Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting): Dapatkah dibenarkan?


Sebagaimana diwartakan Serambinews.com, Muhammad Basri yang bekerja sebagai sopir di sebuah perusahaan kargo di Tangerang meningga dunia akibat main hakim sendiri berupa amuk masa. Peristiwa amuk masa yang dialami Basri, terjadi pada Jumat (8/5/2020) dinihari di kawasan Jalan Raya Wana Kencana Sektor 12,4 Ciater Tagerang, sekitar pukul 00:21 WIB.

"Saat sedang beli rokok itulah, entah siapa yang memulai, tiba-tiba Basri diteriaki maling motor. Masa kemudian berkerumun dan menyerang almarhum secara membabi buta dan menariknya dari dalam toko. Almarhum sudah berusaha menjelaskan siapa dirinya, tapi tidak didengar oleh masa," ujar Nazarullah (Ketua Aliansi Pemuda Aceh Jakarta),  mengutip cerita rekan Basri. Almarhum Basri tidak berdaya ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum (RSU) Tangerang Kota dan mengembuskan nafas terakhir.

Benar apa yang dikatakan oleh para penstudi Hukum dan Masyarakat, termasuk Sosiologi Hukum bahwa hukum tidak bekerja di ruang hampa. Hukum bekerja di dalam masyarakat yang terbingkai dengan keterkaitannya dengan sub sistem-subsistem sosial lainnya seperti budaya, sosial, ekonomi dan politik. Dalam hal inilah interaksi itu berjalan sehingga akan sangat mungkin terjadi friksi, konflik hingga sengketa di antara para aktor dalam interaksi tersebut. Masyarakat sebenarnya sangat memahami bahwa ada prasarana formal yang dapat dipakai untuk menyelesaikan semua perkara hukum yang dihadapinya, yakni due process of law sebagai karakter adanya negara hukum Indonesia. Due process of law ternyata pelaksanaan sangat kontekstual, tergantung tipe masyarakat, faktor situasi dan kondisi yang melingkupinya. Sering kita mendengar beberapa kasus lynch, main hakim sendiri sebagai illegal short cut terhadap due process of law. 

Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting dalam bahasa Belanda) atau dalam bahasa Indonesia saat ini umumnya disamakan dengan persekusi, memiliki arti dalam KBBI sebagai “pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas”. Hal yang paling penting dari definisi perbuatan ini adalah, perbuatan pemburuan tersebut dilakukan tanpa dilandasi kewenangan hukum yang ada, dan lebih mengutamakan emosi belaka. Dengan berkembangnya term ini oleh masyarakat Indonesia sekarang, sebenarnya tidak sepenuhnya dikatakan tepat bila kita berbicara dalam konteks hukum, namun penulis akan mencoba untuk mengikutinya terlebih dahulu.

A. Apakah Main Hakim Sendiri itu? 

Berdasarkan catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sejak Januari hingga 7 Juni 2017 telah terjadi 88 kasus persekusi, dan hal ini terus meningkat, hingga pada pertengahan November lalu tercatat sudah ada 100 orang yang menjadi korban. Sebelum kita mempercayai data tersebut, baiknya memang kita mengerutkan dahi terlebih dahulu, apakah peristiwa yang dicatat oleh SAFEnet tersebut telah memenuhi definisi yang dicatatkan oleh KBBI? Atau yang dimaksud oleh SAFEnet tersebut adalah suatu tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) saja? Karena sebenarnya ada perbedaan yang tegas dalam kedua definisi ini. Persekusi adalah sebuah kata serapan dari bahasa Inggris yakni persecution, yang dalam Black’s Law Dictionary (9th edition) memiliki arti: “Violent, cruel, and oppressive treatment directed toward a person or group of persons because of their race, religion, sexual, orientation, politics, or other beliefs” 

Serta bila kita melihat dalam Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional Pasal 7.1, menyatakan bahwa persekusi adalah bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang berkaitan dengan serangan yang sistematik dan meluas yang ditujukan kepada suatu kelompok sipil. Persekusi dalam Statuta Roma Pasal 7.1 huruf (h) ialah: 
Persecution against any identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic, cultural, religious, gender as defined in paragraph 3, or other grounds that are universally recognized as impermissible under international law, in connection with any act referred to in this paragraph or any crime within the jurisdiction of the Court; 

Di sini semakin jelas, bahwa arti sesungguhnya dari Persekusi yang sekarang banyak disamakan dengan eigenrechting adalah suatu hal yang berbeda. Persekusi dalam hukum internasional adalah suatu kejahatan terhadap kemanusiaan yang mempunyai ciri khusus yakni, dilakukan secara sistematik dan meluas. Serta Persekusi lebih memiliki arti bahwa suatu peristiwa tersebut berkaitan erat dengan victim’s background, dan cenderung melibatkan banyak orang. Contoh yang bisa dikatakan mirip adalah beberapa kasus pengrusakan masjid di Amerika Serikat sepanjang 2017 ini. Di negara Amerika itu, beberapa masjid ada yang di lempar batu di Collorado, pengeboman di Masjid Minnesota , bahkan pembakaran Masjid di Texas . Meskipun tindakan tersebut didasari oleh victim’s background, namun belum bisa dikatakan sepenuhnya bahwa itu Persekusi bila dilihat dari sudut pandang Statuta Roma -yang entered into force pada 2002 itu- karena harus memenuhi definisi secara sistematik dan meluas. Dengan demikian istilah persekusi yang disamakan pada eigenrechting bukanlah istilah yang tepat, dan kita wajib menggunakan term tindakan main hakim sendiri (eigenrechting). 

Untuk mendapatkan definisi eigenrechting yang baik, maka akan dipaparkan beberapa pengertian dari pakar hukum yang lain. Astrid Bosch, dalam disertasi doktor di Universitas Groningen berjudul: “Citizens Enforcing the Law: the legal and social space for citizen´s arrest” mengutip beberapa pakar hukum di Belanda: 

Van Wifferen (2003) and Kelk (2005) reuse the old Dutch term eigenrechting to define it as an action where citizens, trying to enforce rights or reacting to crimes, transgress legal limits. Both authors emphasize that limits are overstepped: eigenrechting rebels against the state’s central authority and is illegal. De Waard (1984) and De Roos (2000) also refer to this aspect, though accenting another idea: to them, eigenrechting actually embodies a clash between different normative visions -that of the state and that of a citizen. For De Roos (2000:307), it is ‘the violation of enforceable criminal norms as a consequence of citizen’s own value perceptions, appraisals or interests’.

Setidaknya ada dua hal yang dapat ditarik dari pendapat para ahli hukum di atas, yakni, eigenrechting adalah reaksi atas kejahatan yang dilakukan masyarakat tersebut telah melampaui batasan-batasan hukum yang diperkenankan, dan hal itu adalah perbuatan ilegal, yang kedua, terdapat perbenturan pemahaman, penilaian, atau ketertarikan yang dimiliki suatu negara dengan masyarakat itu sendiri. 

