Salah satu pakaian adat di Indonesia yang sesuai dengan hukum Islam adalah pakaian adat Suku Bima dan Donggo di Nusa Tenggara Barat. Dikatakan sesuai lantaran menutup aurat perempuan secara sempurna dan tidak menonjolkan lekuk tubuh. Pakaian yang mirip dengan mukena tersebut bernama rimpu, dikenakan oleh masyarakat Bima dan Dompu ketika mereka keluar rumah.
Rimpu menggunakan sarung khas Bima yang terdiri dari dua lembar sarung. Kedua sarung tersebut untuk bagian bawah dan bagian atas.
Sarung yang dipakai ini dalam kalangan masyarakat Bima dikenal sebagai tembe nggoli (sarung songket) terbuat dari kafa mpida (benang kapas) yang dipintal sendiri melalui tenunan khas Bima yang dikenal dengan muna.
Bila mukena umumnya berwarna putih polos tanpa motif, sedangkan rimpu memiliki beragam motif warna-warni nan cerah. Motif-motif tersebut meliputi nggusu waru (bunga bersudut delapan), weri (bersudut empat mirip kue wajik), wunta cengke (bunga cengkeh), kakando (rebung), bunga satako (setangkai), sarung nggoli (yang bahan bakunya memakai benang rayon).
Taat Syariat Jadi Adat
Adat mengenakan rimpu berawal dari ketaatan kepada syariat Islam yakni kewajiban menutup aurat perempuan yang sudah baligh, secara sempurna tanpa menonjolkan lekuk tubuh.
Ketaatan terhadap perintah Allah SWT terjadi lantaran adanya dakwah Islam.
Sebelum Islam datang, Bima merupakan kerajaan yang dipengaruhi Hindu-Budha dan penduduknya mempercayai arwah-arwah leluhur mereka sebagai penjaga kehidupan. Ajaran Islam mulai masuk Pulau Sumbawa (ibu kota Kerajaan Bima) sejak abad ke-16 mengajarkan tauhid dan juga ketaatan terhadap perintah dan larangan Allah SWT termasuk berbusana.
Dakwah secara sistematis dan intensif dilakukan secara bergelombang. Gelombang pertama sekitar tahun 1540-1550 oleh para mubalig dan pedagang dari Kesultanan Demak (Jawa), meski banyak yang bersyahadat namun dakwah belum tembus ke pusat kekuasaan.
Penting diketahui, Kesultanan Demak berdiri pada 1479 ditandai dengan dikukuhkannya Raden Patah, Sultan Demak pertama, sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan Kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa oleh Sultan Muhammad Al Fatih (1451-1481).
Gelombang kedua dilakukan oleh para da’i dari Kesultanan Gowa (Sulawesi) pada awal abad ke-17. Menurut Bo (catatan kuno Istana Bima/Mbojo), pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640, Sangaji (raja) XXVII Bima La Kai Ta Ma Bata Wadu memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Kahir.
Ia menikah dengan adik istri Sultan Gowa Alauddin yang bernama Daeng Sikontu, puteri Karaeng Kassuarang. Kemudian Sangaji Bima XXVII tersebut digelari dengan “Sultan” yaitu Sultan Mbojo I. Saat itu pula berakhirlah Kerajaan Bima yang bercorak Hindu-Budha menjadi Kesultanan Mbojo yang menerapkan syariat Islam.
Bima menjelma menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah timur Nusantara. Para ulama yang berdakwah sebagian diangkat menjadi penasihat Sultan dan berperan besar dalam menentukan kebijakan Kesultanan. Banyak ulama termasyur yang datang ke Mbojo ini, di antaranya Syekh Umar al-Bantani dari Banten, Datuk Di Bandang dari Minangkabau, Datuk Di Tiro dari Aceh, Kadi Jalaluddin serta Syekh Umar Bamahsun dari Arab.
Memang dakwah disambut baik oleh mayoritas masyarakat, namun ada sebagian kecil tetap mempertahankan kepercayaan nenek moyangnya. Mereka ini lebih memilih pindah ke pegunungan (donggo) dan turun temurun di sana sehingga kelak dikenal dengan sebutan Suku Donggo.
Menurut sejarawan M Hilir Ismail, Sultan Mbojo III Nuruddin (1682-1687) mewajibkan semua wanita yang sudah akil baliqh memakai rimpu apabila hendak ke luar rumah atau pun bertemu dengan lelaki yang bukan mahramnya. Bila masih gadis, seluruh tubuhnya ditutupi rimpu kecuali kedua matanya (rimpu cili). Sedangkan yang sudah menikah wajahnya diperlihatkan (rimpu colo).
