Foto: suaramasjid. Com
Tidak ke Banjarmasin rasanya bila tidak sekalian berwisata religi ke Masjid Sabilul Muhtadin. Karena selain pemandangannya yang indah, masjid ini pun bernilai sejarah.
Masjid yang terletak di tengah-tengah Kota Banjarmasin dibangun di atas lahan tanah yang luasnya 100.000 M2.
Bangunan masjid terbagi atas bangunan utama dan menara. Bangunan utama luasnya 5250 M2, yaitu ruang tempat ibadah 3250 M2, ruang bagian dalam yang sebagian berlantai dua, luasnya 2000 M2. Menara mesjid terdiri atas 1 menara-besar yang tingginya 45 M, dan 4 menara kecil, yang tingginya masing-masing 21 M.
Pada bagian atas bangunan utama terdapat kubah besar dengan garis tengah 38 M, terbuat dari bahan aluminium sheet Kalcolour berwarna emas yang ditopang oleh susunan kerangka baja. Dan kubah menara-kecil garis-tengahnya 5 dan 6 M.
Masjid mulai dibangun 10 November 1974 hingga selesai pada Oktober 1979. Karena keindahanannya, walhasil masjid yang dibangun di bekas Benteng Tatas semasa penjajahan Belanda tersebut sejak 1981 pun menjadi land mark Kota Banjarmasin.
Sabilul Muhtadin
Lantas mengapa nama masjidnya Sabilul Muhtadin? Nama Sabilul Muhtadin diambil dari kitab yang fenomenal ketika Banjarmasin menjadi Ibu Kota Kesultanan Banjar. Kitab Sabilul Muhtadin lengkapnya bernama Sabîlul-Muhtadîn fît-Tafaqquh bi Amrid-Dîn (Jalan Para Pencari Petunjuk dalam Mempelajari Perkara Agama) karangan Syekh Muhammad Arsyad ibn ‘Abdullâh al-Banjarî al-Jâwî (1710-1812 M). Ulama besar yang berkontribusi banyak dalam penyebaran dan perkembangan dakwah. Jasanya tidak saja dirasakan oleh rakyat Kalimantan Selatan, melainkan juga Nusantara bahkan dunia Islam secara umum.
Kitab ini berisi kajian tentang fikih ibadah menurut madzhab Syafi’i, mencakup kajian tentang bersuci, shalat zakat, puasa, haji, perburuan, dan makanan. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu beraksara Jawi, dan dicatat sebagai kitab fikih ibadah terbesar berbahasa Melayu klasik dalam sejarah khazanah literatur Islam di Nusantara.
Bahkan salinan kitabnya tersimpan dengan baik di Perpustakaan Universitas King Saud.
“Adapun gambar naskah ini saya dapatkan dari koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Riyadh, KSA, dengan nomor kode 2318. Dalam data identitasnya, disebutkan jika naskah ini adalah tulisan tangan sang pengarang, yaitu Syekh Muhammad Arsyad Banjar, dengan tititamangsa penulisan pada hari Ahad, 27 Rabi’ul Akhir 1195 Hijriah (bertepatan dengan 22 April 1781 M),” ujar Ahmad Ginanjar Sya’ban, kolektor naskah-naskah Islam Nusantara, seperti dilansir nu.or.id, Rabu (22/2/2017).
Menurut Gus Aceng, begitu sapaan akrabnya, tebal keseluruhan naskah ini 288 halaman. Setiap halaman berisi rata-rata 23 baris teks. Kondisi tulisan naskah sangat bagus, jelas, dan mudah dibaca. Teks pada naskah ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu beraksara Jawi, dengan tinta berwarna merah dan hitam.
Dalam pembukaan, Syekh Arsyad Banjar mengatakan bahwa dirinya diminta oleh Sultan Banjar pada masa itu, yaitu Sultan Nata Alam Tahmidullah (sultan ke-16/1761-1801 M), untuk menulis sebuah kitab yang berisi kajian fikih (yurisprudensi) Islam madzhab Syafi’i dalam bahasa Jawi (Melayu), agar dapat dijadikan acuan dan pedoman oleh masyarakat Muslim Kesultanan Banjar.
Kitab tersebut ditulis setelah Syekh Arsyad menimba ilmu selama 32 tahun di Mekah dan Madinah. Di Tanah Suci, Syekh Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka di antaranya adalah Syekh ‘Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.