Pada abad ke 21 ini, kita tidak bisa memisahkan antara negara dan masyarakat dalam konteks penegakan hukum. Memang benar bahwa di Indonesia, melalui KUHAP dan peraturan lainnya yang memberikan kewenangan pada suatu lembaga penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Komnas HAM, Penyidik PNS, dapat melakukan suatu kegiatan penangan perkara tindak pidana. Namun, masyarakat juga sudah dituntut untuk membantu penegakan hukum di Indonesia, setidaknya dalam ranah kehidupan rumah tangga, yakni dilaksanakannya “siskamling” pada malam hari. Selain itu dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) pun telah secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib dalam pertahanan dan keamanan negara, selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan bahwa rakyat adalah kekuatan pendukung, sedang TNI dan Kepolisian adalah kekuatan utama. Maka dengan demikian masyarakat Indonesia benar-benar memiliki hak dan kewajiban ikut turut andil dalam kegiatan penegakan hukum (citizen’s role of law enforcement) dalam kondisi-kondisi tertentu.

B. Apakah Main Hakim Sendiri itu Tindak Pidana? 

Untuk dapat dikatakan suatu perbuatan termasuk kedalam suatu tindak pidana, maka perbuatan tersebut harus secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting), sebenarnya bukan merupakan suatu jenis tindak pidana yang diatur secara tegas dalam KUHP atau undang-undang diluar KUHP. Umumnya, akibat dari perbuatan eigenrechting dapat masuk kedalam beberapa jenis tindak pidana, yang berujung pada tindakan kurang menyenangkan, pengancaman, penganiayaan, hingga penculikan yang diatur dalam Buku II tentang Kejahatan di KUHP. Tindakan main hakim sendiri di Indonesia, telah mendapat definisi yang diterima secara umum oleh masyarakat, yakni perbuatan sekelompok orang (biasanya warga) yang kebetulan memergoki terjadinya suatu perbuatan tindak pidana, kemudian warga tersebut bertindak dengan mengejar, menangkap, kemudian menganiayanya, bisa dengan memukul, menendang, menampar, bahkan hingga membunuhnya. 

Kasus yang sempat viral pada bulan Agustus tahun 2017 adalah kasus pencurian amplifier di Kabupaten Bekasi yang berakhir dengan dibakar hidup-hidupnya korban berinisial MA (30), dan juga kasus dua orang remaja berinisial RN (28) dan MA (20) di Kabupaten Tangerang yang beri sanksi sosial yang berlebihan dan tak ber-otak oleh warganya sendiri. Dalam potret tersebut, tampak jelas bahwa itulah yang dinamakan “vandalisme barbarian”. Masyarakat sekarang sangat mudah emosi dalam menghadapi suatu peristiwa yang terjadi di sekitarnya, tanpa memikirkan akibat apa yang akan timbul kemudian. Maka dapat dikatakan sebuah adagium “hantam dulu, urusan belakangan”. Masyarakat yang seharusnya sudah modern dan berakal bermoral, justru kembali ke zaman barbarian, yang seolah-olah tak mengenal bahwa ada aparat penegak hukum yang berwenang memprosesnya. 

Penulis akan gunakan suatu contoh kasus karangan dalam menjelaskan lebih lanjut. Pada 10 November 2020 di kampung Astinapura, pukul 01.30 WIB dini hari, terjadi sebuah perampokan berupa pencurian mobil dan barang berharga berupa emas di suatu rumah. Kebetulan ada beberapa warga yang melihat aksi tersebut, sontak mereka berteriak “maliiiing!” agar membangunkan warga sekitar untuk membantu menangkap kawanan perampok tersebut. Pengejaran tersebut berlangsung cukup dramatis, yang akhirnya kawanan perampok tertangkap tidak jauh dari rumah yang dirampok tersebut. Kemudian warga menyuruh agar kawanan perampok mengakui kesalahannya, dan setelah perampok mengakui kesalahannya, kemudian diserahkan kepada Kepolisian agar diusut lebih lanjut. 
Pertanyaan yang akan penulis ajukan, apakah warga memiliki kewenangan hukum dalam melakukan pengejaran, penangkapan maupun memaksa untuk mengaku, bahwa perampok tersebut melakukan tindak pidana? Apakah kawanan perampok ini sama sekali tidak terlukai, baik secara fisik maupun mental dalam drama pengejaran tersebut, dan apakah kesehatannya sengaja dirusak sebagaimana Pasal 351 ayat (4) KUHP? Dan pertanyaan intinya, apakah warga Astinapura telah melakukan tindakan main hakim sendiri dalam peristiwa ini, atau warga Astinapura sebenarnya telah membantu proses penegakan hukum yang ada? 

Dalam menilai kasus tentang tindakan main hakim sendiri di Indonesia harus dilihat secara satu-persatu, dan tidak bisa digeneralisir, dan kemudian divonis bahwa itu adalah suatu bentuk eigenrechting. Karena kita harus menjabarkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilakukan kepada pelaku kejahatan terkait, apakah itu telah melampaui batasan-batasan hukum yang ada, atau masih dalam koridor yang diperkenankan oleh hukum dan hak asasi manusia (HAM). 

Hemat saya, contoh tersebut di atas bisa menjadi tindakan main hakim sendiri apabila setelah ditangkap oleh warga, kemudian warga memaksa kawanan perampok itu, untuk menanggalkan semua pakaian yang melekat di tubuh mereka, kemudian diarak di kampung tersebut, dan akhirnya mereka dipukuli dan dibakar hidup-hidup. Hal ini dapat dikatakan sebagai tindakan main hakim sendiri dengan dijelaskannya bahwa, sekelompok perampok itu telah ditangkap oleh warga sekitar, dan dengan demikian kondisi perampok tersebut sudah bukan dalam keadaan yang berbahaya, apalagi dalam kondisi melakukan suatu perampokan, namun setelah itu warga Astinapura malah melakukan perbuatan penganiayaan berat. Warga Astinapura sudah membantu proses penegakan hukum (citizen’s role of law enforcement) dengan melakukan pengejaran dan penangkapan saja, hanya sebatas hal ini, langkah selanjutnya adalah menelepon aparat kepolisian untuk memproses sesuai prosedur hukum yang berlaku. 

Dalam usahanya untuk mendapatkan perlindungan hukum, masyarakat dapat melakukan tindakan pencegahan (proactive law enforcement) dan tindakan reaksi atas kejahatan yang terjadi (reactive law enforcement). Dalam tema kali ini, penulis menyoroti reaksi yang dilakukan oleh masyarakat atas kejahatan yang terjadi. Secara prinsipnya hanya aparat penegak hukum saja yang dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan perbuatan yang sensitif terhadap HAM yakni upaya paksa. Upaya paksa yang dapat berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan terhadap seorang tersangka itu pada hakikatnya melanggar hak asasi manusia, terutama sampai penahanan, wajar saja bahwa negara melalui alat-alatnya sajalah yang diberi kewenangan atas hal ini. Namun demikian, karena tuntutan-tuntutan penegakan hukum, masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam upaya penegakan hukum itu, namun dalam batasan-batasan tertentu. Masyarakat dapat melakukan suatu phisycal force yang benar-benar dibutuhkan kepada seorang tersangka yang diduga akan melakukan, sedang melakukan, atau telah melakukan suatu kejahatan dengan tujuan untuk menyerahkan tersangka tersebut ke Kepolisian untuk kemudian dilakukan proses penyidikan. 

