Sesungguhnya jejak khilafah di Nusantara tidak ada yang mampu membantahnya. Begitu pula, jejak dalil khilafah di kitab-kitab para ulama juga tidak bisa ditutup-tutupi. Tapi anehnya, kenapa dunia di bawah payung kapitalisme sekuler berusaha mengubur dan mengaburkan khilafah ajaran Nabi?
Pernyataan keliru hingga stempel negatif berusaha disematkan pada khilafah ajaran Islam. Sebagaimana tuduhan bahwa khilafah itu utopis, radikal, ekstremis, teroris, tertolak, dan sebagainya masih saja disuarakan untuk mengaburkan pemahaman khilafah yang benar.
Tak sedikit umat Islam yang terkecoh dengan framing negatif yang dibuat barat untuk mencitraburukkan khilafah. Pertanyaaanya, mengapa masih banyak umat yang termakan oleh propaganda barat?
Bukankah sebagai seorang Muslim harusnya sami'na wa atha'na (kami mendengar dan kami tunduk)? Bukankah seharusnya seorang Mukmin hatinya senantiasa lunak dengan ajaran Islam, sekalipun itu adalah Islam politik? Adanya sikap antipasi terhadap sebuah ide tentu diawali dari sebuah persepsi atau pemahaman seseorang tentang ide itu.
An Nabhani dalam masterpiece-nya Nidhomul Islam menjelaskan bahwa manusia selalu mengatur tingkah lakunya dalam kehidupan ini sesuai dengan mafahim-nya (persepsinya) tentang kehidupan.
Lebih lanjut An Nabhani, mencontohkan bahwa persepsi seseorang terhadap orang yang dicintai akan membentuk perilaku yang berlawanan dari orang tersebut terhadap orang lain yang dibencinya, karena dirinya memiliki persepsi kebencian terhadapnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dibuat rangkaian kalimat yang menyatakan bahwa persepsi yang keliru tentang ide khilafah akan melahirkan sikap penolakan terhadapnya. Sebaliknya, persepsi yang benar tentang ide khilafah, akan melahirkan sikap penerimaan terhadapnya. Demikianlah kiranya.
Ada kepingan menarik yang bisa kita pelajari dari hikmah perjalanan kehidupan dakwah Nabi SAW dalam fase dakwah Mekkah dan fase dakwah di Madinah. Keberhasilan Nabi SAW dalam dakwahnya selain karena nasrullah adalah seperti yang diungkapkan oleh An Nabhani dalam kitabnya yang berjudul Daulah Islam.
Beliau menjelaskan bahwa pada fase Mekkah yang telah menghabiskan waktu selama 12 tahun berturut-turut mengajak penduduk Mekkah kepada Alloh, berusaha keras menyebarkan dakwah, tidak pernah meninggalkan kesempatan sedikitpun kecuali mencurahkan segenap kemampuannya untuk dakwah dan menanggung semua jenis penganiayaan, pada fase ini masyarakat mekkah tetap membatu dan dakwah tidak menemukan jalan apapun untuk menuju ke sana. Hal itu karena hati penduduk Mekkah sangat keras, jiwanya penuh dengan kebencian, dan akal mereka membeku bersama masa lalunya.
Inilah karakter negatif yang bisa kita jadikan pelajaran dikemudian hari bahwa hati yang keras, jiwa yang penuh dengan kebencian dan akal yang membeku artinya tidak mau terbuka hanya akan menjauhkan pemiliknya dari jalan hidayah, jalan al hak yang penuh dengan ridha dari Allah SWT. Lebih lanjut An Nabhani menyatakan bahwa kerasnya masyarakat Mekkah yang seolah seperti batu dan potensi penerimaan dakwah yang begitu lemah disebabkan oleh jiwa penduduk Mekkah yang dikuasai oleh kemusyrikan yang memang Mekkah menjadi pusatnya.
