Utang Ribawi Selamatkan Jiwa Seluruh Republik Indonesia: Logika Absurd?



Jumlah utang luar negeri pemerintah yang semakin meningkat setiap tahunnya tentu saja wajar ketika mendapat kritikan dari berbagai pihak. Namun, ini bertolak belakang dengan pemerintah yang menanggapi peningkatan utang ini sebagai sebuah kewajaran. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dapat menjawab santai kritikan soal utang pemerintah yang meningkat di tengah pandemi Corona tersebut.

Dalam laman finance.detik.com, Senin (2/11/2020), menuliskan tanggapan Sri Mulyani tersebut yang mengatakan bahwa tidak apa-apa karena utang itu untuk selamatkan jiwa seluruh Republik Indonesia. Dia menjelaskan, wajarnya peningkatan utang pemerintah dikarenakan pemerintah memenuhi kebutuhan anggaran penanganan COVID-19 serta pemulihan ekonomi di saat setoran negara lagi seret terdampak Corona.

Meningkatnya utang pemerintah terlihat dari melebarnya defisit APBN tahun 2020. Dari yang sebelumnya dirancang 1,76% terhadap produk domestik bruto (PDB), kini menjadi 6,34% atau setara dengan 1.039,2 triliun. Melebarnya defisit dikarenakan penerimaan negara lebih kecil dibandingkan belanja.

Sri Mulyani berdalih, peningkatan jumlah utang pemerintah saat ini salah satunya untuk mengamankan anggaran pendidikan yang dialokasikan sebesar 20% dari total belanja APBN. Selain itu, pemerintah juga memberikan banyak bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat maupun pengusaha yang terdampak COVID-19.

Di saat perekonomian semakin terpuruk, keuangan yang semakin melemah, benarkah utang ribawi dapat menjadi solusi hingga dijadikan jaminan penyelamatan jiwa Republik Indonesia? Tidak adakah solusi mumpuni lainnya yang mampu mengentaskan dari keterpurukan ekonomi?

Sistem Kapitalistik Menyuburkan Utang Ribawi Luar Negeri

Selama ini, APBN yang terus mengalami defisit, selalu ditutup dengan utang luar negeri. Ini merupakan solusi wajar bagi sistem ekonomi ribawi kapitalistik. APBN akan selalu defisit, karena di dalamnya sudah termasuk pembayaran cicilan utang LN dan juga bunga dengan nominal yang cukup besar, sehingga terpaksa harus ditutup dengan utang baru.

Adanya beban penambahan anggaran disebabkan oleh penggunaan indikator ekonomi makro (suku bunga, nilai tukar rupiah, harga minyak dunia, dll) yang sudah sangat jelas rentan terhadap perubahan dan gejolak.

Bagi lembaga atau negara-negara pemberi utang, Indonesia tentu dianggap sebagai negara yang sangat menguntungkan untuk menanamkan investasi bagi para investor. Berdasarkan riset cnbcindonesia pada bulan Mei 2020, ada banyak negara pemberi pinjaman ke Indonesia, diantaranya lima negara pemberi pinjaman terbesar adalah:

Pertama, Singapura menjadi negara kreditor terbesar bagi Indonesia dengan nilai utang mencapai US$ 72,4 miliar. Kedua, Jepang dengan total ULN Indonesia ke Jepang hingga bulan Mei tercatat mencapai US$ 28,9 miliar. Ketiga, Amerika dengan nilai utang mencapai US$ 26,6 miliar. Keempat, China dengan nilai ULN pemerintah Indonesia ke China mencapai US$ 20,1 miliar. Kelima, Hongkong dengan nilai utang mencapai US$ 12,8 miliar.

Sistem kapitalistik menjadi jalan mulus bagi para kapitalis untuk memperoleh kekayaan sebesar-besarnya. Apalagi negara menjadikan sektor-sektor yang sekiranya menguasai hajat hidup rakyat sebagai ladang investasi bagi para investor. 

Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal I 2020 pengelolaannya diprioritaskan pada sektor produktif mencakup jasa kesehatan dan kegiatan sosial (23,1 persen dari total ULN Pemerintah), sektor konstruksi (16,3 persen), sektor jasa pendidikan (16,0 persen), sektor jasa keuangan dan asuransi (13,3 persen), serta sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (11,5 persen).

