Umar bin Khattab adalah khalifah kedua yang berkuasa pada tahun 634 sampai 644 di negara khilafah. Dia juga digolongkan sebagai salah satu Khulafaur Rasyidin. 'Umar merupakan salah satu sahabat utama Nabi Muhammad dan juga merupakan ayah dari Hafshah, istri Nabi Muhammad.
Khalifah Umar bin Khattab adalah seorang khalifah yang sangat terkenal, perjalanan hidupnya adalah teladan yang diikuti, dan kepemimpinannya adalah sesuatu yang diimpikan. Banyak orang saat ini memimpikan, kiranya Umar hidup di zaman ini dan memipin umat yang tengah kehilangan jati diri.
Amirul mukminin Umar bin Khattab adalah seorang yang sangat rendah hati dan sederhana, namun ketegasannya dalam permasalahan agama adalah ciri khas yang kental melekat padanya. Ia suka menambal bajunya dengan kulit, dan terkadang membawa ember di pundaknya, akan tetapi sama sekali tak menghilangkan ketinggian wibawanya. Kendaraannya adalah keledai tak berpelana, hingga membuat heran pastur Jerusalem saat berjumpa dengannya. Umar jarang tertawa dan bercanda, di cincinnya terdapat tulisan “Cukuplah kematian menjadi peringatan bagimu hai Umar.”
Keutamaan Umar bin khattab adalah penduduk surga yang berjalan di muka bumi. Diriwayatkan dari Said bin al-Musayyib bahwa Abu Hurairah berkata, ketika kami berada di sisi Rasulullah SAW, beliau bersabda :
“Sewaktu tidur aku bermimpi seolah-olah aku sedang berada di surga. Kemudian aku melihat seorang wanita sedang berwudhu di sebuah istana (surga), maka aku pun bertanya, ‘Milik siapakah istana ini?’ Wanita-wanita yang ada di sana menjawab, ‘Milik Umar.’ Lalu aku teringat dengan kecemburuan Umar, aku pun menjauh (tidak memasuki) istana itu.” Umar radhiallahu ‘anhu menangis dan berkata, “Mana mungkin aku akan cemburu kepadamu wahai Rasulullah.”
Kemuliaan kedua Umar bin Khattab adalah turut meninggikan kemulianya Islam dengan perantara dirinya. Dalam sebuah hadisnya Rasulullah pernah mengabarkan betapa luasnya pengaruh Islam di masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Beliau bersabda :
“Aku bermimpi sedang mengulurkan timba ke dalam sebuah sumur yang ditarik dengan penggerek. Datanglah Abu Bakar mengambil air dari sumur tersebut satu atau dua timba dan dia terlihat begitu lemah menarik timba tersebut, -semoga Allah Ta’ala mengampuninya-. Setelah itu datanglah Umar bin al-Khattab mengambil air sebanyak-banyaknya. Aku tidak pernah melihat seorang pemimpin abqari (pemimpin yang begitu kuat) yang begitu gesit, sehingga setiap orang bisa minum sepuasnya dan juga memberikan minuman tersebut untuk onta-onta mereka.” Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Kami menjadi kuat setelah Umar memeluk Islam.”
Ketika terjadi sebuah musibah berupa bencana, Khalifah Umar pernah berkata : “Wahai masyarakat, tidaklah gempa ini terjadi kecuali karena ada sesuatu yang kalian lakukan. Alangkah cepatnya kalian melakukan dosa. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, jika terjadi gempa susulan, aku tidak akan mau tinggal bersama kalian selamanya!”
Ucapan Umar bin Khattab saat menghadapi musibah menunjukkan betapa kuat keimanan dan ketaqwaannya. Maka betapa pentingnya seorang pemimpin yang bertaqwa yang senantiasa mengajak rakyatnya patuh tunduk kepada semua hukum Allah dan menjauhi seluruh larangan Allah. Pemimpin bertaqwa sangat sadar bahwa musibah yang menimpa diakibatkan oleh kemaksiatan rakyatnya. Keimanan dan ketaqwaan adalah dua kondisi yang menjadi asbab datangnya keberkahan dari Allah.
Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Qs Al A’raf : 96).
Pada masa khilafah Umar bin Khattab pada tahun 18 H, dalam perjalanan ke Syam, ternyata disana sedang terjadi wabah thaun Amwas dari hasil laporan gubernur Syam saat itu, maka Umar tidak melanjutkan perjanan untuk berpindah dari takdir satu ke takdir yang lain. Ibarat menggembalakan kambing : pilih padang rumput hijau atau kering. Akhirnya mereka pulang ke Madinah.
Wabah Thaun berhenti dibawah kepemimpinan Amr bin Ash, beliau mengatakan : wahai manusia, penyakit ini seperti kobaran api, maka jaga jaraklah dan berpencarlah kalian dengan menempatkan diri di gunung-gunung.
Amru bin Ash, yaitu gubernur Mesir, dan apa yang telah diupayakan oleh Amr bin Ash ternyata sangat efektif dengan membuat kebijakan seluruh masyarakat wajib uzlah atau mengisolasi diri ke bukit-bukit, pegununungan dan lembah-lembah. Bagi yang tak punya bekal, Negara saat itu memberi jaminan akan kebutuhan pokoknya.
Maka jika wabah meluas, peran negara sangat dibutuhkan. Sebab negara dengan khalifah sebagai pemimpinnya adalah orang yang paling bertanggungjawab atas nasib rakyatnya. Sistem negara yang kuat dan pemimpin yang bertaqwa adalah kondisi ideal dalam menyelesaikan persoalan wabah ini.
Amir atau pemimpin masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas (urusan) rakyatnya (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad)
Berbeda dengan apa yang terjadi dalam sejarah peradaban Islam, pemimpin yang bertaqwa terbukti begitu mengutamakan keselamatan nyawa rakyatnya, dibandingkan kepentingan apapun selama terjadi wabah. Selain melakukan renungan atas perbuatan buruk yang pernah dilakukan, negara Islam juga melakukan berbagai solusi yang rasional dan terukur dalam rangka menyelamatkan nyawa rakyat.
Dalam Islam, seorang khalifah adalah orang yang diberikan amanah untuk mengurusi urusan rakyat dengan dasar syariat Islam. Seorang khalifah dibaiat oleh rakyat, namun tetap harus bertanggungjawab kepada Allah atas kepemimpinannya. Contohlah khalifah Umar Takut bin Khatab yang begitu takut kepada Allah jika sampai menelantarkan rakyatnya.
Dalam salah satu perbincangan dengan Muawiyah bin Hudaif setelah penaklukan Iskandariyah, Umar pernah berucap : Kalau aku tidur di siang hari, maka aku menelantarkan rakyatku. Dan jika aku tidur di malam hari, aku menyia-nyiakan diriku sendiri (tidak shalat malam). Bagaimana bisa tertidur pada dua keadaan ini wahai Muawiyah ? ”
Umar tentu sangat paham betapa berharganya nyawa satu orang muslim, sehingga dia sangat memperhatikan nasib rakyatnya, jangan sampai terzolimi sedikitpun. Itulah mengapa Umar pernah berkata, “Jika ada seekor onta mati karena disia-siakan tidak terurus. Aku takut Allah memintai pertangung-jawaban kepadaku karena hal itu.
Karena onta tersebut berada di wilayah kekuasaannya, Umar yakin ia bertanggung jawab atas keberlangsungan hidupnya. Ketika onta itu mati sia-sia karena kelaparan, atau tertabrak kendaraan, atau terjerembab di jalanan karena fasilitas yang buruk, Umar khawatir Allah akan memintai pertanggung-jawaban kepadanya nanti di hari kiamat.
Jangankan nyawa manusia yang menjadi rakyatnya, bahkan nyawa binatangpun bagi Umar tetap menjaganya dan tidak mau terzolimi karena kebijakannya. Sebuah hadist dengan tegas menyatakan : Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak. (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).