Kondisi yang sedemikian rupa berbeda dengan kondisi masyarakat Madinah yang lebih bisa menerima Islam sebagaimana ada sebuah riwayat yang menarik tatkala Mushab bin Umair diutus oleh Rosulullulloh SAW berdakwah ke Madinah. Dalam riwayat tersebut dijelaskan bahwa suatu hari Mushab bin Umar keluar bersama As’ad bin Zuroroh ke pemukiman bani Abdul Ashal dan pemukiman bani Zhafar. (Sa’ad bin MUadz adalah anak bibi As’ad bin Zuroroh).
Keduanya masuk ke dalam kebun diantara kebun-kebun bani Zhafar dan berada di dekat sumur yang bernama sumur Muroq. Keduanya duduk di kebun itu sementara kaum Muslim datang dan berkumpul dengan mereka. Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair ketika itu menjadi pemuka dari Bani Abdul Asyhal. Keduanya adalah orang musyrik pemeluk agama kaumnya.
Tatkala keduanya mendengarkan ucapan Mush’ab, Sa’ad bin Mu’adz berkata kepada Usaid bin Hudhair: “Saya tidak benci padamu. Temuilah dua orang itu yang datang ke tempat kita hanya untuk membodohi orangorang lemah di antara kita. Usirlah dan cegahlah keduanya karena keduanya hendak datang ke tempat kita. Seandainya As’ad bin Zurarah tidak berasal dari kaum saya sebagaimana yang telah kamu ketahui, tentu saya sendiri yang akan melakukannya. Dia adalah anak bibi saya, dan saya tidak menemukan alasan untuk mencegahnya.”
Usaid bin Hudhair mengambil tombak pendeknya, kemudian berangkat menemui keduanya. Ketika As’ad bin Zurarah melihatnya, maka dia berkata kepada Mush’ab bahwa orang itu adalah pemuka kaumnya yang datang kepadamu, mudah-mudahan dia membenarkan Allah. Mush’ab menjawab, jika dia bersedia duduk, aku akan berbicara padanya.
Usaid bin Hudhair akhirnya duduk di depan keduanya dengan wajah cemberut sambil menggerutu, lalu berkata, “Apa yang kalian bawa kepada kami? Kalian hanya akan membodohi orang-orang lemah kami! Menyingkirlah kalian dari kami, jika memang kalian memiliki kepentingan
yang berhubungan dengan diri kalian sendiri!”
Muash’ab berkata, “atau sebaiknya engkau duduk dan mendengarkan dulu? Jika engkau menyukainya maka engkau bisa menerimanya. Dan jika engkau membencinya, maka cukuplah bagimu apa yang engkau benci."
Usaid menjawab, "boleh juga." Kemudian dia menancapkan tombak pendeknya dan duduk di hadapan keduanya. Lalu Mush’ab menjelaskan Islam dan membacakan al-Quran kepadanya.
Dari sepenggal riwayat tersebut dapat ditarik sebuah pelajaran bahwa salah satu karakter penduduk Madinah adalah mereka bisa lebih terbuka. Hal tersebut terlihat dari respon penerimaan yang diberikan tatkala Mushab bin Umar menyampaikan tawaran dengan kalimat “Atau sebaiknya engkau duduk dan mendengarkan dulu? Jika engkau menyukainya maka engkau bisa menerimanya. Dan jika engkau membencinya, maka cukuplah bagimu apa yang engkau benci.”
Sebuah riwayat ini harusnya menjadi pelajaran berharga bagi siapa pun yang haus akan kearifan dan kebenaran. Sikap pertama yang harus dikedepankan adalah keterbukaan pikiran. Bukan sebaliknya, sikap akal yang membeku seperti penduduk Mekkah yang pada akhirnya hanya berakhir pada sebuah kehinaan semata.
Sekalipun Allah SWT yang membolak-balik hati manusia, jadilah Muslim yang hatinya tetap tunduk atas segala syariat-Nya. Menjadi hati yang merendah dan tidak sombong dengan segala perintah Allah SWT. Karena hakikinya, hidup akan lebih sejahtera dan bahagia jika berada dalam naungan syariah dan khilafah. Wallahu'alam.[]
Oleh: Ika Mawarningtyas, S. Pd.
Analis Muslimah Voice
0 Komentar