Masih terkait dari reaksi atas terjadinya tindak pidana, dalam kondisi tertentu, seseorang yang menjadi korban kejahatan (pemilik rumah warga Astinapura) dapat melakukan suatu pembelaan yang terkait dengan alasan penghapus pidana, setidaknya ada alasan pembenar dilakukannya suatu tindak pidana, yakni berdasarkan pembelaan terpaksa (noodweer), maupun alasan pemaaf yakni pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweerexces). Namun di sini penulis tidak menjelaskan lebih lanjut, karena bukan keahlian penulis.

C. Bagaimana Hukumnya Main Hakim Sendiri Dalam Masyarakat Pluralistik? 

Seperti telah disinggung di awal tulisan ini, bahwa hukum bukanlah suatu sub sistem sosial yang bekerja di ruang hampa, berulangkali ilmu sosiologi hukum menekankan bahwa hukum itu bekerja di dalam suatu masyarakat. Prof. Satjipto mengatakan bahwa tanpa masyarakat, maka tidak ada hukum tetapi tanpa adanya hukum, masyarakat tetap dapat berjalan. Hal ini berarti bahwa untuk memahami hukum dengan baik, kita perlu memahami masyarakatnya terlebih dahulu. Kehidupan manusia tidak diawali dengan membangun suatu kehidupan di bawah sistem hukum yang canggih, melainkan membangun suatu masyarakat atau komunitas terlebih dahulu.

Masyarakat atau komunitas yang dibangun ini, mempunyai dasar yang kuat, yakni terbangunnya kebersamaan dan rasa saling membutuhkan satu sama lain. Maka dapat disimpulkan bahwa kualitas dari masyarakat harus dibangun terlebih dahulu, sebelum kita membicarakan mengenai hukum itu sendiri. Karena hukum itu memiliki basis utamanya ialah masyarakat (manusia), maka dari dalam kehidupan bersama itulah bahan-bahan untuk membangun sistem hukum diambil. 

Di dalam proses penegakan hukum di Indonesia, masalah yang perlu dipertimbangkan adalah struktur masyarakat Indonesia. Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik, yaitu secara horizontal dan secara vertikal. Secara horizontal, ia ditandai dengan kenyataan bahwa adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku-suku, agama, adat dan kedaerahan. Masyarakat kita oleh Furnivall disebut sebagai masyarakat majemuk (plural societies). Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal berupa lapisan atas dan lapisan bawah, agraris dan industri. Oleh karena karakteristik tersebut, maka perkembangan kehidupan masyarakat kita juga tidak bisa serempak.

Di satu sisi sebagian masyarakat kita masih berkutat di bidang agraris, di sisi lain sebagian sudah melangkah ke dunia industri bahkan sebagian lagi sudah berada pada taraf dunia informasi. Fred W. Riggs menyebut masyarakat seperti ini sebagai masyarakat prismatik (prismatic society) . 

Kondisi masyarakat yang plural dan prismatik tersebut harus disikapi dengan arif agar bangsa Indonesia dapat menjadi survival of the fittes di dunia internasional dalam era globalisasi. Dalam kondisi demikian, sistem yang diharapkan mampu mengantisipasi berbagai perubahan sosial adalah sistem hukum. Hukum tampil sebagai kekuatan untuk mengatur (regulative) dan melakukan integrasi(law as an integrative mechanism) sebagimana dikemukakan oleh Harry C. Bredemeier. 

Pluralitas masyarakat Indonesia---sebagai bagian Asia---seharusnya menjadi dasar penegakan hukumnya. Hukum dan masyarakat memiliki keterkaitan yang sangat kuat, bahkan Tamanaha mengatakan bahwa hukum memiliki a peculiar form of social life. Oleh Brian Z. Tamanaha dikatakan bahwa hukum dan masyarakat memiliki bingkai yang disebut The Law-Society Framework yang memiliki karakteristik hubungan tertentu. Hubungan tersebut ditunjukkan dengan dua komponen dasar. Komponen pertama terdiri dari dua tema pokok yaitu ide yang menyatakan bahwa hukum adalah cermin masyarakat dan ide bahwa fungsi hukum adalah untuk mempertahankan social order. Komponen kedua terdiri dari tiga elemen, yaitu: custom/consent; morality/reason; dan positive law. Custom/consent and morality/reason dapat dipahami dalam pemikiran Donald Black sebagai culture. 

Berdasar pendapat Tamanaha morality/reason dapat dipahami dalam pemikiran Donald Black sebagai culture tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ada keterikatan erat antara state (dengan positive law-nya), society (dengan custom/consent-nya) dan natural law (dengan morality/religion-nya). Hal inilah yang ditangkap oleh Werner Menski pada saat meneliti tentang perbandingan hukum antara negara-negara di Asia dan Afrika. Berdasarkan temuannya Menski menyimpulkan bahwa penegakan hukum di Asia dan Afrika sangat berbeda dengan penegakan hukum di Barat, khususnya di Eropa yang merupakan salah satu asal/sumber hukum modern di kedua benua tersebut. Penegakan hukum di Eropa tidak terlalu bergantung dan dipengaruhi oleh unsur-unsur non-hukum seperti moral, ethic dan religion yang tergabung dalam natural law. Bangsa-bangsa di Eropa sangat nyaman dengan state law. Berbeda dengan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang sangat dipengaruhi oleh adat, moral, religion, ethic dalam cara berhukumnya. Hal ini disebabkan pembentukan hukumnya juga berasal dari dua unsur utama yaitu adat dan religion di samping bahan hukum dari Eropa. 

Untuk memahami hukum dan cara berhukum di Asia dan Afrika tidak bisa lagi didekati dengan tiga pendekatan klasik seperti pendekatan filosofis, pendekatan normatif dan pendekatan socio-legal. Menski menawarkan pendekatan keempat yang disebut dengan legal pluralism approach. Pendekatan legal pluralism mengandalkan adanya pertautan antara state (positive law), aspek kemasyarakatan (socio-legal approach) dan natural law (moral/ethic/religion). Cara berhukum yang hanya mengandalkan positive law dengan rule and logic serta rule bound-nya hanya akan bermuara pada kebuntuan dalam pencarian keadilan substantif. 

Seperti yang dikatakan Menski, bahwa berhukum di Asia dan Afrika berbeda dengan berhukum di Eropa. Berhukum di Indonesia sangat dipengaruhi dengan nilai-nilai moral dan kemasyarakatan. Paparan dan pemateri sebelumnya telah menjelaskan mengenai state positivism dalam KUHP dan aturan terkait yang lain yang berkaitan dengan eigenrechting, maka langkah berikutnya, kita memperhatikan tentang Natural Law dan Socio-Legal Approach¬¬-nya. Kedua aspek ini akan dibahas secara bersamaan karena saling berkaitan satu sama lain.

Ketika kita berbicara mengenai tindakan main hakim sendiri (eigenrechting), maka yang terbayang di alam imajinasi kita adalah seseorang atau sekelompok orang yang “menghakimi” orang lain tanpa memperhatikan due process of law. Kata kuncinya adalah due process of law. Penghormatan terhadap due process of law harus dilakukan oleh setiap manusia ketika menghadapi permasalahan hukum yang ada di lingkungan sekitar, inilah suatu bentuk pemenuhan dan pemerhatian terhadap aspek moral/ethic/religion dalam lingkup Natural Law yang harus dilakukan setiap lapisan masyarakat. 

