Di antara tantangan terbesar pada zaman ini adalah apa yang digambarkan Syaikh Abdullah Ba Alwi al-Hadhrami (w. 1272 H) dalam Sullam at-Tawfîq. Ia menyoal orang-orang yang menggampangkan diri mengucapkan kalimat yang disadari atau tidak bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam, benar-benar sesat-menyesatkan hingga idiom lisan tak bertulang menjadi tantangan yang wajib diwaspadai.
Di antara buktinya, beragam fenomena menyesatkan dan menyesakkan dada yang kembali pada hal-hal kentara: (1) Monsterisasi (stigmatisasi negatif) dan desakralisasi ajaran Islam, semisal Khilafah dan kelompok dakwahnya; (2) Liberalisasi keyakinan dan pemahaman (kasus salam lintas agama); (3) Kriminalisasi da’i yang kritis; (4) Justifikasi atas penistaan terhadap simbol-simbol Islam (kasus penistaan masjid, bendera tauhid) hingga penistaan terhadap Rasulullah saw. Itu semua berbahaya dan wajib ditolak. Allah SWT memperingatkan:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشۡتَرِي لَهۡوَ ٱلۡحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيۡرِ عِلۡمٖ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٞ مُّهِينٞ ٦
Di antara manusia (ada) orang yang menggunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan (QS Luqman [31]: 6).
Frasa lahw al-hadîts mencakup perkara-perkara kebatilan yang terucap (bahkan tersurat atau tersirat), untuk menyimpangkan manusia dari jalan Allah (Islam). Al-Hafizh Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H) dalam Jâmi’ al-Bayân (XX/130) menuturkan bahwa frasa (lahw al-hadîts) mencakup segala hal berupa ucapan yang menyimpangkan (manusia) dari jalan Allah, hal-hal yang Allah dan Rasul-Nya larang untuk didengarkan. Ini karena Allah SWT mengungkapkan keumuman dalam firman-Nya: (lahw al-hadîts), dan Dia tidak mengkhususkannya. Oleh karena itu, ia tetap dalam keumumannya. Perbuatan ini, jika tak ditobati, kelak disesali tatkala mendapati apa yang Allah janjikan dan peringatkan:
مَن يَعۡمَلۡ سُوٓءٗا يُجۡزَ بِهِۦ وَلَا يَجِدۡ لَهُۥ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلِيّٗا وَلَا نَصِيرٗا
Siapa saja yang mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi balasan akibat kejahatannya itu. Dia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong bagi diri selain dari Allah (QS an-Nisa’ [4]: 123).
Sepak-terjang oknum yang memanipulasi dan memutarbalikkan fakta Khilafah dengan stigma “ajaran berbahaya”, misalnya, padahal Ijmak Sahabat menegaskan kefardhuannya dalam Islam, diikuti kesepakatan para ulama—pada saat yang sama menghargamatikan konsepsi-konsepsi yang bertentangan dengan Islam, dipoles dengan retorika “solusi bagi kehidupan manusia”—jelas termasuk penyesatan. Ini sejalan dengan klaim kaum munafik di masa Rasulullah saw.:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ قَالُوٓاْ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ ١١ أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلۡمُفۡسِدُونَ وَلَٰكِن لَّا يَشۡعُرُونَ ١٢
Jika dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,” mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS al-Baqarah [2]: 11-12).
Mereka mengaku melakukan perbaikan, kenyataannya justru kerusakan demi kerusakan. Rusaknya kehidupan tatkala dijauhkan dari syariah Allah dan Rasul-Nya, mengabaikan syariah Islam (QS Thaha [20]: 124, QS ar-Rum [30]: 41), lisân al-hâl afshah min lisân al-maqâl. Potensi bahaya di balik retorika mereka pun diisyaratkan oleh Rasulullah saw. yang bersabda:
إنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيْمِ اللِّسَانِ
Sesungguhnya yang paling dikhawatirkan dari perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah setiap orang munafik yang pandai bersilat lidah (HR Ahmad dan al-Bazzar).
