[Berkaca pada Kasus Ramli & Isa, Sepasang Pengantin Baru Asal Jeneponto]
Bagi orang Bugis-Makassar tidak ada yang tak mengenal istilah ‘Uang Pana’I’, kecuali yang lahir, besar, bdan beranak pinak di luar tanah ‘ogi’ (bugis). Uang pana’I adalah sejumlah uang yang menjadi salah satu prasyarat utama bagi seorang lelaki untuk diserahkannya kepada pihak keluarga perempuan sebagai tanda diterimanya ‘lamaran’.
Uang Pana’I ini diperuntukkan untuk ‘acara pesta’ pernikahan dan segala sesuatu yang terkait dengannya. Semakin besar ‘acara pesta’ yang direncanakan maka sebegitu juga yang menjadi standar besarannya uang pana’I tersebut. Jika direncanakan pesta pernikahan’mewah’ maka tentu saja standar uang pana’I juga ikut tinggi. Sebaliknya, jika pesta pernikahan diadakan ‘apa adanya’ maka standar uang pana’I pun tidaklah begitu tinggi.
Pertanyaan adalah mengapa ‘pesta pernikahan’ harus ‘mewah’?
Ditinjau dari prespektif adat orang Bugis-Makassar, dimana sejarahnya uang pana’I itu berasal dari adat kebiasaan kaum bangsawan ketika mengadakan pesta pernikahan dalam rangka menunjukkan eksistensinya sebagai ‘keturunan bangsawan’. Terutama, jika yang melamar itu dari kalangan ‘bukan bangsawan’, maka dia harus sanggup menyerahkan sejumlah uang yang diminta pihak perempuan dari kalangan ‘keturunan bangsawan’ agar supaya dengan dana tersebut mereka dapat mengadakan upacara adat pernikahan dengan ‘megah dan mewah’. Dengan begitu, marwah mereka sebagai bagsawan tetap terpelihara di masyarakat.
Semakin ke sini, adat uang pana’I ini mengalami ‘perkembangan’, dimana kebiasaan ini secara lambat laun akhirnya diikuti juga oleh orang yang bukan dari kalangan bangsawan. Tujuannya sama, agar dapat menampilkan sebuah pesta pernikahan yang megah dan mewah.
Jika, kemegahan dan kemewahan pesta adat pernikahan bagi kalangan bangsawan dalam rangka menunjukkan eksistensi ‘strata’ mereka di masyarakat, maka lain cerita bagi kalangan yang ‘bukan bangsawan’, kemegahan dan kemewahan pesta itu tidak lain untuk menunjukkan bahwa mereka berasal dari kalangan ‘berada’ alias kaya raya. Dengan demikian, acara pesta pernikahan di masyarakat Bugis-Makassar secara umum hendak menunjukkan dua eksistensi dasar yaitu kebangsawanan dan ‘to sogi’ atau orang kaya’.
Dan semakin ke sini, eksistensi ‘kebangsawanan’ mulai tergerus oleh zaman. Sebaliknya, eksistensi ‘kekayaan’ kian menguat bahkan kemudian mampu menggeser pengaruh ‘strata kebangsawanan’ di masyarakat. Jika dulu yang dihormati dan memiliki pengaruh kuat di masyarakat adalah kalangan bangsawan meski bangsawan tersebut hidupnya ‘sangat sederhana’. Maka, sekarang yang lebih dihargai dan dihormati adalah yang berstrata sebagai ‘orang kaya’. Bahkan, sekali waktu kita menemukan disuatu daerah, dimana ‘gelar kebangsawanan’ itu ‘berpindah tangan’ ke ‘orang kaya’ tanpa diketahui asal muasalnya.
Jadi, untuk bisa dihormati dan memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat maka ‘modal’nya cukup menjadi ‘orang kaya’. Dan untuk selanjutnya bisa dianggap atau diakui ‘orang kaya’ maka harus menunjukkan simbol-simbol kekayaan itu di tengah-tengah masyarakat.