Sebenarnya, sebelum upaya penulisan kitab “Sabîlul-Muhtadîn” ini, terdapat sebuah kitab fikih yang mengkaji masalah-masalah ibadah dan ritual yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu kitab “al-Shirâth al-Mustaqîm” karangan ulama penasihat Kesultanan Aceh, Syekh Nûr al-Dîn Muhammad ibn ‘Alî ibn Hasanjî al-Rânîrî (Nuruddin Raniri, w. 1069 H/ 1658 M).
Sejak dikarangnya “al-Shirâth al-Mustaqîm” pada tahun 1054 H (1644 M), kitab tersebut telah tersebar luas dan sangat populer di kalangan Muslim Nusantara, serta dijadikan rujukan oleh lembaga-lembaga pendidikan dan hukum di berbagai Kesultanan di Nusantara.
Namun, rupanya para pengkaji yang tidak mengerti bahasa Aceh mengalami kendala. Sebagaimana yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad Banjar dalam pembukaan Kitab Sabilul Muhtadin; yang artinya:
“Tetapi di dalam kitab [al-Shirâth al-Mustaqîm] tersebut terdapat beberapa bahagian ungkapan yang terasa asing nan samar bagi para pengkaji, karena ia banyak memuat unsur bahasa Aceh yang tidak difahami oleh para pengkaji yang bukan penuturnya, di samping di banyak tempat dalam kitab tersebut juga telah terdapat kesalahan, perubahan, bahkan pengurangan yang diakibatkan oleh kesalahan para penyalin [naskah] yang kurang cakap.”
Kitab ini pertama kali dicetak di Istanbul pada tahun 1300 H/1882 M atas inisiasi Syekh Ahmad al-Fathânî (Patani), kepala percetakan kitab-kitab berbahasa Jawi (Melayu) pada percetakan Khilafah Utsmani. Setelah versi cetak Istanbul, kitab ini kemudian dicetak ulang di Mekah dan Kairo. Data cetakan “Sabîlul-Muhtadîn” di Istanbul pada tahun 1300 Hijriah ini dapat dilacak dalam sumber arsip Khilafah Utsmani untuk wilayah Hijaz
(Hicaz Vilayet-i Salnamesi; Yil 1300 Hicri).
Sedangkan kitab aslinya, berada di Museum Lambung Mangkurat di Jalan Ahmad Yani 36, Banjarbaru. Kondisinya sudah lapuk karena dimakan usia.
Pada catatan inventaris koleksi museum, Kitab Sabilal Muhtadin asli ini bernomor inventaris 5761. Pada data tercatat punya ukuran panjang 21,3 sentimeter, lebar 17,3 sentimeter dan tebal 5,8 sentimeter. Juga tercatat, kitab didapat dari Desa Dalam Pagar Ulu. Tanggal masuk ke museum pada 30 Oktober 1991.
UU Sultan Adam
Sedangkan penerapan hukum yang hanya berlandaskan kepada Islam terekam pula dari peninggalan masa pemerintahan Sultan Adam al-Wasik Billah (sultan ke-18/1825-1857 M) berupa undang-undang yang bersumber dari ajaran Islam hingga kini masih dikenal dengan UU Sultan Adam.
Pada Mukadimah Undang-Undang Sultan Adam, dapat diketahui bahwa maksud dari dikeluarkannya undangundang tersebut adalah untuk mendorong ketaatan segenap rakyatnya atas agama Islam, mengatasi perbedaan dan kemudahan memutuskan perkara. Undang-undang ini berisikan 38 pasal dengan komposisi untuk mengatur agama dan peribadatan, tata pemerintahan, perkawinan, hukum peradilan, tanah dan peralihan.
Kesultanan Banjar berdiri setelah Raja Hindu Banjar sekaligus cucu dari Maharaja Sukarama, raja keempat Kerajaan Hindu Nagara Daha yakni Pangeran Samudra masuk Islam pada Rabu 24 September 1526. Samudra mengucapkan dua kalimat syahadat dengan dibimbing Khatib Dayyan, utusan Kesultanan Demak. Nama Samudra pun diganti menjadi Suriyansah. Sejak saat itulah Kesultanan Banjar berdiri dan daerah sekitarnya tunduk kepada Banjar.[]
Oleh: Joko Prasetyo | dari berbagai sumber
Dimuat pada Rubrik KISAH Tabloid Media Umat edisi 227 (Pertengahan September 2017)
0 Komentar