Hadis yang diawali huruf inna (tawkîd) ini, menegaskan khabar adanya hal yang mengancam umat ini, hingga termasuk hal yang paling dikhawatirkan Nabi Muhammad saw. Ini menunjukkan besarnya potensi bahaya di dalamnya hingga diungkapkan dalam bentuk tafdhîl (superlatif): akhwaf (yang paling dikhawatirkan).
Persoalannya semakin berat tatkala penyesatan tersebut dipoles dalam wujud rupa yang baik, sehingga menjadi tipudaya. Itu semua, bagian dari visi misi Iblis, didukung bala tentaranya, setan golongan jin dan manusia, yang berjanji menghiasi keburukan dengan wajah kebaikan dan menyesatkan manusia dari jalan kebenaran:
قَالَ رَبِّ بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَأُغۡوِيَنَّهُمۡ أَجۡمَعِينَ ٣٩
Iblis berkata, “Tuhanku, sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan buruk) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS al-Hijr [15]: 39).
Kaum imperialis dan pengekornya secara ideologis dan politis berupaya menghancurkan Islam, memporakporandakan barisan kaum Muslim, mengadu-domba mereka. Kaum Muslim yang cinta Allah dan Rasul-Nya tak boleh diam. Mereka wajib bicara, Al-Hafizh Abdurrahman al-Awza’i (w. 157 H) mengingatkan:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ إِلَّا وَهُوَ قَائِمٌ عَلَى ثَغْرَةٍ مِنْ ثُغَرِ الْإِسْلَامِ، فَمَنِ اسْتَطَاعُ أَلَّا يُؤْتَى الْإِسْلَامُ مِنْ ثَغْرَتِهِ فَلْيَفْعَلْ
Tidaklah setiap Muslim itu, kecuali ia harus berdiri di depan celah dari celah-celah pertahanan Islam. Siapa saja yang mampu agar Islam tidak (dihancurkan) datang dari celah di depannya, maka lakukanlah!
Penyesatan mereka wajib dihadapi dengan lisan mulia yang digambarkan Allah SWT:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوۡلٗا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ٣٣
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS Fushshilat [41]: 33).
Kalimat ahsan merupakan pengutamaan (tafdhîl). Ahsanu qawl[an] menunjukkan predikat dari Allah SWT atas keutamaan lisan dakwah. Dalam ayat ini kalimat ahsanu qaul[an] diawali dengan kalimat tanya, namun maksudnya penafian (istifhâm nafy). Dengan demikian bisa disimpulkan: tidak ada perkataan lisan yang lebih baik daripada perkataan orang yang berdakwah. Lisan ini pun termasuk lisan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, dalam firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدٗا ٧٠
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (QS al-Ahzab [33]: 70).
Frasa qawl[an] (perkataan) diungkapkan dalam bentuk nakirah (umum) diikuti dengan sifat sadîd[an]. Ini menunjukkan keluasan cakupannya, namun dibatasi oleh tuntutan: sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Salah satu ucapan baik, bahkan terbaik adalah dakwah, menyeru manusia kepada Allah. Durrah binti Abi Lahab berkata: Seseorang berdiri ketika Rasulullah Saw di atas mimbar, lalu bertanya, “Siapakah sebaik-baiknya manusia?” Beliau menjawab:
خَيْرُ النَّاسِ أَقْرَؤُهُمْ وَأَتْقَاهُمْ وَآمَرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَأَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأَوْصَلُهُمْ لِلرَّحِمِ
Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling taat, yang paling bertakwa di antara mereka, yang paling banyak melakukan amar makruf nahi mungkar serta yang paling sering bersilaturahmi (HR Ahmad dan ath-Thabrani).
Islam wajib dibela. Umat wajib dijaga dari beragam lisan yang tercela, sesat-menyesatkan. Tak boleh ada yang menghentikan amal mulia ini kecuali kematian yang mulia dan dimuliakan Allah dan Rasul-Nya:
سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ
Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zalim lalu memerintah dia (kebaikan) dan mencegah dia (dari keburukan), kemudian penguasa zalim itu membunuh dirinya (HR Al-Hakim dan ath-Thabarani). WalLâhu a’lam. []
Oleh Ustadz Irfan Abu Naveed
0 Komentar