Siang dan malam Khalifah Umar selalu memantau keadaan rakyatnya. Umar benar-benar sadar kepemimpinan itu adalah melayani, bukan dilayani. Kepemimpinan bukan untuk menaikkan status sosial, menumpuk harta, yang akan menghasilkan kehinaan di akhirat semata. Nyawa rakyat bagi Umar adalah pertanggungjawaban besar kelak di akherat, maka menyia-nyiakannya adalah sebuah kezoliman.
Abdullah bin Abbas ra. mengatakan, “Setiap kali shalat, Umar senantiasa duduk bersama rakyatnya. Siapa yang mengadukan suatu keperluan, maka ia segera meneliti keadaannya. Ia terbiasa duduk sehabis shalat subuh hingga matahari mulai naik, melihat keperluan rakyatnya. Setelah itu baru ia kembali ke rumah”.
Sesaat setelah terpilh sebagai sebagai khalifah, dalam pidatonya, tergambar bagaimana takutnya Umar memikul beban tanggung jawab sebagai seorang pemimpin ketika itu. Dan bukan saat itu saja Umar merasa hal itu disampaikan Umar. Sesaat setelah Abu Bakar dimakamkan, Umar sudah merasakan ketakutan itu. Sebab dalam Islam kepemimpinan adalah amanah besar, tidak layak diperebutkan, apalagi jika salah niat. Amazing Umar bin Khattab.
Dalam buku, Biografi Umar bin Khattab karya Muhammad Husain Haekal digambarkan bagaimana sosok kepemimpinan khalifah kedua ini. Pertama, Umar adalah pemimpin yang sangat tegas terhadap kezoliman dan yang memusuhi Islam. Namun, Umar sangat lembut kepada orang jujur, adil dan teguh pada agamanya.
Kedua adalah kesadaran bahwa jabatan sebagai khalifah adalah ujian. Allah menguji rakyat dengan kepemimpinan Umar, sementara Umar diuji oleh rakyatnya. Dengan tegas Umar akan mengurus urusan rakyat dengan penuh amanah dan tidak menzolimi rakyat. Ketiga, adanya hubungan saling mengingatkan antara pemimpin dan rakyatnya.
Umar tak ragu meminta rakyat menegurnya atau mengkritiknya jika dirinya bersalah. Bahkan Umar dalam pidatonya, meminta rakyat tak ragu menuntutnya jika rakyat tak terhindar dari bencana, pasukan terperangkap ke tangan musuh. Bagi Umar, orang yang paling dicintai adalah yang mau menunjukkan kesalahannya.
"Bantulah saya dalam tugas saya menjalankan amar makruf naih munkar dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat saudara-saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya demi kepentingan audara-saudara sekalian," kata Umar menutup pidatonya.
“Jangan sekali-kali kamu mengira, Allah akan melupakan tindakan yang dilakukan orang zolim. Sesungguhnya Allah menunda hukuman mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak (karena melihat adzab).” (QS. Ibrahim: 42).
Tidak ada dosa yang lebih berhak untuk Allah segerakan hukuman bagi pelakunya di dunia, disamping masih ada hukuman di akhirat, selain dosa zolim dan memutus silaturrahmi. (HR. Turmudzi 2700, Abu Daud 4904 dan dishahihkan al-Albani).
Nah, untuk para pemimpin muslim, dimanapun berada, hendaknya berguru kepada kepemimpinan Umar bin KhaTtab bahwa betapa sang khalifah begitu mencintai dan dicintai rakyatnya karena begitu menghargai nyawa rakyatnya. Dia tidak ingin berbuat zolim sedikitpun yang berakibat hilangnya nyawa rakyat, meski hanya satu orang.
Namun satu hal yang sangat penting, bahwa meneladani khalifah Umar bin Khattab tidaklah sempurna tanpa penerapan sistem khilafah yang telah berhasil melahirkan para pemimpin hebat. Khalifah dan khilafah adalah dua hal yang tak mungkin dipisahkan. Kualitas pemimpin seperti Umar bin khattab hanya bisa dilahirkan dari sistem khilafah, bukan demokrasi.
Oleh Ahmad Sastra
Sumber artikel: ahmadsastra.com
0 Komentar