Inilah Alasan Partai NU Pilih Islam sebagai Dasar Negara



TintaSiyasi.com-- Sebagaimana partai Islam lainnya dalam Sidang Konstituante (1956-1959), Partai Nahdlatul Ulama dengan tegas menginginkan Islam sebagai dasar negara, bukan Pancasila. 

Berbagai alasan argumentatif disampaikan Fraksi NU dalam sidang yang membahas dasar negara tersebut. KH Masjkur misalnya. Dalam pidatonya ia menegaskan tiga alasan mengapa partainya memilih Islam sebagai dasar negara. 

Pertama, unsur-unsur Islam telah menjiwai sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga merupakan kepribadian bangsa. 

“Saudara Ketua, yang terhormat, kalau saya memilih Islam sebagai dasar negara, bukanlah karena saya kebetulan menjadi anggota salah satu partai Islam, tetapi dengan penyelidikan yang seksama, dengan membandingkan dan mempelajari, hingga meyakinkan, bahwa Islamlah yang cocok untuk menjadi dasar negara kita yang kepribadian rakyatnya sebagian besar sudah memiliki unsur-unsur ajaran Islam dan itu tidak dapat diingkari lagi, malah unsur-unsur Islam itu berjalan dan menjiwai masyarakat dan negara. Hal ini diakui atau tidak sudah mendarah daging,” ujarnya.  

Kedua, Pancasila tetap merupakan rumusan kosong, yang tidak berketentuan arah tujuannya. 

“Pancasila adalah rumusan yang kosong, masih membutuhkan isi. Pancasila akan menjadi perwujudan orang yang mengisinya,” tegas Masjkur pada 1958 di hadapan lebih dari 500 anggota sidang, di Gedung Merdeka, Bandung.

Ia pun mencontohkan bila Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam Pancasila diisi orang atau golongan yang mengakui bahwa Tuhan adalah batu, maka Ketuhanan dalam Pancasila itu akan berisi batu. Kalau diisi oleh orang atau golongan yang mempertuhankan pohon, ketuhanan dalam Pancasila itu akan berisi ketuhanan pohon. 

Begitu juga dengan keempat sila lainnya. Sehingga Pancasila itu melayang-layang tergantung siapa yang mengisinya.

“Kalau keadaan Pancasila itu melayang-layang menunggu siapa akan mengisinya, sebentar ke barat sebentar ke timur, apakah boleh saya katakan justru itu, maka Pancasila itu hidup dan dinamikanya dapat mengikuti segala zaman dan aliran?  Bahasa Jawa: biso mencolo putro, biso mencolo putri,” bebernya sebagaimana tertulis dalam buku kumpulan pidato peserta Sidang Konstituante yang berjudul Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante Djilih III yang disusun oleh Wilopo, Ketua Konstituante 1955-1959, pada 1958.

Ketiga, ajaran Islam memenuhi syarat untuk mengatur hidup dan prikehidupan manusia. 

“Memang sesungguhnya Saudara Ketua, unsur-unsur Islam bagi hidup dan penghidupan manusia tidak saja mempunyai syarat-syarat dunia modern, tetapi juga sudah diakui dunia bahwa Islam itu bukan semata-mata agama dalam arti ibadat saja tetapi suatu way of life, suatu jalan hidup,” tegasnya.

Masjkur menegaskan, Islam mempunyai sumber dan dasar yang kokoh. Cara pengolahan pelaksanaan hukum-hukumnya cukup mempunyai jiwa progresif. 

“Tetapi Pancasila, di mana pengambilan hukum-hukumnya? Bagaimana cara pengolahannya dan pelaksanaannya? Bagi saya dan fraksi saya, Fraksi Nahdlatul Ulama (NU), Pancasila tidak menggambarkan soal-soal yang telah saya gambarkan di atas. Apakah memang begitu sifat dan wujudnya Pancasila?” gugatnya.   

Sumbernya?

Senada dengan Masjkur, KH Achmad Zaini juga menyoroti tentang sumber dan pedoman dari ajaran Pancasila. “Kalau Pancasila itu adalah sebagai suatu ajaran, dari manakah sumbernya dan bagaimana pula saluran serta pedoman-pedomannya?” tanya tokoh NU yang satu ini kepada seluruh hadirin sidang Konstituante.

Dia membandingkan jika dasar negara adalah Islam. Menurutnya, seluruh sila dalam Pancasila telah terkandung dalam ajaran Islam. Islam telah memiliki aturan-aturan terperinci tentang cara hidup bermasyarakat dan cara hidup bernegara.

 “Sehingga masing-masing dari kelima sila itu benar akan merupakan suatu pokok rumusan yang mempunyai perincian-perincian dengan dasar yang kokoh serta kuat yang bersumberkan Al-Quran dan Al-Hadits, Al-Qias dan Al-Ijmak,” paparnya.

Berdasarkan pertimbangan filosofis dan teologis tersebut, KH Achmad Zaini tidak ragu lagi bahwa dasar negara yang tepat untuk Indonesia adalah dasar negara Islam.

"Saudara Ketua yang terhormat, jelaslah kiranya saudara Ketua bilamana Nahdlatul Ulama (NU) beserta partai Islam lainnya menuntut hanya dasar Islamlah yang harus dijadikan dasar negara kita," tegasnya.

Pertentangan

Tokoh NU lainnya, Haji Saifuddin Zuhri juga menilai Pancasila tidak memiliki basis teologis yang jelas dan mengandung unsur-unsur pertentangan di dalamnya, tokoh NU ini juga mencontohkan sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. 

Bila sila ini diartikan masing-masing warga negara menyembah tuhannya menurut caranya sendiri termasuk juga mereka yang tidak mempercayai tuhan dengan caranya masing-masing, kemudian diartikan sebagai toleransi dan saling menghormati, Saifuddin Zuhri masih bisa mengerti.

Akan tetapi, lanjutnya, bila sila pertama itu harus diartikan sebagai negara yang berketuhanan, lalu yang manakah yang hendak dipakai? Apakah ketuhanan menurut ajaran Islam, Katolik, Kristen, serba-dewa, ateisme yang masing-masing mempunyai dasar-dasar pelajaran tentang kepercayaan ketuhanan itu, yang tentu saja tidak dapat dipakai oleh pemeluk agama Islam, juga tidak bagi pemeluk Katolik, Kristen dan lain-lain?
  
“Maka apa konsekuensinya dalam pelaksanaan hukum yang harus berlaku dalam negara ini?”  ujarnya.

Ia pun mempertanyakan apakah Pancasila hanyalah kumpulan dari berbagai ragam paham yang dirumuskan untuk menentramkan semua golongan. Padahal di dalamnya mengandung unsur dan benih pertentangan yang kelak hanya akan mendatangkan seribu satu macam kesulitan. 

“Entahlah kalau itu sekadar untuk menunjukkan betapa pintarnya pemimpin-pemimpin kita dalam mengelakkan kesulitan-kesulitan, bahkan terkadang terlalu pintar untuk mengelakkan suatu kesulitan buat sementara yang nantinya akan datang tiba-tiba kesulitan yang lebih besar secara sekaligus!” pungkasnya.[] 


Oleh: Joko Prasetyo 
Jurnalis/Pengasuh Rubrik Sejarah Kisah Tabloid Media Umat

Posting Komentar

0 Komentar