Ironisnya, dalam sistem kapitalistik ini, negara-negara pemberi pinjaman, terutama negara yang memberi pinjaman dalam jumlah besar kepada Indonesia adalah negara yang juga memiliki utang dalam jumlah yang tidak kalah fantastis pula.

Dari laman merdeka.com (23/5/2019), menghimpun data jumlah utang LN negara-negara yang memberikan pinjaman kepada Indonesia, diantaranya:

Pertama, China. Berdasarkan laporan South China Morning Post, utang China telah meroket hingga 300 persen dari GDP mereka. Nominalnya mencapai USD 40 triliun atau Rp558.000 triliun (USD 1 = Rp13.967).

Kedua, Amerika Serikat (AS). Di tahun 2019, utang luar negeri AS makin membengkak hingga menyentuh USD 22 triliun atau Rp306,868 triliun. Angka itu sudah melewati 100 persen Gross Domestic Product(GDP)/Produk Domestik Bruto (PDB) negara.

Ketiga, Hongkong. Menurut CEICdata, utang Hong Kong per Januari 2019 mencapai USD 1,618 miliar atau Rp22 triliun.

Keempat, Singapura. Negara pemberi pinjaman terbesar kepada Indonesia ini juga tak terlepas dari ULN yang melilitnya. Menurut CEICdata, ULN Singapura tercatat sebesar USD 1,508 miliar atau Rp21 triliun per Maret 2019.

Seperti inilah sistem ekonomi ribawi kapitalistik. Di satu sisi suatu negara mampu memberikan utang ke negara lain dalam jumlah besar. Namun, di sisi lain juga memiliki utang yang tidak kalah besar pula. Utang LN sudah masuk ke dalam lingkaran setan sistem ekonomi ribawi kapitalistik yang memaksa negara untuk terus berhutang dalam sistem. Sistem kapitalistik menyuburkan utang ribawi luar negeri.


Utang Ribawi Membebani dan Menghancurkan Masa Depan Rakyat Indonesia

Posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia telah masuk daftar 10 negara terbesar di dunia dan terbesar di ASEAN. Daftar itu berasal dari laporan International Debt Statistic (IDS) 2021 yang dirilis oleh Bank Dunia (World Bank/WB). Data World Bank mencatat, jumlah utang luar negeri tahun 2019, posisi pertama dipegang China (US$ 2,1 triliun), kemudian berurutan Brasil (US$ 569,39 miliar), India (US$ 560,03 miliar), Rusia (US$ 490,72 miliar), Meksiko (US$ 469,72 miliar), Turki (US$ 440,78 miliar), Indonesia (US$ 402,08 miliar), Argentina (US$ 279,30 miliar), Afrika Selatan (US$ 188,10 miliar) dan terakhir Thailand (US$ 180,23 miliar).

Berdasarkan Laporan Bank Dunia di atas, tahun 2019 Indonesia tercatat menjadi negara dengan utang luar negeri tertinggi ke-7 sebesar US$ 402,08 miliar atau sekitar Rp 5.940 triliun (kurs Rp 14.775). Sedangkan saat ini, utang luar negeri Indonesia per akhir Agustus 2020 tercatat US$ 413,4 miliar atau setara dengan Rp 6.076,9 triliun (asumsi kurs Rp 14.700).

Dari data di atas, dapat dilihat secara kasat mata, utang LN Indonesia terus tumbuh dan menggelembung dari tahun ke tahun. Defisit APBN menjadi alasan utama penarikan utang luar negeri. Di tahun 2019, defisit anggaran sebesar 1,84% dan ditutup dengan pembiayaan utang yang ditargetkan Rp 359,12 triliun. Defisit ini juga terjadi setiap tahun dan terus meningkat.

Sedangkan, dari defisit APBN 2020 sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76% yang ditetapkan pemerintah, hingga akhir September 2020, Sri Mulyani mengungkapkan defisit anggaran telah mencapai Rp682,1 triliun atau setara 4,16 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dan lagi-lagi, untuk menutup defisit APBN ini, pemerintah melakukan pembiayaan utang. Namun, ini belum berakhir, pasalnya pemerintah mematok target defisit tahun ini sebesar 6,34 persen dari PDB.