Masyarakat Indonesia seharusnya mengerti dan memahami, bahwa terdapat suatu mekanisme hukum yang harus ditempuh ketika berhadapan dengan suatu tindak pidana, dan bila diperlukan melakukan suatu tindakan ketika menghadapi suatu kejahatan, maka hanya tindakan yang benar-benar dibutuhkan saja. Misalnya apabila hak kita merasa terganggu oleh perilaku orang lain, maka sebaiknya kita serahkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib, yakni kepolisian untuk mengusut peristiwa hukum tersebut. Apalagi sekarang akses untuk mengetahui apa yang harus dilakukan ketika berhadapan dengan suatu permasalahan hukum sangat mudah, hanya dengan jari-jemari dan perangkat yang terkoneksi internet. Namun perlu diingat, bahwa hanya persoalan hukum berupa kejahatan tertentu saja yang perlu disampaikan ke Kepolisian, karena hukum pidana adalah ultimum remedium. Serta bila dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat, maka akan lebih memenuhi rasa moral dan etika, ketimbang saling lapor satu sama lain yang bertujuan untuk menjatuhkan orang tersebut.

D. Bagaimana Peran Yang Diharapkan dari Masyarakat dan Pemerintah? 

Masyarakat Indonesia masa kini memang sedang dalam proses belajar, belajar memahami hukum yang berlaku. Hal ini sebenarnya adalah suatu keanehan, mengingat bahwa hukum itu diambil dari perilaku dan pemikiran masyarakat itu sendiri, dan seharusnya masyarakat tahu apa itu dan bagaimana berperilaku sesuai koridor hukum yang ada. Terlepas dari itu, hukum sekarang berubah dari substansi keadilan dan hidup berkeadilan menjadi teks, skema, kebahasaan, sehingga kita berhadapan dengan substansi pengganti, bukan lagi substansi keadilan yang asli. Kita dipaksa untuk berhukum dengan menggunakan akal sehat, pemahaman sebuah teks hukum yang ada, dan pemaknaan-pemaknaan suatu hal. 

Menurut Fritjof Capra, sekarang ini kita hidup dalam suatu masa turning point. Ketidakmampuan kita untuk kembali melihat kehidupan manusia dengan pandangan yang utuh, menurut Capra, menyebabkan terjadi krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral dan spiritual manusia. Orang tidak bisa lagi memusatkan perhatian pada satu objek yang dipisahkan dari lingkungannya, melainkan membiarkan objek tersebut bersatu dengan lingkungannya.

Masyarakat tidak bisa memisahkan antara akumulasi kekesalan yang terjadi sebelumnya dengan peristiwa hukum yang ada di depan matanya. Akumulasi kekesalan masyarakat ini timbul karena ketidakharmonisan penegakan hukum, korupsi yang merajalela, bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa, ada beberapa oknum yang memanfaatkan proses rekrutmen lembaga negara untuk menjadi penegak hukum dengan meminta sejumlah imbalan. Kekesalan-kekesalan inilah yang membawa masyarakat tidak lagi mempercayai due process of law yang telah diatur itu sendiri. Dalam harian Kompas 27 November 2017 lalu, Guru Besar Psikologi Politik, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, dan Peneliti Pusat Kesehatan Mental Masyarakat, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Rahmat Hidayat, juga menyampaikan hal demikian, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pranata hukum serta inkonsistensi dari aparat penegak hukum yang menjadi trigger dalam peristiwa belakangan ini. 

Dengan mengetahui bahwa masyarakat mempunyai peran dalam penegakan hukum Indonesia, seharusnya kita harus melihat bahwa ini merupakan suatu hal yang harus diarahkan dengan baik. Maka setidaknya terdapat dua saran agar kekuatan masyarakat ini tidak menjadi hal yang berlawanan dengan hukum berupa eigenrechting. 

Pertama, harus segera diperbaikinya criminal justice system kita, yang bisa dimulai dengan memperbaiki peraturan perundang-undangan yang ada. KUHP dan KUHAP secepatnya harus diperbaiki secara saksama, dan secara holistik dengan melihat bagaimana budaya masyarakat dan perkembangan ilmu hukum sekarang ini. Memang ini bukan saran yang bisa dilakukan dengan cepat, karena semua akan bergantung kepada “yang terhormat” di Senayan sana sebagai law makers di Indonesia. Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan tersebut sudah sedemikian mendesak. Peraturan perundang-undangan over rule dan banyaknya tumpang tindih kewenangan suatu lembaga yang diberikan, membuat criminal justice system di Indonesia menjadi tidak jelas. Diharapkan, dengan diperbaharuinya KUHP dan KUHAP dalam waktu 5-10 tahun ini, mampu menyempurnakan law enforcementdi Indonesia. 

Kedua, yang bisa dilakukan sedini mungkin adalah memperbaiki dan mendukung perubahan yang sedang dilakukan aparat penegak hukum di Indonesia terutama Kepolisian RI sebagai lembaga pertama dalam penanganan tindak pidana. Apa yang telah diinisiasikan oleh seorang Kapolri, Jenderal Polisi Tito Karnavian dengan Program Promoter (Profesional, Modern dan Terpercaya) yang memiliki 11 Program Prioritas dalam mencapai visi tersebut, sangatlah baik dan perlu didukung bersama. Program yang paling berat adalah program “Terpercaya”. Karena hal ini merupakan akumulasi dari keprofesionalitasan Polri dalam melaksanakan tugas hukumnya. Untuk membangun suatu kepercayaan kepada masyarakat butuh beberapa hal, yakni tekun, idealitas, dan independensi. Idealitas dan independensi merupakan dua prinsip pokok yang harus dimiliki setiap aparat penegak hukum, karena ini yang bisa mengendalikan mereka dari godaan-godaan yang buruk. Godaan untuk mempermainkan perkara, pencapaian suatu target kerja untuk keperluan kenaikan pangkat dengan cara yang salah, hingga keberpihakan kepada suatu golongan, pada akhirnya hanya menjadikan visi Terpercaya itu sebagai suatu hal yang utopis saja.

E. Penutup 

Tindakan main hakim sendiri sangat berpotensi dilakukan baik pada masyarakat sederhana maupun masyarakat yang telah modern. Tindakan ini dilakukan lebih didominasi adanya RASA tidak terpenuhi atau lambat terpenuhi atas tuntutan dan kebutuhan pencari keadilan. Ketika akses untuk mendapatkan keadilan (access to justice) menemui kebuntuan sehingga memunculkan rasa ketidakpuasan, maka di situlah akan subur bibit dilakukannya tindakan main hakim sendiri. 

Ada sedikitnya dua hal yang bisa dilakukan peran masyarakat yang potensial dalam berpartisipasi dalam penegakan hukum, yakni: 

Pertama, harus segera diperbaikinya criminal justice system kita, yang bisa dimulai dengan memperbaiki peraturan perundang-undangan yang ada. KUHP dan KUHAP secepatnya harus diperbaiki secara saksama, dan secara holistik dengan melihat bagaimana budaya masyarakat dan perkembangan ilmu hukum sekarang ini. 

Kedua, yang bisa dilakukan sedini mungkin adalah memperbaiki dan mendukung perubahan yang sedang dilakukan aparat penegak hukum di Indonesia terutama Kepolisian RI sebagai lembaga pertama dalam penanganan tindak pidana. 

#liveOppressedOrRiseUpagainst
#LamRadTINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI (EIGENRECHTING): Dapatkah dibenarkan?