Keterangan Ismail diperkuat lagi oleh Nur Farhaty Ghani, dari Forum Perempuan (ForPuan) Bima. Menurutnya, rimpu merupakan bagian dari identitas wanita Bima pada masa Kesultanan Islam. “Zaman dulu, wanita Bima dengan bangga memakai rimpu untuk menunjukkan ke khalayak bahwa mereka sudah bisa menenun dan kain yang mereka gunakan adalah hasil karya sendiri,” paparnya.
Kini Langka
Kesultanan Mbojo kerap kali terlibat perang membantu Kesultanan Demak Kesultanan Gowa bahkan Kesultanan Banten untuk melawan penjajahan Kerajaan Protestan Belanda. Kekalahan dan kemenangan silih berganti hingga puncaknya di masa Sultan Bima XIII Ibrahim (1881-1915), Bima mendapatkan kekalahan telak.
Sehingga sejak 1905, melalui Kontrak Panjang (Langge Kontrak) segala urusan langsung dipegang oleh Pemerintah Hindia Belanda di Negeri Belanda. Secara de facto, Sultan sudah tidak berkuasa lagi, walhasil Kesultanan Bima benar-benar tinggal simbol.
Meski secara formal hukum Islam sudah tidak tegak lagi, tetapi kaum Muslimin secara budaya tetap berupaya mempertahankan keislamannya termasuk dalam berpakaian Muslimah tersebut melawan sekularisasi yang dilancarkan penjajah Belanda secara massif.
Begitu Belanda hengkang, Mbojo masuk ke pangkuan Republik Indonesia. Alih-alih syariat Islam ditegakkan kembali, pemerintahan yang baru yang dijabat oleh warga pribumi sendiri ini malah melanggengkan sekularisasi yang sudah dirintis Belanda. Kesultaan Mbojo dihapus pemerintah Republik Indonesia pada 2001, seiring dengan wafatnya Sultan Mbojo XV Sultan Abdul Kahir II (1951-2001).
Sehingga yang dulu semua Muslimah Bima dengan bangga menggunakan rimpu, perlahan tapi pasti mulai ditinggalkan.
“Jika ingin melihat wanita Bima menggunakan rimpu untuk pakaian kesehariannya maka Anda harus rela bersusah payah ke dusun-dusun yang ada di pedalaman melintasi perbukitan yang cukup jauh dari Kota Bima. Salah satunya adalah Dusun Salere Mbawa. Dusun ini terletak di Kecamatan Donggo. Donggo sendiri bermakna pegunungan, sehingga masyarakat yang tinggal di wilayah juga dikenal sebagai Suku Donggo atau suku pegunungan,” ujar Suryana, tim survei Badan Wakaf Al-Qur’an (BWA) kepada Media Umat.
Menariknya, Suku Donggo dulunya merupakan orang-orang yang enggan menerima dakwah Islam seperti yang telah disinggung di atas. “Namun berkat kegigihan para mubaligh akhirnya, 99 persen Suku Donggo menerima dakwah Islam. Kurang dari satu persen warga setempat lebih memilih Katolik. Pemeluk Katolik kebanyakan tinggal di Dusun Ncuhi, lokasinya sangat dekat dengan Dusun Mbawa,” pungkas Suryana.[]
Oleh: Joko Prasetyo- dari berbagai sumber
Dimuat pada rubrik KISAH Tabloid Media Umat edisi 216 | Akhir Maret 2018
____
Keterangan foto:
Rimpu pakaian adat Bima/Mbojo. Bila masih gadis, seluruh tubuhnya ditutupi rimpu kecuali kedua matanya (rimpu cili). Sedangkan yang sudah menikah wajahnya diperlihatkan (rimpu colo).
Sumber foto:
____
KOREKSI dari Faisal Mawaa Taho :
Baik, krn sudah diminta. Berikut sy beri sedikit masukan dan info pembanding utk perbaikan.
1.Tertulis di artikel: "Salah satu pakaian adat di Indonesia yang sesuai dengan hukum Islam adalah pakaian adat Suku Bima dan Donggo di Nusa Tenggara Barat."
Koreksi:
***Rimpu adalah Pakaian adat Suku Mbojo-Dompu yg mendiami Kota Madya Bima, Kabupaten Bima, dan Kabupaten Dompu. Suku ini meliputi sub suku: Suku Mbojo (Bima), Suku Dompu, Suku Donggo, Suku Kore. tiga suku ada di Bima. Sedangkan suku Dompu hanya ada di Dompu. Perkiraan sy, 80% Warga Dompu saat ini adlh imigran dari Bima. Menurut data sejarah mereka mulai menetap di Dompu sejak thn 1934. Tahun itu adalah tahun dihapusnya Kesultanan Dompu olh Belanda, lalu wilayah Kesultanan Dompu dianeksasi oleh Kesultanan Bima. Baru thn 1947, Kesultanan Dompu 'merdeka' dari Bima.
