Di tengah kezaliman penguasa sedemikian rupa, khususnya terkait pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang amat zalim, ada seorang ustadz terkenal di Tanah Air sekadar mengajak masyarakat shalat sunnah selama 40 hari sebagai "jalan tengah". Beliau seolah lupa, kezaliman penguasa tak cukup dihadapi dengan doa dan shalat sunnah, tetapi dengan amar makruf nahi mungkar. Beliau pun seolah lupa, orang yang mendiamkan kemungkaran yang terjadi di hadapannya tak ubahnya "mayat hidup".
Di dalam al-Quran, Allah SWT berfirman
لَوْلَا يَنْهَىٰهُمُ ٱلرَّبَّٰنِيُّونَ وَٱلْأَحْبَارُ عَن قَوْلِهِمُ ٱلْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ ٱلسُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا۟ يَصْنَعُونَ
Mengapa para ulama dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sungguh amat buruk apa yang telah mereka kerjakan. (QS al-Maidah [5]: 63).
Ayat di atas adalah celaan sekaligus peringatan Allah SWTkepada para ulama yang tidak menegakkan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Menurut al-Qurthubi, ayat ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan upaya mencegah kemungkaran sama dengan orang yang berbuat kemungkaran itu sendiri. (Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, VI/237).
Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. telah mensyaratkan kepada Jarir bin Abdillah—ketika datang untuk membaiat Beliau atas Islam—agar menyampaikan nasihat kepada setiap Muslim. (Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârî, I/22).
Dalam hadis ini, menasihati setiap Muslim disyaratkan sebagai salah satu bentuk kesetiaan pada Islam. Dengan kata lain, seseorang belum dikatakan sempurna kesetiaannya pada Islam jika mengabaikan urusan menasihati sesama Muslim. Ini menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap masalah nasihat-menasihati sesama Muslim. Hal ini wajar karena, sebagaimana sabda Nabi saw. sendiri, “Ad-Dîn nashîhah (Agama adalah nasihat).”
Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. memahami benar makna hadis ini. Karena itu, pada masa Kekhilafahannya, beliau telah memperlakukan sama orang yang berdiam diri terhadap kemungkaran dengan pelaku kemungkaran itu sendiri; sama-sama dianggap pelaku kriminal. Keduanya berhak mendapat sanksi/hukuman di dunia.
Pada masanya, polisi negara pernah datang kepada sekelompok orang yang sedang mabuk-mabukan dengan meminum khamr, sementara di samping mereka duduk-duduk seorang Muslim yang tidak ikut mabuk; dia bahkan sedang berpuasa. Saat itu, Khalifah memerintahkan kepada sang polisi untuk mencambuk mereka semuanya, tanpa kecuali. Petugas polisi berkata, “Amirul Mukminin, si fulan ini tidak ikut mabuk bersama mereka; dia bahkan sedang berpuasa.”
Khalifah Umar berkata, “Hadirkan dia dan cambuklah! Tidakkah dia mendengar firman Allah SWT(yang artinya): Sungguh, Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam al-Quran, bahwa jika kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok oleh orang-orang kafir, janganlah kalian duduk-duduk bersama mereka hingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Sesungguhnya jika kalian berbuat demikian, tentu kalian sama saja dengan mereka. (QS an-Nisa’ [4]: 140).”
Demikianlah sikap Khalifah Umar ra. Beliau telah menganggap orang yang mendiamkan kemungkaran sebagai pelaku kriminal yang layak dihukum. Sama dengan pelaku kemungkaran itu sendiri.
Kemungkaran yang terbesar tentu adalah kemungkaran yang dilakukan oleh para penguasa, yaitu saat mereka tidak melaksanakan hukum-hukum Allah. Allah SWT berfirman:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فألئك هم الظالمون
Siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim (QS Al-Maidah [5]: 45).
Itulah mengapa Rasulullah saw. telah mewajibkan umat Islam untuk melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa semacam ini. Bahkan Beliau telah bersabda (yang artinya):
افضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر
Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim. (HR at-Tirmidzi dan an-Nasa’i).
Huthaith ra. adalah di antara orang yang sangat memahami maksud hadis di atas. Karena itulah, saat ia menyaksikan kezaliman al-Hajjaj, penguasa Makkah pada masanya, ia sangat keras menentangnya. Karena sikap kerasnya itu, ia kemudian dihadapkan kepada al-Hajjaj. Saat itu, al-Hajjaj bertanya, “Apa pendapatmu tentang diriku?”
Dengan tegas Huthaith menjawab, “Saya berpendapat, bahwa engkau adalah musuh Allah di muka bumi ini. Engkau telah membinasakan segala kehormatan dan membunuh manusia hanya dengan dasar sangkaan!”
Al-Hajjaj bertanya lagi, “Lalu apa yang akan kamu katakan terhadap Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan?”
Huthaith menjawab, “Aku akan mengatakan, bahwa dia dosanya lebih besar daripada dirimu, dan engkau tidak lain adalah sumber dari segala kesalahan!”
Mendengar itu, al-Hajjaj memerintahkan kepada para bawahannya, “Siksalah dia!”
Huthaith pun disiksa seketika sampai tulang punggungnya remuk dan dagingnya terkelupas. (Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm ad-Dîn, II/346).
Begitulah sikap seorang Muslim yang memahami pentingnya melakukan amar makruf nahi mungkar; dia rela disiksa manusia karena melakukan amar makruf nahi mungkar daripada diazab Allah karena meninggalkan amar makruf nahi mungkar.
Sesungguhnya kemungkaran para penguasa Muslim saat ini jauh lebih besar daripada kezaliman al-Hajjaj atau Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Sebab, betapapun zalimnya para penguasa Muslim pada masa Kekhilafahan Islam, mereka tidak pernah tidak menerapkan hukum-hukum Allah, sebagaimana para penguasa Muslim saat ini. Para penguasa Muslim saat ini jelas-jelas menerapkan hukum-hukum kufur.
Namun sayang, banyak di antara kaum Muslim, khususnya para ulamanya, yang malah membisu terhadap kemungkaran para penguasa saat ini. Memang, banyak dari mereka yang selalu menjaga hubungan dengan Allah, dengan memperbanyak amal ibadah ritual dan bersedekah. Namun, mereka tidak melakukan amar makruf nahi mungkar, dengan berkeyakinan, bahwa setiap manusia bertanggung jawab terhadap amalnya masing-masing.
Sikap demikian jelas keliru. Hudzaifah bin al-Yamani ra., seorang Sahabat Rasulullah saw. yang mulia, bahkan menjuluki orang-orang semacam ini—yang tidak mengingkari kemungkaran dengan tangannya, tidak dengan lisannya, dan tidak juga dengan kalbunya—sebagai ‘mayat hidup’. (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, II/311).
‘Mayat hidup’ tentu merupakan istilah yang sangat kasar dan menghina. Namun, itulah sikap tegas Sahabat Rasululullah saw. yang mulia terhadap orang-orang yang cuwek terhadap kemungkaran; hidupnya dipandang sama dengan matinya; keberadaannya dianggap tidak berbeda dengan ketiadaannya; alias tak berguna. Na‘ûdzu billâh min dzâlik!
Walhasil, mari kita buktikan, bahwa kita bukanlah ‘mayat hidup’! []
Oleh: Arief B. Iskandar
(Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah)
0 Komentar