Oleh: Pierre Suteki

A. Pengantar 

Sebagaimana diwartakan Serambinews.com, Muhammad Basri yang bekerja sebagai sopir di sebuah perusahaan kargo di Tangerang meningga dunia akibat main hakim sendiri berupa amuk masa. Peristiwa amuk masa yang dialami Basri, terjadi pada Jumat (8/5/2020) dinihari di kawasan Jalan Raya Wana Kencana Sektor 12,4 Ciater Tagerang, sekitar pukul 00:21 WIB.

"Saat sedang beli rokok itulah, entah siapa yang memulai, tiba-tiba Basri diteriaki maling motor. Masa kemudian berkerumun dan menyerang almarhum secara membabi buta dan menariknya dari dalam toko. Almarhum sudah berusaha menjelaskan siapa dirinya, tapi tidak didengar oleh masa," ujar Nazarullah (Ketua Aliansi Pemuda Aceh Jakarta),  mengutip cerita rekan Basri. Almarhum Basri tidak berdaya ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum (RSU) Tangerang Kota dan mengembuskan nafas terakhir.

Benar apa yang dikatakan oleh para penstudi Hukum dan Masyarakat, termasuk Sosiologi Hukum bahwa hukum tidak bekerja di ruang hampa. Hukum bekerja di dalam masyarakat yang terbingkai dengan keterkaitannya dengan sub sistem-subsistem sosial lainnya seperti budaya, sosial, ekonomi dan politik. Dalam hal inilah interaksi itu berjalan sehingga akan sangat mungkin terjadi friksi, konflik hingga sengketa di antara para aktor dalam interaksi tersebut. Masyarakat sebenarnya sangat memahami bahwa ada prasarana formal yang dapat dipakai untuk menyelesaikan semua perkara hukum yang dihadapinya, yakni due process of law sebagai karakter adanya negara hukum Indonesia. Due process of law ternyata pelaksanaan sangat kontekstual, tergantung tipe masyarakat, faktor situasi dan kondisi yang melingkupinya. Sering kita mendengar beberapa kasus lynch, main hakim sendiri sebagai illegal short cut terhadap due process of law. 

Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting dalam bahasa Belanda) atau dalam bahasa Indonesia saat ini umumnya disamakan dengan persekusi, memiliki arti dalam KBBI sebagai “pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas”. Hal yang paling penting dari definisi perbuatan ini adalah, perbuatan pemburuan tersebut dilakukan tanpa dilandasi kewenangan hukum yang ada, dan lebih mengutamakan emosi belaka. Dengan berkembangnya term ini oleh masyarakat Indonesia sekarang, sebenarnya tidak sepenuhnya dikatakan tepat bila kita berbicara dalam konteks hukum, namun penulis akan mencoba untuk mengikutinya terlebih dahulu.

B. Apakah Main Hakim Sendiri itu? 

Berdasarkan catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sejak Januari hingga 7 Juni 2017 telah terjadi 88 kasus persekusi, dan hal ini terus meningkat, hingga pada pertengahan November lalu tercatat sudah ada 100 orang yang menjadi korban. Sebelum kita mempercayai data tersebut, baiknya memang kita mengerutkan dahi terlebih dahulu, apakah peristiwa yang dicatat oleh SAFEnet tersebut telah memenuhi definisi yang dicatatkan oleh KBBI? Atau yang dimaksud oleh SAFEnet tersebut adalah suatu tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) saja? Karena sebenarnya ada perbedaan yang tegas dalam kedua definisi ini. Persekusi adalah sebuah kata serapan dari bahasa Inggris yakni persecution, yang dalam Black’s Law Dictionary (9th edition) memiliki arti: “Violent, cruel, and oppressive treatment directed toward a person or group of persons because of their race, religion, sexual, orientation, politics, or other beliefs” 

Serta bila kita melihat dalam Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional Pasal 7.1, menyatakan bahwa persekusi adalah bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang berkaitan dengan serangan yang sistematik dan meluas yang ditujukan kepada suatu kelompok sipil. Persekusi dalam Statuta Roma Pasal 7.1 huruf (h) ialah: 
Persecution against any identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic, cultural, religious, gender as defined in paragraph 3, or other grounds that are universally recognized as impermissible under international law, in connection with any act referred to in this paragraph or any crime within the jurisdiction of the Court; 

Di sini semakin jelas, bahwa arti sesungguhnya dari Persekusi yang sekarang banyak disamakan dengan eigenrechting adalah suatu hal yang berbeda. Persekusi dalam hukum internasional adalah suatu kejahatan terhadap kemanusiaan yang mempunyai ciri khusus yakni, dilakukan secara sistematik dan meluas. Serta Persekusi lebih memiliki arti bahwa suatu peristiwa tersebut berkaitan erat dengan victim’s background, dan cenderung melibatkan banyak orang. Contoh yang bisa dikatakan mirip adalah beberapa kasus pengrusakan masjid di Amerika Serikat sepanjang 2017 ini. Di negara Amerika itu, beberapa masjid ada yang di lempar batu di Collorado, pengeboman di Masjid Minnesota , bahkan pembakaran Masjid di Texas . Meskipun tindakan tersebut didasari oleh victim’s background, namun belum bisa dikatakan sepenuhnya bahwa itu Persekusi bila dilihat dari sudut pandang Statuta Roma -yang entered into force pada 2002 itu- karena harus memenuhi definisi secara sistematik dan meluas. Dengan demikian istilah persekusi yang disamakan pada eigenrechting bukanlah istilah yang tepat, dan kita wajib menggunakan term tindakan main hakim sendiri (eigenrechting). 

Untuk mendapatkan definisi eigenrechting yang baik, maka akan dipaparkan beberapa pengertian dari pakar hukum yang lain. Astrid Bosch, dalam disertasi doktor di Universitas Groningen berjudul: “Citizens Enforcing the Law: the legal and social space for citizen´s arrest” mengutip beberapa pakar hukum di Belanda: 

Van Wifferen (2003) and Kelk (2005) reuse the old Dutch term eigenrechting to define it as an action where citizens, trying to enforce rights or reacting to crimes, transgress legal limits. Both authors emphasize that limits are overstepped: eigenrechting rebels against the state’s central authority and is illegal. De Waard (1984) and De Roos (2000) also refer to this aspect, though accenting another idea: to them, eigenrechting actually embodies a clash between different normative visions -that of the state and that of a citizen. For De Roos (2000:307), it is ‘the violation of enforceable criminal norms as a consequence of citizen’s own value perceptions, appraisals or interests’.

Setidaknya ada dua hal yang dapat ditarik dari pendapat para ahli hukum di atas, yakni, eigenrechting adalah reaksi atas kejahatan yang dilakukan masyarakat tersebut telah melampaui batasan-batasan hukum yang diperkenankan, dan hal itu adalah perbuatan ilegal, yang kedua, terdapat perbenturan pemahaman, penilaian, atau ketertarikan yang dimiliki suatu negara dengan masyarakat itu sendiri. 

