“Jangan baca media Islam, beritanya tidak objektif!”
Pernah mendengar lontaran kalimat semisal di atas? Meski terdengar sangat tendensius dan menyakitkan hati, namun pada faktanya tidak jarang ditemukan berita yang ditulis beberapa media Islam yang tidak memiliki jarak antara informasi yang disampaikan dengan pendapat si penulis. Sehingga antara peristiwa yang benar-benar terjadi dengan gagasan si penulis bercampur baur.
Padahal basis dari penulisan berita adalah peristiwa yang benar-benar terjadi dan bukan gagasan atau pendapat si penulis. Karena si penulis tidak dapat menjaga jarak antara subjek berita dan dirinya maka emosinya pun masuk ke dalam bagian tulisan. Sejak saat itulah, tulisan si penulis tersebut dapat divonis “tidak objektif” oleh pembaca.
Sebetulnya, itu bukan hanya masalah media Islam saja, tetapi masalah di setiap media yang memuat suatu tulisan yang isinya mencampuradukan antara sajian fakta dan opini. Sehingga tidak dapat digolongkan secara tegas apakah bentuk tulisan tersebut terkategori berita (news) atau opini (views).
Dont Be Confused
Ada empat macam bentuk tulisan yang paling sering ditemukan dalam berbagai macam media cetak. Keempat macam tulisan tersebut adalah: berita lugas (straight news); karangan khas (feature); artikel (article); dan tajuk rencana (editorial).
Sebagaimana ditunjukkan Bagan Pertama: Dua Kategori Tulisan, dua tulisan pertama masuk ke dalam kategori berita (news), lantaran kedua-duanya mengungkap fakta tanpa memasukan opini si penulis. Sedangkan dua tulisan terakhir terkategori opini (views) karena syarat dengan pengungkapan tafsiran dan gagasan si penulis terhadap suatu fakta.
Nah, dalam tulisan terkategori views ini si penulis dipersilakan untuk memasukan opini atau pendapatnya. Namun di dalam tulisan yang terkategori news, jangan sampai tulisan tersebut dituduh sebagai tulisan yang tidak profesional atau tidak objektif, lantaran ingin berdakwah lewat media cetak tetapi tidak memahami kaidah menulis jurnalistik.
Straight News Versus Feature
Meski sama-sama terkategori news, namun straight news dan feature memiliki beberapa perbedaan.
Straight news ditulis untuk memberikan informasi yang dianggap penting dan atau menarik bagi pembaca dengan pengemasan yang singkat, padat dan jelas. Sedangkan feature, meski ditujukan untuk memberikan informasi yang dianggap menarik atau penting, namun penyampaian informasinya dengan menggunakan gaya bercerita yang menggugah perasaan.
Sedangkan secara anatomis, perbedaan keduannya bisa dilihat pada Bagan Kedua: Perbandingan Anatomi Berita Lugas dan Karangan Khas.
Dari Bagan Kedua: Perbandingan Anatomi Berita Lugas dan Karangan Khas, dapat dilihat keduanya memiliki judul (title), teras (lead) dan tubuh (body) tulisan. Namun straight news tidak memiliki penutup (ending), sedangkan dalam feature, ending sama pentingnya dengan lead dan title.
Sama pentingnya itu, dalam bagan anatomi di atas ditandai dengan segaris secara vertikal antara title, lead dan ending. Semakin tidak segaris, semakin kurang penting. Perhatikan ujung body dari straigh news dan tengah body feature.
Title dalam straight news lugas, singkat dan pada pokok persoalan. Sedangkan title pada feature meski ditulis singkat, tetapi harus diupayakan puitis dan menyentuh perasaan.
Lead. Ada banyak macamnya. Di antaranya adalah teras ringkasan (resume lead), teras bercerita (tell lead), teras deskriptif (descriptive lead), teras pertanyaan (question lead), teras menuding (accuse lead), teras kutipan (quotation lead). Atau bisa juga membuat teras gabungan dari beberapa teras yang ada.
Nah, biasanya teras yang digunakan untuk straight news adalah teras ringkasan atau teras kutipan. Sedangkan untuk feature, semua teras tersebut sering kali digunakan.
Body. Seperti yang telah disinggung di atas, dalam straight news tubuh semakin ke bawah semakin tidak penting. Maka, informasi yang paling penting harus ditulis di paragraf pertama. Kemudian disusul dengan yang penting, cukup penting, lalu kurang penting.
Prinsip penulisan di atas tidak berlaku untuk feature. Dalam tulisan ini, tubuh digunakan untuk menulis kronologis cerita. Meski seperti halnya straight news yang mengharuskan kalimat yang disusunnya pendek-pendek, tetapi dalam feature deskripsi suasana atau pun orang harus dituliskan.
Ending. Dalam feature setidaknya ada empat penutup. Pertama, penutup ringkasan. Sifatnya merangkum kembali cerita-cerita yang lepas untuk mengacu kembali ke teras. Kedua, penutup penyengat. Penutup ini membuat pembaca kaget karena sama sekali tak menduga akhir ceritanya akan sedemikian rupa.
Ketiga, penutup klimaks. Ini penutup biasa karena cerita yang disusun tadi sudah kronologis. Jadi penyelesaiannya jelas. Keempat, penutup menggantung. Cerita berakhir dengan mengambang. Ini bisa taktik penulis agar pembaca merenung dan mengambil kesimpulan sendiri, tetapi bisa pula masalah yang ditulis memang menggantung, masih ada kelanjutan, tapi tak pasti kapan.
