Tanya Jawab:
Berkaitan dengan transaksi jenis-jenis barang ribawi, maka kami telah menjelaskan pada 21 Muharam 1437 H-03 November 2015 M tentang topik transaksi dengan jenis-jenis barang ribawi sebagai berikut:
Pertama, Rasul saw bersabda:
«اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَداً بِيَدٍ. فَإِذَا اِخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَداً بِيَدٍ »
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut (barley) dengan jewawut (barley), kurma dengan kurma dan garam dengan garam, harus semisal, sama dan serah terima tunai. Dan jika berbeda jenis-jenis ini maka juallah sesuka kamu jika serah terima tunai.” (HR al-Bukhari, Muslim dari jalur Ubadah bin ash-Shamit ra)
Nash tersebut jelas, ketika berbeda jenis-jenis ribawi ini, bahwa jual belinya adalah sesuka kamu. Artinya, semisal tidak menjadi syarat, akan tetapi yang menjadi syaratnya adalah serah terima tunai. Lafaz “al-ashnâf –jenis-jenis-“ dinyatakan secara umum pada semua jenis ribawi, yakni enam jenis itu dan tidak dikecualikan dari itu kecuali dengan nash. Dan karena tidak ada nash, maka hukumnya adalah bolehnya gandum dengan jewawut atau gandum dengan emas, atau jewawut dengan perak, atau kurma dengan garam, atau kurma dengan emas, atau garam dengan perak... bagaimana pun berbeda nilai pertukaran dan harganya, akan tetapi harus serah terima tunai dan bukan dalam bentuk utang. Dan apa yang berlaku atas emas dan perak juga berlaku atas uang kertas dengan penghimpun berupa ‘illat an-naqdiyah (‘illat moneterisme –sifat moneter-), yakni penggunaannya sebagai harga dan upah.
Kedua. Dinyatakan pengecualian dari (wajibnya serah terima tunai pada jual beli jenis-jenis ribawi) dalam kondisi agunan (ar-rahn) ketika jual beli empat jenis ribawi “gandum, jewawut, garam dan kurma” dengan uang. Hal itu karena hadis Muslim dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw:
«اِشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا لَهُ مِنْ حَدِيدٍ»
“Rasul saw membeli dari orang Yahudi makanan sampai tempo tertentu dan beliau mengagunkan baju besi beliau.”
Artinya, Rasul saw membeli makanan secara utang (kredit) akan tetapi disertai agunan. Dan makanan mereka kala itu adalah dari empat jenis tersebut. Hal itu sebagaimana di dalam hadis:
«اَلطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلاً بِمِثْلِ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيْرُ»
“Makanan dengan makanan harus semisal dan makanan kami kala itu adalah jewawut.” (HR Ahmad dan Muslim dari jalur Mu’ammar bin Abdullah)
Atas dasar itu, boleh Anda membeli empat jenis ribawi tersebut secara utang jika diagunkan sesuatu pada penjual sampai waktu pembayaran harganya.
Ketiga. Jika kreditur dan debitur saling percaya satu sama lain maka tidak perlu agunan. Dalil hal itu adalah firman Allah SWT:
﴿وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ﴾
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.” (TQS al-Baqarah [2]: 283)
Ayat yang mulia ini memberi pengertian bahwa agunan dalam utang (dayn) di dalam perjalanan tidak diperlukan jika kreditur dan debitur saling percaya satu sama lain. Dan hal itu bisa diterapkan terhadap agunan pada jual beli secara kredit untuk empat jenis ribawi “gandum, jewawut, garam dan kurma.” Artinya seperti firman Allah SWT:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).” (TQS al-Baqarah [2]: 283)
Konotasinya jelas bahwa agunan pada kondisi ini bisa tidak diperlukan.
Keempat. Atas dasar itu, maka boleh menjual empat jenis ribawi “gandum, jewawut, kurma dan garam” dengan uang secara kredit dengan disertai agunan untuk pembayaran utang tersebut atau tanpa agunan jika penjual dan pembeli saling percaya satu sama lain… Pada dua kondisi ini, jual beli jenis-jenis ini secara kredit adalah boleh. Artinya, garam yang Anda tanyakan penjualannya secara kredit adalah boleh jika memenuhi ayat yang mulia tersebut.
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain.” (TQS al-Baqarah [2]: 283)
Ini yang saya rajihkan dalam masalah tersebut. Wallah a’lam wa ahkam.