Pada abad ke 21 ini, kita tidak bisa memisahkan antara negara dan masyarakat dalam konteks penegakan hukum. Memang benar bahwa di Indonesia, melalui KUHAP dan peraturan lainnya yang memberikan kewenangan pada suatu lembaga penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Komnas HAM, Penyidik PNS, dapat melakukan suatu kegiatan penangan perkara tindak pidana. Namun, masyarakat juga sudah dituntut untuk membantu penegakan hukum di Indonesia, setidaknya dalam ranah kehidupan rumah tangga, yakni dilaksanakannya “siskamling” pada malam hari. Selain itu dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) pun telah secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib dalam pertahanan dan keamanan negara, selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan bahwa rakyat adalah kekuatan pendukung, sedang TNI dan Kepolisian adalah kekuatan utama. Maka dengan demikian masyarakat Indonesia benar-benar memiliki hak dan kewajiban ikut turut andil dalam kegiatan penegakan hukum (citizen’s role of law enforcement) dalam kondisi-kondisi tertentu.

C. Apakah Main Hakim Sendiri itu Tindak Pidana? 

Untuk dapat dikatakan suatu perbuatan termasuk kedalam suatu tindak pidana, maka perbuatan tersebut harus secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting), sebenarnya bukan merupakan suatu jenis tindak pidana yang diatur secara tegas dalam KUHP atau undang-undang diluar KUHP. Umumnya, akibat dari perbuatan eigenrechting dapat masuk kedalam beberapa jenis tindak pidana, yang berujung pada tindakan kurang menyenangkan, pengancaman, penganiayaan, hingga penculikan yang diatur dalam Buku II tentang Kejahatan di KUHP. Tindakan main hakim sendiri di Indonesia, telah mendapat definisi yang diterima secara umum oleh masyarakat, yakni perbuatan sekelompok orang (biasanya warga) yang kebetulan memergoki terjadinya suatu perbuatan tindak pidana, kemudian warga tersebut bertindak dengan mengejar, menangkap, kemudian menganiayanya, bisa dengan memukul, menendang, menampar, bahkan hingga membunuhnya. 

Kasus yang sempat viral pada bulan Agustus tahun 2017 adalah kasus pencurian amplifier di Kabupaten Bekasi yang berakhir dengan dibakar hidup-hidupnya korban berinisial MA (30), dan juga kasus dua orang remaja berinisial RN (28) dan MA (20) di Kabupaten Tangerang yang beri sanksi sosial yang berlebihan dan tak ber-otak oleh warganya sendiri. Dalam potret tersebut, tampak jelas bahwa itulah yang dinamakan “vandalisme barbarian”. Masyarakat sekarang sangat mudah emosi dalam menghadapi suatu peristiwa yang terjadi di sekitarnya, tanpa memikirkan akibat apa yang akan timbul kemudian. Maka dapat dikatakan sebuah adagium “hantam dulu, urusan belakangan”. Masyarakat yang seharusnya sudah modern dan berakal bermoral, justru kembali ke zaman barbarian, yang seolah-olah tak mengenal bahwa ada aparat penegak hukum yang berwenang memprosesnya. 

Penulis akan gunakan suatu contoh kasus karangan dalam menjelaskan lebih lanjut. Pada 10 November 2020 di kampung Astinapura, pukul 01.30 WIB dini hari, terjadi sebuah perampokan berupa pencurian mobil dan barang berharga berupa emas di suatu rumah. Kebetulan ada beberapa warga yang melihat aksi tersebut, sontak mereka berteriak “maliiiing!” agar membangunkan warga sekitar untuk membantu menangkap kawanan perampok tersebut. Pengejaran tersebut berlangsung cukup dramatis, yang akhirnya kawanan perampok tertangkap tidak jauh dari rumah yang dirampok tersebut. Kemudian warga menyuruh agar kawanan perampok mengakui kesalahannya, dan setelah perampok mengakui kesalahannya, kemudian diserahkan kepada Kepolisian agar diusut lebih lanjut. 
Pertanyaan yang akan penulis ajukan, apakah warga memiliki kewenangan hukum dalam melakukan pengejaran, penangkapan maupun memaksa untuk mengaku, bahwa perampok tersebut melakukan tindak pidana? Apakah kawanan perampok ini sama sekali tidak terlukai, baik secara fisik maupun mental dalam drama pengejaran tersebut, dan apakah kesehatannya sengaja dirusak sebagaimana Pasal 351 ayat (4) KUHP? Dan pertanyaan intinya, apakah warga Astinapura telah melakukan tindakan main hakim sendiri dalam peristiwa ini, atau warga Astinapura sebenarnya telah membantu proses penegakan hukum yang ada? 

Dalam menilai kasus tentang tindakan main hakim sendiri di Indonesia harus dilihat secara satu-persatu, dan tidak bisa digeneralisir, dan kemudian divonis bahwa itu adalah suatu bentuk eigenrechting. Karena kita harus menjabarkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilakukan kepada pelaku kejahatan terkait, apakah itu telah melampaui batasan-batasan hukum yang ada, atau masih dalam koridor yang diperkenankan oleh hukum dan hak asasi manusia (HAM). 

Hemat saya, contoh tersebut di atas bisa menjadi tindakan main hakim sendiri apabila setelah ditangkap oleh warga, kemudian warga memaksa kawanan perampok itu, untuk menanggalkan semua pakaian yang melekat di tubuh mereka, kemudian diarak di kampung tersebut, dan akhirnya mereka dipukuli dan dibakar hidup-hidup. Hal ini dapat dikatakan sebagai tindakan main hakim sendiri dengan dijelaskannya bahwa, sekelompok perampok itu telah ditangkap oleh warga sekitar, dan dengan demikian kondisi perampok tersebut sudah bukan dalam keadaan yang berbahaya, apalagi dalam kondisi melakukan suatu perampokan, namun setelah itu warga Astinapura malah melakukan perbuatan penganiayaan berat. Warga Astinapura sudah membantu proses penegakan hukum (citizen’s role of law enforcement) dengan melakukan pengejaran dan penangkapan saja, hanya sebatas hal ini, langkah selanjutnya adalah menelepon aparat kepolisian untuk memproses sesuai prosedur hukum yang berlaku. 

Dalam usahanya untuk mendapatkan perlindungan hukum, masyarakat dapat melakukan tindakan pencegahan (proactive law enforcement) dan tindakan reaksi atas kejahatan yang terjadi (reactive law enforcement). Dalam tema kali ini, penulis menyoroti reaksi yang dilakukan oleh masyarakat atas kejahatan yang terjadi. Secara prinsipnya hanya aparat penegak hukum saja yang dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan perbuatan yang sensitif terhadap HAM yakni upaya paksa. Upaya paksa yang dapat berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan terhadap seorang tersangka itu pada hakikatnya melanggar hak asasi manusia, terutama sampai penahanan, wajar saja bahwa negara melalui alat-alatnya sajalah yang diberi kewenangan atas hal ini. Namun demikian, karena tuntutan-tuntutan penegakan hukum, masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam upaya penegakan hukum itu, namun dalam batasan-batasan tertentu. Masyarakat dapat melakukan suatu phisycal force yang benar-benar dibutuhkan kepada seorang tersangka yang diduga akan melakukan, sedang melakukan, atau telah melakukan suatu kejahatan dengan tujuan untuk menyerahkan tersangka tersebut ke Kepolisian untuk kemudian dilakukan proses penyidikan. 

