Al Quran Lekat di Lisan, tapi Jauh dari Amalan?


Ramadhan bulan Al Quran. Setiap muslim berlomba-lomba membacanya. Ada yang mengejar One Day One Juz (ODOJ) agar minimal bisa memenuhi target satu kali khatam selama ramadhan, bahkan ada yang lebih dari itu, membaca 5 juz sehari.    

Al Quran sebagai kita suci memiliki begitu banyak keistimewaan. Diantaranya sebagai al Huda, yaitu petunjuk atau manual book bagi manusia dalam menjalani kehidupan. Semua perbuatan manusia, mana yang berpahala dan mana yang menjadi dosa, diatur di dalamnya. Semua permasalahan hidup, Al Quran memberikan solusinya. Bahkan, sejarah sebelum diciptakannya dunia, hingga nanti akhir dunia, Al Quran dengan lengkap menjelaskannya. 

Al Quran adalah syifa’. Allah sendiri yang menyampaikannya di dalam surat Al Israa’: 82. Obat untuk penyakit fisik juga jiwa. Tidak sedikit para ahli yang melakukan penelitian dan membuktikan kebenarannya. Al Quran juga pemberi syafaat (pertolongan) di akhirat nanti, bagi siapapun yang membacanya.

Al Quran juga sebagai pemberi peringatan, karena di dalamnya terdapat kisah yang dapat dijadikan pelajaran agar manusia tak tersesat dalam kemaksiatan. Al Quran mengabarkan kejinya siksaan neraka, agar manusia berhati-hati karena semua ada pertanggungjawaban.  

Dari sekian banyak keistimewaan Alquran tersebut, cukup puaskah kita hanya dengan membacanya saja? Menghafalkannya saja? Sementara makna atau kandungan dari setiap kalimatnya tidak kita resapi? Tidak kita renungkan? Tidak tergerak untuk kita amalkan? Kemudian kita sebarkan? 

Tidak kurang-kurangnya jumlah hafidz-hafidzah segala usia terus lahir. Lantunan merdu suara mereka menyejukkan hati dan menenangkan jiwa siapapun yang mendengarnya. 

Ini adalah langkah baik yang layak kita syukuri. Tapi itu barulah langkah awal, yang masih harus terus dilanjutkan, hingga Al-Quran benar-benar menyatu ke dada-dada kaum muslimin, menggugah jiwa menggerakkan raga, untuk mengamalkan dan mendakwahnya ke seluruh dunia. 

Karena faktanya hal itu masih jauh dari kenyataan. Sedih sekaligus pilu, saat mendengar beberapa santri yang notabene setiap hari berinteraksi dengan Al Quran, tapi perilakunya jauh dari pribadi qur’ani. Bagaimana dengan yang jarang atau mungkin bahkan tak pernah berinteraksi dengan Al Quran? 

Rasulullah S.A.W bersabda: 

“Sesungguhnya orang yang di dalam dadanya tidak ada sedikitpun dari Al Quran, maka ia bagaikan rumah yang kosong."

Itu baru contoh level individu, bagaimana dengan level masyarakat hingga negara dalam memperlakukan Al Quran? Terima atau tidak, kaum muslimin hari ini seolah sengaja disibukkan dengan aktivitas membaca dan menghafal, dan tanpa sadar sedang dipalingkan dari keinginan untuk memahami maknanya, kemudian tergerak mengamalkan dan mendakwahkannya. 

Seandainya diamalkan hanyalah sebagian kecilnya, sedangkan sebagian besar lainnya ditinggalkan dengan berbagai alasan. 

Padahal jelas, Al Quran terdiri dari 114 surat, yang isinya tidak hanya mengabarkan tentang ibadah ritual, sholat, zakat, puasa haji. Namun, mengapa seolah manusia merasa punya kuasa untuk menentukan mana ayat yang diamalkan dan bahwa ada yang boleh ditinggalkan. Bahkan seorang pejabat negara mengeluarkan pernyataan, posisi konstitusi di atas kitab suci. 

Inilah dampak dari paham sekulerisme. Paham yang memisahkan agama dari kehidupan, yang sukses disuntikkan barat ke negeri-negeri muslim seluruh dunia termasuk Indonesia. Urusan ibadah ritual Al Quran menjadi pegangan, namun diluar itu, manusia berhak membuat aturan. 

Padahal jelas dalam Al Quran Surat Yusuf: 40 Allah berfirman “... Tidak ada hukum kecuali hanyalah kepunyaan Allah...”. Juga dalam Al Quran Surat Al Maidah:50 “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Bagaimana hari ini kita melihat begitu banyak wanita muslim dengan santai memamerkan auratnya tanpa beban. 

Riba yang jelas keharamannya justru menjadi satu-satunya asas perekonomian negara. 

Pengadilan yang menggunakan hukum buatan manusia, yang dalam praktiknya jauh dari kata adil,  sama sekali tidak menimbulkan efek jera, sehingga tindakan kriminal mulai dari skala kecil hingga kelas kakap semisal mega korupsi dan kasus mafia terus merajalela. 

Khamr, Babi, Narkoba menjadi komoditi dengan diatur sedemikian rupa agar bisa diterima. 

Hukum pengelolaan kekayaan negara yang begitu lengkap dijelaskan di dalam Islam dengan tujuan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat, diganti dengan hukum transaksi kepentingan antara penguasa dan pengusaha, dalam upaya memuluskan jalan mereka menguasai harta dan tahta. Sehingga rakyat yang seharusnya mendapatkan haknya berupa kesejahteraan pun harus menerima pil pahit, berjuang sendiri ditengah segala keterbatasan. 

Sungguh ini menjadi tugas kita bersama, tanpa terkecuali. Karena problematika umat yang terjadi hari ini tidak lain adalah karena ditinggalkannya Al Quran sebagai satu-satunya sumber hukum dan kemudian digantikan dengan aturan buatan manusia yang serba lemah dan terbatas. Sehingga yang terjadi adalah kemunduran dan kerusakan. 

Allah berfirman dalam QS Al A’Raf:96 : “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa,  pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” 

Pekerjaan rumah kita masih sangat panjang. Bagaimana membumikan Al Quran ke dalam jiwa setiap muslim. Menyampaikan kepada semua, bahwa Al Quran adalah satu-satunya pegangan hidup dan pedoman dalam bertindak, mulai dari individu, masyarakat hingga negara. Bukan sekedar lekat di lisan tapi jauh dari amalan. 

Wallahu’alam bishawab.

Oleh: Anita Rachman
Pemerhati Sosial Politik

Posting Komentar

0 Komentar