Kelima. Untuk diketahui, dinyatakan di Syarh Shahîh al-Bukhârî karya Ibnu Bathal pada bab syirâ` ath-tha’âm ilâ ajalin -jual beli makanan sampai tempo tertentu : “tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlu al-‘imi bahwa boleh menjual makanan dengan harga yang jelas sampai tempo yang jelas.”
Dinyatakan di kitab al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah oleh al-Jazairi tentang jual beli jenis-jenis ribawi: “adapun jika satunya berupa uang dan yang lain berupa makanan maka boleh ada penundaan.”
Dinyataan di al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, dan beliau sedang membicarakan pengharaman jual beli empat jenis ribawi satu sama lain secara kredit… beliau berkata: “berbeda jika dijual dengan dirham atau yang lain berupa barang-barang yang ditimbang maka keperluan menuntut hal itu.”
Ringkasnya:
Pertama. Boleh menjual kurma, gandum, jewawut dan garam dengan uang secara kredit disertai agunan untuk pembayaran utang itu, atau tanpa agunan jika penjual dan pembeli saling percaya satu sama lain … dan dalam selain kedua kondisi ini maka tidak boleh.
Kedua. Penjualan emas dengan uang secara kredit tidak boleh sama sekali baik apakah uang itu berupa emas atau uang kertas, dan baik apakah utang itu seluruhnya ditangguhkan ataukah dengan angsuran dimana sebagian dibayar tunai dan sisanya diangsur… Dan dalam kondisi terakhir ini yakni angsuran dengan sebagian dari harga dibayarkan di depan maka yang sah dari jual beli emas itu adalah apa yang harganya dibayar secara tunai yakni angsuran pertama yang dibayar saat transaksi. Adapun harganya yang dibayar pada semua angsuran sisanya maka jual belinya tidak sah… Adapun jika angsuran-angsuran itu semuanya ditangguhkan yakni tidak ada bagian dari harga yang dibayar tunai maka jual beli itu semuanya tidak sah karena kesesuaian dalil-dalil pertukaran harta-harta ribawi berlaku terhadapnya.
Ketiga. Adapun berutang (qardhun) emas, perak, uang dan semua harta ribawi maka qardhun itu boleh dengan syarat tidak menarik manfaat. Sebab itu berbeda dari jual beli dan sharf meskipun potretnya serupa. Jual beli dan sharf, keduanya merupakan pertukaran harta dengan harta dari jenis yang sama dan jenis yang berbeda. Adapun qardhun maka itu adalah memberikan harta kepada pihak lain untuk diminta kembali darinya semisal harta itu juga. Qardhun itu menurut bentuk kelemahlembutan (al-irfâq). Dalil-dalilnya berbeda dengan jual beli dan terhadapnya tidak berlaku dalil-dalil jual beli ribawi sehingga menjadi haram seperti jual beli emas secara kredit (dengan tempo)… Akan tetapi, dalil-dlil menyatakan kebolehannya. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Rafi’:
«أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ اِسْتَسْلَفَ مِنْ رَجُلٍ بَكْراً، فَقُدِمَتْ عَلَيْهِ إِبِلٌ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إِلَيْهِ أَبُوْ رَافِعٍ فَقَالَ: لَمْ أَجِدْ فِيْهَا إِلاَّ خِيَاراً رُبَاعِياً، فَقَالَ: أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً»
“Rasulullah saw berutang dari seorang laki-laki seekor anak unta (bakran). Lalu kepada beliau didatangkan unta shadaqah. Maka Rasul saw memerintahkan Abu Rafi’ agar membayar laki-laki itu anak untanya. Lalu Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata: “saya tidak menemukan di onta shadaqah kecuali unta yang lebih baik, rubâ’iy (unta umur enam masuk usia ketujuh).” Rasul pun bersabda: “berikan kepadanya, sesungguhnya sebaik-baik orang adalah yang paling baik pembayarannya”.
Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda:
«مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِماً قَرْضاً مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَةٍ مَرَّةٍ»
“Tidaklah seorang Muslim mengutangi seorang Muslim sebanyak dua kali kecuali (pahalanya) seperti shadaqah satu kali”.
Dan Nabi saw juga pernah berutang.
Ini yang saya rajihkan dalam masalah ini, wallâh a’lam wa ahkam.[]
oleh: Syaikh Atha’ bin Khalil Abu Rasytah
27 Desember 2020 M
0 Komentar