Masih terkait dari reaksi atas terjadinya tindak pidana, dalam kondisi tertentu, seseorang yang menjadi korban kejahatan (pemilik rumah warga Astinapura) dapat melakukan suatu pembelaan yang terkait dengan alasan penghapus pidana, setidaknya ada alasan pembenar dilakukannya suatu tindak pidana, yakni berdasarkan pembelaan terpaksa (noodweer), maupun alasan pemaaf yakni pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweerexces). Namun di sini penulis tidak menjelaskan lebih lanjut, karena bukan keahlian penulis.

D. Bagaimana Hukumnya Main Hakim Sendiri Dalam Masyarakat Pluralistik? 

Seperti telah disinggung di awal tulisan ini, bahwa hukum bukanlah suatu sub sistem sosial yang bekerja di ruang hampa, berulangkali ilmu sosiologi hukum menekankan bahwa hukum itu bekerja di dalam suatu masyarakat. Prof. Satjipto mengatakan bahwa tanpa masyarakat, maka tidak ada hukum tetapi tanpa adanya hukum, masyarakat tetap dapat berjalan. Hal ini berarti bahwa untuk memahami hukum dengan baik, kita perlu memahami masyarakatnya terlebih dahulu. Kehidupan manusia tidak diawali dengan membangun suatu kehidupan di bawah sistem hukum yang canggih, melainkan membangun suatu masyarakat atau komunitas terlebih dahulu.

Masyarakat atau komunitas yang dibangun ini, mempunyai dasar yang kuat, yakni terbangunnya kebersamaan dan rasa saling membutuhkan satu sama lain. Maka dapat disimpulkan bahwa kualitas dari masyarakat harus dibangun terlebih dahulu, sebelum kita membicarakan mengenai hukum itu sendiri. Karena hukum itu memiliki basis utamanya ialah masyarakat (manusia), maka dari dalam kehidupan bersama itulah bahan-bahan untuk membangun sistem hukum diambil. 

Di dalam proses penegakan hukum di Indonesia, masalah yang perlu dipertimbangkan adalah struktur masyarakat Indonesia. Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik, yaitu secara horizontal dan secara vertikal. Secara horizontal, ia ditandai dengan kenyataan bahwa adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku-suku, agama, adat dan kedaerahan. Masyarakat kita oleh Furnivall disebut sebagai masyarakat majemuk (plural societies). Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal berupa lapisan atas dan lapisan bawah, agraris dan industri. Oleh karena karakteristik tersebut, maka perkembangan kehidupan masyarakat kita juga tidak bisa serempak.

Di satu sisi sebagian masyarakat kita masih berkutat di bidang agraris, di sisi lain sebagian sudah melangkah ke dunia industri bahkan sebagian lagi sudah berada pada taraf dunia informasi. Fred W. Riggs menyebut masyarakat seperti ini sebagai masyarakat prismatik (prismatic society) . 
Kondisi masyarakat yang plural dan prismatik tersebut harus disikapi dengan arif agar bangsa Indonesia dapat menjadi survival of the fittes di dunia internasional dalam era globalisasi. Dalam kondisi demikian, sistem yang diharapkan mampu mengantisipasi berbagai perubahan sosial adalah sistem hukum. Hukum tampil sebagai kekuatan untuk mengatur (regulative) dan melakukan integrasi(law as an integrative mechanism) sebagimana dikemukakan oleh Harry C. Bredemeier. 

Pluralitas masyarakat Indonesia---sebagai bagian Asia---seharusnya menjadi dasar penegakan hukumnya. Hukum dan masyarakat memiliki keterkaitan yang sangat kuat, bahkan Tamanaha mengatakan bahwa hukum memiliki a peculiar form of social life. Oleh Brian Z. Tamanaha dikatakan bahwa hukum dan masyarakat memiliki bingkai yang disebut The Law-Society Framework yang memiliki karakteristik hubungan tertentu. Hubungan tersebut ditunjukkan dengan dua komponen dasar. Komponen pertama terdiri dari dua tema pokok yaitu ide yang menyatakan bahwa hukum adalah cermin masyarakat dan ide bahwa fungsi hukum adalah untuk mempertahankan social order. Komponen kedua terdiri dari tiga elemen, yaitu: custom/consent; morality/reason; dan positive law. Custom/consent and morality/reason dapat dipahami dalam pemikiran Donald Black sebagai culture. 

Berdasar pendapat Tamanaha morality/reason dapat dipahami dalam pemikiran Donald Black sebagai culture tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ada keterikatan erat antara state (dengan positive law-nya), society (dengan custom/consent-nya) dan natural law (dengan morality/religion-nya). Hal inilah yang ditangkap oleh Werner Menski pada saat meneliti tentang perbandingan hukum antara negara-negara di Asia dan Afrika. Berdasarkan temuannya Menski menyimpulkan bahwa penegakan hukum di Asia dan Afrika sangat berbeda dengan penegakan hukum di Barat, khususnya di Eropa yang merupakan salah satu asal/sumber hukum modern di kedua benua tersebut. Penegakan hukum di Eropa tidak terlalu bergantung dan dipengaruhi oleh unsur-unsur non-hukum seperti moral, ethic dan religion yang tergabung dalam natural law. Bangsa-bangsa di Eropa sangat nyaman dengan state law. Berbeda dengan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang sangat dipengaruhi oleh adat, moral, religion, ethic dalam cara berhukumnya. Hal ini disebabkan pembentukan hukumnya juga berasal dari dua unsur utama yaitu adat dan religion di samping bahan hukum dari Eropa. 

Untuk memahami hukum dan cara berhukum di Asia dan Afrika tidak bisa lagi didekati dengan tiga pendekatan klasik seperti pendekatan filosofis, pendekatan normatif dan pendekatan socio-legal. Menski menawarkan pendekatan keempat yang disebut dengan legal pluralism approach. Pendekatan legal pluralism mengandalkan adanya pertautan antara state (positive law), aspek kemasyarakatan (socio-legal approach) dan natural law (moral/ethic/religion). Cara berhukum yang hanya mengandalkan positive law dengan rule and logic serta rule bound-nya hanya akan bermuara pada kebuntuan dalam pencarian keadilan substantif. 

Seperti yang dikatakan Menski, bahwa berhukum di Asia dan Afrika berbeda dengan berhukum di Eropa. Berhukum di Indonesia sangat dipengaruhi dengan nilai-nilai moral dan kemasyarakatan. Paparan dan pemateri sebelumnya telah menjelaskan mengenai state positivism dalam KUHP dan aturan terkait yang lain yang berkaitan dengan eigenrechting, maka langkah berikutnya, kita memperhatikan tentang Natural Law dan Socio-Legal Approach¬¬-nya. Kedua aspek ini akan dibahas secara bersamaan karena saling berkaitan satu sama lain.

Ketika kita berbicara mengenai tindakan main hakim sendiri (eigenrechting), maka yang terbayang di alam imajinasi kita adalah seseorang atau sekelompok orang yang “menghakimi” orang lain tanpa memperhatikan due process of law. Kata kuncinya adalah due process of law. Penghormatan terhadap due process of law harus dilakukan oleh setiap manusia ketika menghadapi permasalahan hukum yang ada di lingkungan sekitar, inilah suatu bentuk pemenuhan dan pemerhatian terhadap aspek moral/ethic/religion dalam lingkup Natural Law yang harus dilakukan setiap lapisan masyarakat. 

