Dalam Ilmu Ushul Fiqih, kewajiban ibadah atau konsep tentang tugas manusia di muka bumi ini disebut dengan taklif atau beban syariat. Sedangkan pengemban taklif itu disebut dengan mukallaf, yaitu manusia yang telah memenuhi syarat kelayakan untuk menjalankan taklif dari Allah swt.
Adapun syarat-syarat seorang disebut mukallaf adalah:
1. Baligh (bukan anak kecil)
2. Berakal sehat (bukan orang gila)
Baligh artinya cukup umur atau sudah dewasa. Oleh sebab itu anak kecil tidak dibebani perintah dan larangan sebagaimana beban yang ditujukan kepada orang yang sudah baligh.
Sedangkan berakal artinya mempunyai akal yaitu mampu memahami sesuatu. Oleh sebab itu orang gila tidak dibebani perintah dan larangan.
Ada beberapa penghalang mukallaf dalam melaksanakan beban taklif antara lain:
1. Penghalang yang tidak bisa diusahakan manusia seperti gila, kurang akal, lupa, ketiduran, sakit, haidh, nifas, pingsan, dan mati.
2. Penghalang yang dapat diusahakan manusia seperti mabuk, bodoh, banyak hutang, safar, salah, dan boros.
Jika manusia adalah obyek yang dikenakan beban hukum, lantas siapakah yang berhak menetapkan hukum? Apakah manusia ataukah Pencipta manusia?
Para ulama telah sepakat bahwa hak menetapkan hukum bagi manusia hanyalah milik Allah SWT. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam al Qur’an:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’am: 57 dan QS. Yusuf: 40, 67).
وَاللَّهُ يَحْكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ
“Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya.” (QS. Ar Ra’du: 41).
Allah bersifat Al-Hakim artinya Allah bersifat Maha menetapkan hukum dan bersifat Maha bijaksana dalam hukum-Nya.
Banyak dalil dari Al-Qur'an yang menunjukkan bahwa Al-Hakim merupakan salah satu nama Allah Azza wa Jalla . Di samping itu, banyak juga disebutkan secara bersamaan dengan nama Allah lainnya.
Allah SWT berfirman:
قَالُوْا سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَاۤ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
"Mereka menjawab, Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 32)
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْۤا اَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَـكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
"Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 38)
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, Al-Hakim artinya Maha Bijaksana maksudnya adalah bijaksana dalam semua perkataan, perbuatan, syariat maupun taqdir-Nya.
Agar hukum Allah sampai pada manusia, maka Allah mengutus RasulNya. Oleh sebab itu Allah memerintahkan pada manusia agar taat pada RasulNya. Sepeninggal Rasulullah kewajiban ini diteruskan oleh para ulama sebagai pewaris para Nabi.
Allah SWT berfirman:
قُلْ اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ ۚ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْكٰفِرِيْنَ
"Katakanlah (Muhammad), Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir."
(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 32)
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اَطِيْـعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْـعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْ ۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْـتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَـوْمِ الْاٰخِرِ ۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 59)
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:
وَمَاۤ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْۤ اِلَيْهِمْ فَسْــئَلُوْۤا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
"Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,"
(QS. An-Nahl 16: Ayat 43)
Ayat-ayat di atas menjadi dasar legitimasi dari Allah SWT untuk taat kepada-Nya dan kepada manusia yang diberi legitimasi oleh-Nya untuk ditaati, yaitu Rasulullah SAW dan para ulama.
Meskipun ketaatan kepada Rasulullah tidaklah sama dengan ketaatan kepada para ulama, di mana ketaatan kepada ulama adalah ketaatan bersyarat yaitu selama para ulama itu mendasarkan keputusan hukumnya (ijtihad) kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah).
Imam al Mawardi berkata:
وطاعة وَلاَةِ الأمر تلزم في طاعة الله دون معصيته، وهي طاعة يجوز أن تزول، لجواز معصيتهم، ولا يجوز أن تزول طاعة رسول الله صلى الله عليه وسلم، لامتناع معصيته .
“Dan ketaatan kepada Ulil Amri diwajibkan selama berupa ketaatan kepada Allah dan bukan bermaksiat kepada-Nya, yaitu ketaatan yang bisa saja hilang (tidak diikuti) oleh sebab bolehnya tidak mengikuti mereka (maksiat), sedangkan ketaatan kepada Rasulullah tidaklah boleh hilang karena ketidakbolehan untuk bermaksiat kepadanya (tidak mengikutinya).”
Al-Hakim mewajibkan kepada mukallaf untuk melaksanakan semua yang di syariatkan-Nya. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنٰكَ عَلٰى شَرِيْعَةٍ مِّنَ الْاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَآءَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ
"Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui."
(QS. Al-Jasiyah 45: Ayat 18)
Berdasarkan ayat ini, Allah SWT memerintah kita agar senantiasa menjalankan semua syariah yang sudah Dia tetapkan, melakukan segala yang Dia perintahkan dengan sekuat tenaga, dan menjauhi semua yang Dia larang dengan kepasrahan jiwa. Semuanya itu merupakan konsekuensi dari keimanan kita kepada Allah SWT.
Lantas, bagaimana jika ada mukallaf yang membangkang dan membuat aturan sendiri? Tentu orang ini termasuk yang jahil yang akan mendapatkan murka dari Allah SWT.
Begitu banyak Allah SWT mengisahkan keburukan kaum di dalam Al-Quran, terutama pembangkangan mereka terhadap aturan-aturan Allah SWT. Mereka mengesampingkan Kitabullah dan mengagung-agungkan hukum jahiliah buatan manusia.
Allah SWT berfirman:
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ اُوْتُوْا نَصِيْبًا مِّنَ الْكِتٰبِ يُدْعَوْنَ اِلٰى كِتٰبِ اللّٰهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ يَتَوَلّٰى فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ وَهُمْ مُّعْرِضُوْنَ
"Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian Kitab (Taurat)? Mereka diajak (berpegang) pada Kitab Allah untuk memutuskan (perkara) di antara mereka. Kemudian sebagian dari mereka berpaling seraya menolak (kebenaran)."
(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 23)
Allah SWT pun menegaskan bahwa siapa saja yang merampas hak tasyri’ yaitu hak membuat hukum, maka dia telah berbuat syirik:
Allah SWT berfirman:
اَمْ لَهُمْ شُرَكٰٓ ؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْۢ بِهِ اللّٰهُ ۗ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَاِنَّ الظّٰلِمِيْنَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
"Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridai) Allah? Dan sekiranya tidak ada ketetapan yang menunda (hukuman dari Allah) tentulah hukuman di antara mereka telah dilaksanakan. Dan sungguh, orang-orang zalim itu akan mendapat azab yang sangat pedih."
(QS. Asy-Syura 42: Ayat 21)
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir berkata: Maksudnya mereka tidak mengikuti apa yang disyariatkan Allah kepadamu, yakni berupa agama yang lurus. Mereka malah mengikuti apa yang disyariatkan oleh setan-setan mereka dari kalangan jin dan manusia.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Al-Hakim lah yang berhak membuat hukum. Ketika mukallaf mencoba membuat hukum sendiri maka yang lahir adalah hukum jahiliah.
Cukuplah firman Allah SWT ini sebagai renungan bagi para mukallaf, Allah SWT berfirman:
اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50)
Wallahu A'lam bish showab.[]
Oleh Achmad Mu'it
Analis Politik Islam
Referensi
1. Isnan Ansory, "Taklif dan Kewajiban Manusia", 2015.
2. http://www.ibnukatsironline.com
3. http://quran-id.com
0 Komentar