***Memang awalnya RIMPU adalah budaya Suku Bima, namun sekarang juga telah diadopsi oleh orang Kore, Donggo, dan Dompu akibat penguasaan Bima atas Dompu, Kore dan Donggo serta akibat migrasi besar besaran orang Bima ke wilayah kekuasaan Kesultanan Dompu di masa lalu.
2.Tertulis: "Kesultanan Mbojo kerap kali terlibat perang membantu Kesultanan Demak Kesultanan Gowa bahkan Kesultanan Banten untuk melawan penjajahan Kerajaan Protestan Belanda."
Koreksi: Term Kesultanan Mbojo tidak lazim dipakai dlm dunia tulis menulis. Apalagi tulisan orang luar Bima/Dompu. Justru yg lazim adalah penggunaan nama Kesultanan BIMA.
***Perlu diketahui bhw nama MBOJO hanya digunakan secara interen oleh orang BIMA dan DOMPU. Orang Bima menyebut daerah mereka sebagai Tanah Mbojo dan mereka adalah Dou Mbojo (orang Mbojo). Begitu jg orang Dompu menyebut saudara mereka orang Bima sebagai DOU MBOJO.
Namun ketika orang Bima/Dompu berbicara dgn orang luar Bima/Dompu, misalnya bicara dgn orang Sumbawa yg beda bahasa, maka mereka menyebut Bima dengan Bima bukan Mbojo.
***Masih ada kontroversi mengenai istilah MBOJO. Orang Bima berpendapat DOMPU termasuk ke dlm MBOJO krn adanya kesamaan bahasa dan budaya. Menurut orang BIMA, Wilayah Dompu adlh termasuk Tanah Mbojo dan Orang Dompu adalah termasuk DOU MBOJO. Sedangkan orang asli suku DOMPU menolak utk digabungkan dgn MBOJO, baik secara suku maupun kewilayahan. Menurut Dou Dompu ini, Dompu secara historis, politis, dan sosiologis jauh lebih tua dari Mbojo apalagi Bima. (Catatan: Menurut peneliti barat bernama Rouffaer, Dompu lebih tua. Dompu kemudian dipecah olh Majapahit menjadi Dompu dan Bima. Pendapat ini didukung olh sejarawan UI Prof Agus. Majapahit lah yg memperkenalkan nama Bima.)
3.TERTULIS: Kesultanan Mbojo kerap kali terlibat perang membantu Kesultanan Demak Kesultanan Gowa bahkan Kesultanan Banten untuk melawan penjajahan Kerajaan Protestan Belanda. Kekalahan dan kemenangan silih berganti hingga puncaknya di masa Sultan Bima XIII Ibrahim (1881-1915), Bima mendapatkan kekalahan telak.
Koreksi: Koreksi thdp penggunaan istilah Kesultanan Mbojo. Sama dgn di atas.
4.TERTULIS: Begitu Belanda hengkang, Mbojo masuk ke pangkuan Republik Indonesia. Alih-alih syariat Islam ditegakkan kembali, pemerintahan yang baru yang dijabat oleh warga pribumi sendiri ini malah melanggengkan sekularisasi yang sudah dirintis Belanda. Kesultaan Mbojo dihapus pemerintah Republik Indonesia pada 2001, seiring dengan wafatnya Sultan Mbojo XV Sultan Abdul Kahir II (1951-2001).
KOREKSI:
***Pertama, kesultanan Bima berakhir tahun 1951 seiring wafatnya SULTAN SALAHUDDIN (Sultan ke14), lalu terbentuk Daerah Swapraja dengan Bupati pertama yakni putera Mahkota Kesultanan Bima. BUKAN BERAKHIR THN 2001.
***Kedua, Abdul Kahir II dinobatkan sbg putera Mahkota thn 1950, ketika5 ayahnya sudah tua dan sakit sakitan. Namun beliau TIDAK PERNAH SEKALIPUN DINOBATKAN MENJADI SULTAN SEMASA HIDUPNYA. Beliau diangkat menjadi sultan setelah wafat, yakni 60 thn setelah berakhirnya Kesultanan Bima, SEKEDAR UTK MENGHORMATI JASA2 BELIAU DAN MENGHORMATI KERAJAAN BIMA.
***Pribumi asli Bima, yakni Abdul Kahir II, hanya menjabat sampai thn 1967. Karena setelah itu ORDE BARU berkuasa dan para bupati adalah para Letnan TNI dari Suku Jawa hingga tahun 1979. Setelah munculnya Golkar, baru putera asli diizinkan berkuasa.
Demikian Ustadz Joko Prasetyo
0 Komentar