Masyarakat Indonesia seharusnya mengerti dan memahami, bahwa terdapat suatu mekanisme hukum yang harus ditempuh ketika berhadapan dengan suatu tindak pidana, dan bila diperlukan melakukan suatu tindakan ketika menghadapi suatu kejahatan, maka hanya tindakan yang benar-benar dibutuhkan saja. Misalnya apabila hak kita merasa terganggu oleh perilaku orang lain, maka sebaiknya kita serahkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib, yakni kepolisian untuk mengusut peristiwa hukum tersebut. Apalagi sekarang akses untuk mengetahui apa yang harus dilakukan ketika berhadapan dengan suatu permasalahan hukum sangat mudah, hanya dengan jari-jemari dan perangkat yang terkoneksi internet. Namun perlu diingat, bahwa hanya persoalan hukum berupa kejahatan tertentu saja yang perlu disampaikan ke Kepolisian, karena hukum pidana adalah ultimum remedium. Serta bila dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat, maka akan lebih memenuhi rasa moral dan etika, ketimbang saling lapor satu sama lain yang bertujuan untuk menjatuhkan orang tersebut.

E. Bagaimana Peran Yang Diharapkan dari Masyarakat dan Pemerintah? 

Masyarakat Indonesia masa kini memang sedang dalam proses belajar, belajar memahami hukum yang berlaku. Hal ini sebenarnya adalah suatu keanehan, mengingat bahwa hukum itu diambil dari perilaku dan pemikiran masyarakat itu sendiri, dan seharusnya masyarakat tahu apa itu dan bagaimana berperilaku sesuai koridor hukum yang ada. Terlepas dari itu, hukum sekarang berubah dari substansi keadilan dan hidup berkeadilan menjadi teks, skema, kebahasaan, sehingga kita berhadapan dengan substansi pengganti, bukan lagi substansi keadilan yang asli. Kita dipaksa untuk berhukum dengan menggunakan akal sehat, pemahaman sebuah teks hukum yang ada, dan pemaknaan-pemaknaan suatu hal. 

Menurut Fritjof Capra, sekarang ini kita hidup dalam suatu masa turning point. Ketidakmampuan kita untuk kembali melihat kehidupan manusia dengan pandangan yang utuh, menurut Capra, menyebabkan terjadi krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral dan spiritual manusia. Orang tidak bisa lagi memusatkan perhatian pada satu objek yang dipisahkan dari lingkungannya, melainkan membiarkan objek tersebut bersatu dengan lingkungannya.

Masyarakat tidak bisa memisahkan antara akumulasi kekesalan yang terjadi sebelumnya dengan peristiwa hukum yang ada di depan matanya. Akumulasi kekesalan masyarakat ini timbul karena ketidakharmonisan penegakan hukum, korupsi yang merajalela, bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa, ada beberapa oknum yang memanfaatkan proses rekrutmen lembaga negara untuk menjadi penegak hukum dengan meminta sejumlah imbalan. Kekesalan-kekesalan inilah yang membawa masyarakat tidak lagi mempercayai due process of law yang telah diatur itu sendiri. Dalam harian Kompas 27 November 2017 lalu, Guru Besar Psikologi Politik, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, dan Peneliti Pusat Kesehatan Mental Masyarakat, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Rahmat Hidayat, juga menyampaikan hal demikian, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pranata hukum serta inkonsistensi dari aparat penegak hukum yang menjadi trigger dalam peristiwa belakangan ini. 

Dengan mengetahui bahwa masyarakat mempunyai peran dalam penegakan hukum Indonesia, seharusnya kita harus melihat bahwa ini merupakan suatu hal yang harus diarahkan dengan baik. Maka setidaknya terdapat dua saran agar kekuatan masyarakat ini tidak menjadi hal yang berlawanan dengan hukum berupa eigenrechting. 

Pertama, harus segera diperbaikinya criminal justice system kita, yang bisa dimulai dengan memperbaiki peraturan perundang-undangan yang ada. KUHP dan KUHAP secepatnya harus diperbaiki secara saksama, dan secara holistik dengan melihat bagaimana budaya masyarakat dan perkembangan ilmu hukum sekarang ini. Memang ini bukan saran yang bisa dilakukan dengan cepat, karena semua akan bergantung kepada “yang terhormat” di Senayan sana sebagai law makers di Indonesia. Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan tersebut sudah sedemikian mendesak. Peraturan perundang-undangan over rule dan banyaknya tumpang tindih kewenangan suatu lembaga yang diberikan, membuat criminal justice system di Indonesia menjadi tidak jelas. Diharapkan, dengan diperbaharuinya KUHP dan KUHAP dalam waktu 5-10 tahun ini, mampu menyempurnakan law enforcementdi Indonesia. 

Kedua, yang bisa dilakukan sedini mungkin adalah memperbaiki dan mendukung perubahan yang sedang dilakukan aparat penegak hukum di Indonesia terutama Kepolisian RI sebagai lembaga pertama dalam penanganan tindak pidana. Apa yang telah diinisiasikan oleh seorang Kapolri, Jenderal Polisi Tito Karnavian dengan Program Promoter (Profesional, Modern dan Terpercaya) yang memiliki 11 Program Prioritas dalam mencapai visi tersebut, sangatlah baik dan perlu didukung bersama. Program yang paling berat adalah program “Terpercaya”. Karena hal ini merupakan akumulasi dari keprofesionalitasan Polri dalam melaksanakan tugas hukumnya. Untuk membangun suatu kepercayaan kepada masyarakat butuh beberapa hal, yakni tekun, idealitas, dan independensi. Idealitas dan independensi merupakan dua prinsip pokok yang harus dimiliki setiap aparat penegak hukum, karena ini yang bisa mengendalikan mereka dari godaan-godaan yang buruk. Godaan untuk mempermainkan perkara, pencapaian suatu target kerja untuk keperluan kenaikan pangkat dengan cara yang salah, hingga keberpihakan kepada suatu golongan, pada akhirnya hanya menjadikan visi Terpercaya itu sebagai suatu hal yang utopis saja.

F. Penutup 

Tindakan main hakim sendiri sangat berpotensi dilakukan baik pada masyarakat sederhana maupun masyarakat yang telah modern. Tindakan ini dilakukan lebih didominasi adanya RASA tidak terpenuhi atau lambat terpenuhi atas tuntutan dan kebutuhan pencari keadilan. Ketika akses untuk mendapatkan keadilan (access to justice) menemui kebuntuan sehingga memunculkan rasa ketidakpuasan, maka di situlah akan subur bibit dilakukannya tindakan main hakim sendiri. 

Ada sedikitnya dua hal yang bisa dilakukan peran masyarakat yang potensial dalam berpartisipasi dalam penegakan hukum, yakni: 

Pertama, harus segera diperbaikinya criminal justice system kita, yang bisa dimulai dengan memperbaiki peraturan perundang-undangan yang ada. KUHP dan KUHAP secepatnya harus diperbaiki secara saksama, dan secara holistik dengan melihat bagaimana budaya masyarakat dan perkembangan ilmu hukum sekarang ini. 

Kedua, yang bisa dilakukan sedini mungkin adalah memperbaiki dan mendukung perubahan yang sedang dilakukan aparat penegak hukum di Indonesia terutama Kepolisian RI sebagai lembaga pertama dalam penanganan tindak pidana. 


Oleh Prof Suteki
#liveOppressedOrRiseUpagainst
#LamRad

Posting Komentar

0 Komentar