Article Versus Editorial
Satu-satunya perbedaan yang mencolok antara artikel dan tajuk rencana adalah nama rubriknya. Biasanya tajuk rencana ditulis dalam rubrik Tajuk, Tajuk Rencana atau Editorial. Sedangkan artikel tersebar ke dalam berbagai macam rubrik, bahkan ada rubrik khusus bagi pembaca yang mengirimkan opininya.
Perbedaan lainnya adalah tujuan penulisannya. Tajuk rencana ditulis dengan tujuan untuk menyampaikan sikap resmi media cetak tersebut terkait peristiwa aktual yang dianggap memerlukan tanggapan.
Sedangkan, artikel dibuat untuk berbagai macam kepentingan. Di antaranya untuk menjelaskan suatu perkara (what) atau pun cara kerja (how to do), dan tentu saja termasuk kepentingan untuk menyampaikan tanggapan terhadap suatu peristiwa.
Untuk kepentingan yang terakhir ini, tulisan artikel dan tajuk rencana bisa sama persis. Lantas apa yang membedakannya? Di samping nama rubriknya tentu saja penulisnya. Artikel tersebut ditulis oleh pembaca (dan wartawan) sedangkan tajuk rencana ditulis oleh pemimpin redaksi (bukan pembaca).
Sedangkan, pola penulisan keduanya sama saja. Bisa menggunakan pola pendirian-dukungan-kesimpulan (PDK) atau pendapat-sanggahan-pendirian (PSP).
Dan tentu saja, berdasarkan formula ANSVA, penulisan keduanya haruslah menarik minat pembaca (attention), memenuhi kebutuhan pembaca (needs), memuaskan kekritisan dan kelogisan pembaca (satisfaction), paparannya mudah dipahami pembaca (visualization), dan penyampaiannya tidak bertele-tele (action).
Teknis penulisannya, berdasarkan pola SEES, bisa diawali dengan lontaran pernyataan singkat yang menggugah pembaca (statement), kemudian dilanjutkan dengan paragraf yang menjelaskan lontaran tersebut (explanation), lalu jelaskan pernyataan tersebut dengan contoh (example), akhirnya, ikat hati pembaca dengan kesimpulan (summary).
Lihat Bagan Ketiga: Anatomi Opini. Bagan anatomi di atas menunjukkan bobot penting semua bagiannya sama. Hal itu ditunjukkan dari segaris secara vertikal dari title sampai summary.
Still Confused?
Lantas bagaimana menilai berita itu objektif atau tidak? Untuk menilainya, harus diketahui dulu bahan baku tulisannya.
Seperti yang ditunjukkan Bagan Keempat: Persamaan dan Perbedaan Bahan Tulisan Berita dan Opini, bahan baku tulisan itu setidaknya ada lima.
Pertama, observasi. Reporter/penulis datang langsung ke lokasi peristiwa dan melakukan pengamatan. Kedua, wawancara. Reporter/penulis melakukan wawancara dengan narasumber terkait atau ahli dari suatu peristiwa. Ketiga, partisipasi. Reporter/penulis terlibat langsung dalam suatu peristiwa.
Keempat, studi pustaka. Reporter/penulis menggali informasi yang lebih dalam dari suatu peristiwa melalui berbagai dokumentasi yang telah tercatat atau terekam sebelumnya. Kelima, gagasan atau penilaian reporter/penulis tentang suatu peristiwa.
Nah, perhatikan betul tulisan yang hendak dibuat itu, terkategori news atau views. Perhatikan secara seksama Bagan Keempat: Persamaan dan Perbedaan Bahan Tulisan Berita dan Opini. Bila terkategori news, maka bahan yang boleh digunakan minimal satu dari empat bahan pertama. Bila sudah ditulis, jangan dulu dipublikasikan. Periksa dulu tulisannya, jangan sampai poin kelima ada di dalamnya.
Perbaikilah, bila ada satu kalimat atau paragraf yang setelah ditelusuri ternyata bahannya bukan dari poin satu, dua, tiga dan bukan pula dari poin empat. Karena dalam kaidah jurnalistik, kalimat atau paragraf yang bahannya dari poin kelima tersebut dikatakan tidak objektif.
Bila kalimat atau paragraf yang tidak objektif itu perannya sangat vital dalam berita tersebut maka dikatakan pula bahwa beritanya itu tidak objektif. Selanjutnya, bila berita semacam itu muncul berkali-kali maka media itu pun dikatakan sebagai media yang tidak objektif.
Harus diingat, dalam kaidah jurnalistik, subjektivitas penulis atau pun media hanya dibolehkan pada penentuan sudut pandang penulisan (angle) dan pemilihan narasumber serta pernyataan narasumber yang dikutip. Jadi, selama pesan yang ingin disampaikan penulis atau media tersebut tetap diwakili oleh pendapat narasumber atau angle, maka news tersebut tetap terkategori objektif.
Sedangkan dalam tulisan yang terkategori views justru poin kelimalah yang harus ditonjolkan meski pun tetap harus menyertakan minimal satu dari empat bahan tulisan paling atas. Meski menyertakan keempat-empatnya, namun tanpa menyertakan poin kelima, maka itu bukanlah views karena hasilnya tidak akan berbeda dengan news.
Clear ya? Kalau masih confused ada baiknya ikut kuliah atau training jurnalistik.[]
Oleh: Joko Prasetyo, angkatan pertama (1998) Ilmu Jurnalistik Fakultas Dakwah UIN Sunan Gunung Djati Bandung
0 Komentar