Sedangkan, defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2021 diperkirakan 5,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp 1.006,37 triliun.

Dengan defisit yang selalu terjadi sepanjang tahun, kemudian harus ditutup dengan dengan utang baru. Hal ini sesuai dengan penambahan utang baru di setiap tahun anggaran. Sebuah bubble debt telah tercipta, istilah kerennya 'Gali Lubang, Tutup Lubang'. 

Lalu, benarkah utang ribawi luar negeri ini benar-benar menjadi solusi untuk menyelamatkan jiwa seluruh Republik Indonesia? Pertanyaan selanjutnya, kepada siapakah akan dibebankan atas utang-utang negara tersebut? Tidak ada jawaban lain selain rakyat bukan?

Dengan meningkatnya utang, tentu saja akan menyebabkan beban berat bagi rakyat. Bukan tidak mungkin, bahkan sudah kerap menjadi pilihan kebijakan pemerintah, yaitu melakukan penekanan pada pengeluaran yang biasanya dengan mengurangi subsidi untuk rakyat. Dan, pemerintah juga akan berusaha mencari penambahan pemasukan dengan peningkatan pajak, sehingga pajak yang dibebankan kepada rakyat semakin tinggi. 

Semakin besar utang, maka setiap tahunnya pemerintah harus membayar cicilan utang luar negeri berikut dengan bunganya dalam jumlah yang cukup besar nominalnya. Sudah pasti hal ini berpengaruh pada alokasi APBN di sektor lain. Akan banyak sektor yang dikorbankan, misalkan pengurangan anggaran pada sektor pendidikan atau pun kesehatan. Tentu saja, kembali rakyat yang akan dirugikan.

Yang tidak dapat dihindari, jumlah utang yang semakin meningkat, tentu juga akan menyebabkan beban berat pada generasi mendatang. Mengacu data utang pemerintah pada akhir Agustus 2020, yang tercatat angkanya mencapai Rp5.594 triliun, berdasarkan APBN KiTA edisi September 2020 yang dirilis Kementerian Keuangan. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, artinya jika dibagi 270-an juta penduduk Indonesia maka setiap warga Indonesia menanggung Rp20,5 juta utang pemerintah, bahkan sejak bayi baru lahir.

Sungguh sangat miris nasib rakyat Indonesia, utang luar negeri yang berbasis ribawi telah membelenggu negeri kaya raya akan sumber daya alamnya. Negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, namun rakyatnya dibayang-bayangi kemiskinan yang sistemik, terperosok dalam lubang setan utang ribawi. Utang ribawi luar negeri, pelan tapi pasti telah membebani dan menghancurkan masa depan rakyat. Jadi, ketika ada pernyataan utang luar negeri untuk selamatkan jiwa seluruh Republik Indonesia adalah sebuah logika absurd.


Sistem Ekonomi Islam Mengharamkan Utang Ribawi

Di dalam Islam, utang bukan sesuatu yang dilarang, tetapi ribawi lah yang diharamkan. Allah Swt berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 275 yang artinya, "Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." 

Agar terbebas dari utang ribawi luar negeri, tidak ada solusi lain kecuali dengan menerapkan sistem ekonomi Islam yang didukung dengan penerapan Islam secara kaffah. Seluruh aspek kehidupan akan diatur dan berhukum dengan hukum Islam, baik kehidupan ekonomi, politik, pendidikan maupun kehidupan sosial serta aspek-aspek lainnya.

Dalam aspek ekonomi, Khilafah akan menerapkan kebijakan-kebijakan yang akan menggerakkan sektor riil. Dikutip dari al-waie.id, kebijakan-kebijakan yang akan dijalankan khalifah diantaranya:
 
Pertama, menjalankan Politik Ekonomi Islam

Khilafah akan menjalankan Politik Ekonomi Islam. Tujuannya untuk memberikan jaminan pemenuhan pokok setiap warga negara (Muslim dan non-Muslim) sekaligus mendorong mereka agar dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier sesuai dengan kadar individu yang bersangkutan yang hidup dalam masyarakat tertentu. Dengan demikian titik berat sasaran pemecahan permasalahan dalam ekonomi Islam terletak pada permasalahan individu manusia, bukan pada tingkat kolektif (negara dan masyarakat).

