RUU HIP: Benarkah Menjadikan Pancasila RIP dan Mengeksiskan Kembali Ideologi Sosialisme Komunis?

Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum


“Secara kasat mata, dapat kita simak bahwa RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) tidak menjadikan Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 dalam konsideran. Pun Pancasila diperas jadi Trisila, bahkan Ekasila. Secara hakikat, ini akan mengantar pada lonceng kematian ideologi Pancasila. Juga adanya kekhawatiran kalangan yang menduga bahwa anggota DPR hendak menghidupkan kembali komunisme di NKRI."
 
Demikian salah satu kesimpulan yang disampaikan oleh Prof. Suteki selaku narasumber utama dalam kuliah umum online bertajuk “RUU HIP Menjadikan RIP (Rest In Peace/kematian)?” 

Agenda ini digelar oleh Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo pada Senin (1/6) melalui aplikasi Zoom. Kuliah diikuti oleh seratus peserta, baik dari kalangan civitas akademika Uniol maupun masyarakat umum.

Menurut Ibu Syam Purwaningsih (sekretaris Uniol), tema ini dipilih untuk menyikapi RUU HIP yang baru saja inisiasinya disahkan  oleh DPR. Dimana beberapa kalangan masyarakat memberikan kritisi, juga ajakan untuk mewaspadai kembalinya paham komunisme tersebab tidak dimasukkannya TAP MPRS No.XXV/MPRS/1966 dalam konsideran RUU HIP. 

Prof. Suteki sebagai pakar filsafat Pancasila, hukum dan masyarakat, di awal pemaparan mempertanyakan “jenis kelamin” RUU HIP. Apakah ini benar haluan atau sekadar halusinasi yang ditebarkan untuk bernostalgia terhadap upaya kembalinya pemaknaan usang terhadap kedudukan Pancasila. 
Beliau memandang, justru keberadaan RUU HIP ini hendak mendistorsi empat kedudukan pokok Pancasila menjadi satu kedudukan saja yakni sebagai ideologi. Dimana hal ini akan berakibat fatal terhadap bahasan yang tidak menyeluruh terhadap Pancasila bagi bidang kehidupan manusia Indonesia. 

Terhadap RUU HIP ini, Prof. Suteki menyampaikan beberapa kritik yang menurut beliau penting disampaikan agar rakyat Indonesia memahami beberapa kontroversi yang ada sehingga mampu bersikap terhadap RUU “halu” ini. 

Salah satu kritisi beliau adalah pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pokok-pokok pikiran HIP memiliki prinsip dasar: ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi dan keadilan sosial. Menurut Prof. Suteki, pokok pikiran HIP ini mendistorsi sila-sila Pancasila karena hanya menyebutkan kata dasarnya. Seharusnya prinsip dasar HIP tetap sila-sila Pancasila yang utuh. 
“Jadi harus Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengapa? Karena ada konsep lain ketuhanan, yakni ketuhanan yang berkebudayaan seperti konsep Ir. Soekarno. Juga harus Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Karena ada kemanusiaan ala komunisme (memasung HAM) dan liberalisme (pengutamaan HAM). Jika sila itu diperas, maka akan dapat dimaknai secara berbeda,” jelas Prof. Suteki. 

Selain itu, beliau juga menyoroti pasal 6 ayat 1 yang menyebutkan bahwa sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial. Berkaitan dengan pasal ini, Prof. Suteki mengingatkan bahwa Indonesia adalah negera yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29 Ayat 1 UUD NRI 1945). 

Artinya, sendi pokok negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula sendi pokok Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan Keadilan Sosial. Dengan demikian, nilai Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi esensi, sendi pokok dan ruh dari keempat sila lainnya. 

“Menjadikan keadilan sosial sebagai sendi pokok Pancasila dapat menyeret kita ke arah keadilan sosial ala komunis (ateis) dan kapitalis (sekular). Apakah kita mau mengarahkan kehidupan kita pada konsep keadilan sosial kedua ideologi tersebut?” tegas beliau.
Poin penting lainnya yang beliau kritisi adalah pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 RUU HIP. Ayat 2 menyebutkan bahwa ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Adapun ayat 3 menyebutkan, Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat 2 terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong. 

Dari pasal di atas, Prof. Suteki justru mempertanyakan katanya Pancasila sudah final, tetapi mengapa masih ditafsirkan bahkan sengaja mau diperas-peras hingga menjadi ekasila, gotong royong.

"Gotong royong macam apa? Ala komunis, ala liberalis, ala Pancasila yang seperti apa? Yang mendekati komunis atau sekuler? Atau akan dihidupkan kembali Pancasila dengan aroma NASAKOM (Nasionalisme Agama dan Komunisme)?” tanya beliau. 
Di akhir pemaparan, Prof. Suteki menyampaikan bahwa RUU HIP tidak layak ditetapkan sebagai UU dan lebih tepat sebagai Ketetapan MPR. Apalagi RUU HIP ini juga kesulitan untuk menentukan rumusan-rumusan delik berupa larangan yang diikuti dengan pemberian sanksi pidana. Sehingga setelah menjadi UU, HIP ini mandul karena tidak memiliki daya paksa keberlakuannya dan menjadi macan kertas saja.

Setelah sesi pemaparan selesai, kuliah umum berlanjut dengan diskusi dan tanya jawab. Pertanyaan yang diajukan peserta seputar ideologi, penerapan Pancasila dalam kehidupan bernegara saat ini, dst. (ps/uniol)

Reporter: Puspita Satyawati
#ReportaseKuliahUmumOnlineUniol

Posting Komentar

0 Komentar