Karena sejatinya manusia itu memiliki ‘gharizatul baqa’’ (naluri mempertahankan diri) yang salah satu perwujudannya adalah ‘senang di puji’, maka mendapatkan tempat terhormat di masyarakat menjadi sangat penting artinya. Dan, karena saat ini ‘strata kebangsawanan’ tidak menjadi terlalu berarti dibanding stata ‘orang kaya’ tadi, maka yang terjadi berikutnya adalah orang-orang berbondong-bondong untuk menjadi ‘orang kaya’ sekalipun sebenarnya dia memiliki ‘darah kebangsawanan’. Itu karena ‘strata kebangsawanan’ saja tidak cukup, mesti menjadi ‘orang kaya’ untuk tetap dapat mempertahankan kedudukan dan pengaruhnya di masyarakat. Bagaimana nasibnya yang memiliki ‘darah kebangsawanan’ dan saat bersamaan hidupnya ‘miskin’? Mereka pada akhirnya terbuang dan dilupakan (mungkin hanya sebagian kecil saja yang masih mengenal mereka).
Dan semakin ke sini, muncul lagi penyakit baru di masyarakat yaitu ‘orang miskin yang mau dikenal sebagai orang kaya’. Gaya hidupnya benar-benar bertolak belakang 180 derajat dengan kondisi ekonomi yang tengah dihadapinya. Untuk memenuhi hasratnya tersebut tidak jarang harus menempuh segala macam cara.
Mari berkaca pada musibah yang menimpa dua sijoli di Jeneponto beberapa waktu lalu, dimana Ramli 37 thn) melamar Isa (31 thn) dan hasil keputusannya sang pria harus menyerahkan uang pana’I sebesar 15 juta jika ingin lamarannya diterima. Ramli selanjutnya bernegosiasi dan mengajukan angka 10 juta rupiah. Akan tetapi, pihak keluarga perempuan bersikeras tetap 15 juta. Singkat kata, akhirnya Ramli dan Isa ‘kawin lari’ dan itu tindakan tabu di mata masyarakat Bugis Makassar. Setelah hamil 4 bulan, sang Suami ingin berbaikan dengan pihak keluarga perempuan sehingga ia kembali pulang menemui keluarga perempuan. Dalam pembicaraannya, Ramli tetap harus menyerahkan dana sebesar 15 juta rupiah agar keluarga mengakui pernikahan mereka dan dengannya akan dapat digelar acara kenduri. Padahal, Ramli hingga saat ini masih belum mampu memenuhi tuntutan keluarga istrinya itu. Kecewa atas keputusan keluarganya, Isa akhirnya memutuskan minum racun dan akhirnya menemui ajalnya.
Sungguh, kisah yang tragis! Kematian yang dipicu oleh sengketa uang pana’I dan kisah pilu semacam ini bukan kali ini saja terjadi. Apa akar persoalannya sebenarnya?
Menurut hemat penulis, masalah semacam ini dipicu oleh : pertama, sikap keukeuhnya masyarakat Bugis-Makassar dengan tradisi Uang pana’i. Karena hal ini pertaruhannya adalah ‘harga diri’, baik harga diri keluarga maupun harga diri ‘perempuan’ yang dilamar. Besarnya uang pana’I ini akhirnya menjadi parameter untuk mengukur seberapa tinggi ‘strata’ serta harga diri seseorang di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, ‘standar nilai’ yang dipergunakan masyarakat dalam mengukur ‘baik dan buruk’ serta ‘benar dan salah’ bersumber dari selain Islam. Untuk membuktikan yang kedua ini, kita perlu mengajukan pertanyaan, misalnya : ‘apakah mengharuskan adanya uang pana’I itu, benar atau salah menurut syariat Islam? (Kita tidak akan menemukan baik pada rukun maupun syarat sah pernikahan dalam syariat Islam). Jadi, sumber satu-satunya tradisi uang pana’I itu adalah dari adat sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumnya.