Menurut al-Maliki1) ada empat perkara yang menjadi asas politik ekonomi Islam: Pertama, setiap orang adalah individu yang memerlukan pemenuhan kebutuhan. Kedua, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dilakukan secara menyeluruh. Ketiga, mubah (boleh) hukumnya bagi individu mencari rezeki (bekerja) dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan dan meningkatkan kemakmuran hidupnya. Keempat, nilai-nilai luhur syariah Islam harus mendominasi (menjadi aturan yang diterapkan) seluruh interaksi yang melibatkan individu-individu dalam masyarakat.

Kedua, mengakhiri dominasi dolar dengan sistem moneter berbasis dinar dan dirham

Ada beberapa keunggulan sistem dinar-dirham. Di antaranya: Pertama, dinar-dirham merupakan alat tukar yang adil bagi semua pihak, terukur dan stabil. Dalam perjalanan sejarah penerapannya, dinar-dirham sudah terbukti menjadi mata uang yang nilainya stabil karena didukung oleh nilai intrinsiknya. Kedua, setiap mata uang emas yang digunakan di dunia ditentukan dengan standar emas. Ini akan memudahkan arus barang, uang dan orang sehingga hilanglah problem kelangkaan mata uang kuat (hard currency) serta dominasinya.

Selama ini mata uang dolar sering dijadikan alat oleh Amerika Serikat untuk mempermainkan ekonomi dan moneter suatu negara. Bahkan Amerika sebagai pencetak dolar bisa dengan mudahnya membeli barang-barang dari negara-negara berkembang dengan mata uang dolar yang mereka miliki. Inilah yang dikritik oleh Rakadz, Ekonom Amerika, yang juga salah seorang intelijen ekonomi Amerika. Ia menyatakan dalam artikelnya, “Pada saat terjadi depresi ekonomi, Bank Federal selalu  mencetak uang dengan sembarangan, bahkan triliunan dolar AS.

Ketiga, tidak akan mentolerir berkembang sektor non-riil

Sektor ini, selain diharamkan karena mengandung unsur riba dan judi, juga menyebabkan sektor riil tidak bisa berjalan secara optimal. Menurut penelitian Prof. Maurice Allais, peraih Nobel tahun 1997 dalam tulisannya, “The Monetery Condition of an Economiy of Market,” hasil penelitiannya yang melibatkan 21 negara besar, bahwa uang yang beredar disektor non-riil tiap hari mencapai lebih dari 440 miliar US$; sedangkan di sektor riil hanya sekitar 30 miliar US$ atau kurang dari 10%. Inilah penyebab utama krisis keuangan global. Karena itulah uang hanya dijadikan semata-mata sebagai alat tukar dalam perekonomian. Karena itu ketika sektor ini ditutup atau dihentikan oleh Khilafah maka semua uang akan bergerak disektor riil sehingga roda ekonomi akan berputar secara optimal.

Keempat, membenahi sistem pemilikan sesuai dengan syariah Islam

Sistem ekonomi kapitalis, dengan konsep kebebasan kepemilikan, telah mengakibatkan terjadinya monopili terhadap barang dan jasa yang seharusnya milik bersama sehingga terjadi kesenjangan yang luar biasa. Sebaliknya, dalam sistem ekonomi Islam dikenal tiga jenis kepemilikan: kepemilkan pribadi; kepemilikan umum dan kepemilikan negara.

Seluruh barang yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak dan masing-masing saling membutuhkan, dalam sistem ekonomi Islam, terkategori sebagai barang milik umum. Benda-benda tersebut tampak dalam tiga hal: (1) merupakan fasilitas umum; (2) barang tambang yang tidak terbatas; (3) sumberdaya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu. Kepemilikan umum ini dalam sistem ekonomi Islam wajib dikelola oleh negara dan haram diserahkan ke swasta atau privatisasi.

Kelima, mengelola sumberdaya alam secara adil

Dalam sistem Islam, Khilafah akan melaksanakan politik dalam negeri dan politik luar negeri. Politik dalam negeri adalah melaksanakan hukum-hukum Islam termasuk pengelolaan sumberdaya alam, sedangkan politik luar negeri menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Pelaksanaan politik dalam negeri dan politik luar negeri mengharuskan Khilafah menjadi negara yang kuat dari sisi militer sehingga mampu mencegah upaya negara-negara imperialis untuk menguasai wilayah Islam dan SDA yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian penguasaan dan penghelolaan SDA di tangan negara tidak hanya akan berkontribusi pada kemananan penyedian komoditas primer untuk keperluan pertahanan dan perekonomian Khilafah, tetapi juga menjadi sumber pemasukan negara yang melimpah pada pos harta milik umum.

