.
Jangankan mau mendidik rakyat, mencetak kader sampai ketua umumnya yang bisa menjadi anutan saja sangat sulit. Tidak bisa tidak, parpol mesti berbenah total. Sistem internal kepartaian perlu dirombak, terutama dalam hal rekrutmen kader yang saat ini ditengarai menjadi salah satu biang keladi kegagalan parpol menjalankan fungsinya, juga menjadi akar dari maraknya politisi karbitan.
Perombakan total tersebut hanya bisa dilakukan jika makna politik itu sendiri dikembalikan kepada makna yang seharusnya. Politik adalah memikirkan, dan mengelola semua urusan dan nasib umat (rakyat). Jadi tugas partai politik adalah melakukan koreksi kepada penguasa agar selalu memperhatikan urusan dan nasib rakyat dengan baik, bukan bagaimana agar mendapatkan jatah kursi kekuasaan termasuk melalui politisi karbitan demi meraih tujuan. Partai politik harus memiliki visi yang lebih besar yaitu membangun peradaban.
Oleh: Tri Widodo
Dosol UNIOL 4.0 DIPONOROGO
0 Komentar