Andaikata, masyarakat Bugis Makassar menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya standar dalam menilai ‘baik dan buruk’ serta ‘benar dan salah’ maka bisa dipastikan tragedi uang pana’I Ramli dan Isa diatas tidak akan pernah terjadi. Pasalnya, Islam tidak menjadikan standar ‘mulia tidaknya seseorang’ dari penampakan luar sebagaimana banyak orang memahami saat ini.
Tidak perlu acara pernikahan mewah untuk menunjukkan strata sosial yang tinggi di masyarakat, dengan demikian rasa ‘gensi’ yang selama ini tertanam dan terpupuk oleh pandangan hidup ‘sekuler kapitalis’ benar-benar terkikis dari benak masyarakat. Wal hasil, uang pana’I yang memang pada dasarnya hanya diperuntukkan untuk acara kenduri pernikahan akan disesuaikan dengan kemampuan kedua belah pihak. Tidak perlu memaksakan diri untuk menghadirkan acara ‘ceremoni’ yang luar biasa, karena sejak awal Islam tidak meletakkan hal tersebut sebagai ukuran kemuliaan. Itu jika Islam dijadikan ‘standar nilai’ di masyarakat.
Dampak lain yang ditimbulkan oleh ‘Uang Pana’I’ ini adalah rendahnya angka pernikahan dan sebaliknya tingginya akan perzinahan di tengah-tengah masyarakat.
Coba kita bayangkan, bagaimana menjadi seorang pemuda atau pemudi di zaman sekarang. Belum lagi genap usia ‘pubertas’ dari kanan dan kiri serta muka dan belakang rangsangan seksualitas itu datang tanpa mengenal tempat dan waktu (saya yakin anda pasti tahu faktanya).
Yang namanya juga naluri, maka ketika mendapatkan rangsangan dari luar dan terus menerus, akan memicu untuk ‘dipenuhi’. Ketika sudah memasuki usia baliq dan siap menikah, mereka dihadang oleh banyaknya tuntutan, diantaranya tuntutan untuk menyelesaikan sekolah dan kalau bisa minimal S2, habis itu dituntut untuk kerja dulu, habis itu dituntut untuk mapan dulu. Dan di saat semua itu sulit, sulit untuk sekolah karena kemahalan, sulit mencari kerja karena jatah lapangan kerja sudah dijarah sama asing aseng, lalu kapan mapannya? Sementara usia terus melaju dan tidak muda lagi.
Di saat yang lain, pihak keluarga perempuan bersikeukeuh harus dengan standar uang pana’I sekian dan sekian. Standar nominalnya mengikuti ‘harga barang di pasar’. Jadilah Uang pana’I itu terus naik dan jarang turun-turun layaknya harga-harga di pasar.
Sempurna, bertemunya dua arus diatas menciptakan ‘masalah besar’ di masyarakat. Perzinahan merajalela, karena tak tersalurkan melalui pintu ‘halal’. Angka aborsi meningkat, pembunuhan atas pasangan selingkuh juga naik tak berbilang, demikian pula maraknya tren wanita-wanita simpanan dan jumlah gadis-gadis tua bermunculan karena bertahan agar bisa ‘halal’ meningkat. Ini hanya sedikit dari sekian banyak masalah yang ditimbulkannya. Ibarat gunung es, yang kami paparkan hanya pucuknya saja.
Ya, solusi satu-satunya untuk memutus mata rantai masalah di atas adalah masyarat harus mau menjadikan Islam sebagai standar hidup dan tidak cukup sampai disitu juga harus mau diatur dengan aturan Allah Swt tersebut, termasuk dalam menetapkan uang pana’i. Jika perkara ini diabaikan maka yang terjadi bisa-bisa adalah ‘lost generation’.
Wallahu A’lam.[]
Oleh : A. Salahuddin Linrung
0 Komentar