Karena itulah dalam sistem ekonomi Islam yang akan diterapkan oleh Khilafah, setiap warga negara baik Muslim maupun ahludz-dzimmah akan mendapatkan jaminan untuk mendapatkan kebutuhan pokok barang seperti sandang, pangan dan papan; juga kebutuhan pokok dalam bentuk jasa seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan secara murah bahkan bisa gratis.

Khilafah yang direpresentasikan oleh negeri-negeri Muslim saat ini memilik sumberdaya alam yang luar biasa melimpahnya. Sumberdaya alam (SDA) merupakan faktor penting bagi kehidupan umat manusia, yang saat ini dikuasai oleh negara-negara penjajah baik secara langsung maupun melalui korporasi-korporasi mereka. Karena itu untuk mengembalikan kedaulatan umat atas kekayaan SDA yang mereka miliki harus ditempuh dengan menegakkan kembali Khilafah. Karena itu pula, kalau saat ini ada penolakan terhadap penegakan negara Khilafah dan kriminalisasi ide khilafah yang dilakukan oleh rezim-rezim negeri negeri Islam, bisa diduga kuat bahwa di belakang mereka adalah para kapitalis dan negara-negara penjajah.

Selain kebijakan di atas, Khalifah yang didukung oleh umat juga tidak akan membiarkan para pejabatnya korup. Khalifah juga akan menggunakan Baitul Mal (APBN) yang adil sesuai dengan hukum syariah dan tidak akan menjadikan utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan negara.

Dengan kebijakan-kebijakan tersebut, Khalifah akan mampu menggerakan ekonomi dan mewujudkan kesejahteraan umat, yang bahkan akan dirasakan juga oleh non-Muslim baik sebagai warga negara Khilafah maupun umat manusia secara umum.

Penutup

Inilah sistem ekonomi ribawi kapitalistik. Di satu sisi suatu negara mampu memberikan utang ke negara lain dalam jumlah besar. Namun, di sisi lain juga memiliki utang yang tidak kalah besar pula. Utang LN sudah masuk ke dalam lingkaran setan sistem ekonomi ribawi kapitalistik yang memaksa negara untuk terus berhutang dalam sistem. Sistem kapitalistik menyuburkan utang ribawi luar negeri.

Dengan meningkatnya utang, akan ada penekanan pada pengeluaran dengan mengurangi subsidi untuk rakyat. Dan juga akan berusaha mencari penambahan pemasukan dengan peningkatan pajak, sehingga pajak yang dibebankan kepada rakyat semakin tinggi. Ditambah lagi beban APBN yang tinggi akan mengakibatkan pengurangan anggaran, misal pada sektor pendidikan atau pun kesehatan. Jumlah utang yang semakin meningkat, tentu juga akan menyebabkan beban berat pada generasi mendatang. Rakyat dibayang-bayangi kemiskinan yang sistemik, terperosok dalam lubang setan utang ribawi luar negeri. Utang ribawi luar negeri, pelan tapi pasti telah membebani dan menghancurkan masa depan rakyat. Jadi, ketika ada pernyataan utang luar negeri untuk selamatkan jiwa seluruh Republik Indonesia adalah sebuah logika absurd.

Agar terbebas dari utang ribawi luar negeri, tidak ada solusi lain kecuali dengan menerapkan sistem ekonomi Islam yang didukung dengan penerapan Islam secara kaffah. Seluruh aspek kehidupan akan diatur dan berhukum dengan hukum Islam, baik kehidupan ekonomi, politik, pendidikan maupun kehidupan sosial serta aspek-aspek lainnya. Khalifah juga akan menggunakan Baitul Mal (APBN) yang adil sesuai dengan hukum syariah dan tidak akan menjadikan utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan negara.[]


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Analis Mutiara Umat, Dosen Online Uniol 4.0 Diponorogo

Referensi data dari berbagai sumber di internet.

Posting Komentar

0 Komentar