Kasus positif covid-19 terus meningkat. Pandemi belum berakhir dan tidak ada yang tahu secara pasti kapan berakhir. Sementara, pemerintah dan Satgas Covid-19 kewalahan mengatasi penyebaran kasus positif.
Kini, pemerintah resmi memutuskan untuk memperpanjang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di wilayah Jawa-Bali mulai 26 Januari hingga 8 Februari 2021.
Tercatat ada tujuh daerah yang menerapkan PPKM jilid II. Ketujuh provinsi itu adalah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali (kompas.com, 22/01/2021).
Sesuai kebijakan yang ditempuh, maka sejumlah kegiatan masyaraka dibatasi demi mengurangi penyebaran virus covid-19 di negeri ini. Dalam pemberlakuan PPKM jilid II ini, kegiatan yang dibatasi adalah moda transportasi darat, termasuk angkutan umum.
Meski diberlakukan syarat perjalanan dengan menunjukkan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR atau non-reaktif rapid test antigen yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 3x24 jam sebelum keberangkatan. Namun, faktanya para pelaku perjalanan bertambah banyak. Pengawasan yang digalakkan oleh petugas juga dilakukan acak. Sehingga, para musafir merasa ada angin segar melakukan perjalanan tanpa beban.
Masyarakat yang melakukan perjalanan banyak yang abai dalam menerapkan protokol kesehatan. Masker dipakai ala kadarnya, bahkan banyak yang tak mengenakannya. Diperparah lagi dengan ketentuan anak-anak di bawah usia 12 tahun tidak diwajibkan untuk tes RT-PCR maupun rapid test antigen sebagai syarat perjalanan.
Selama masyarakat abai dengan protokol kesehatan, maka PPKM jilid II tidak akan mampu membuat grafik kasus positif melandai. Pembatasan aktivitas masyarakat dengan mengizinkan perjalanan bersyarat justru membuka peluang meluasnya sebaran virus corona.
Wabah tak lantas surut dengan perjalanan bersyarat. Namun, demikianlah sistem kapitalisme mendorong negara yang menganutnya untuk mengeluarkan kebijakan yang tidak merugikan negara. Dengan dikeluarkannya izin bersyarat untuk mobilisasi masyarakat, diharapkan bisa menopang pertumbuhan ekonomi.
Laju ekonomi begitu diperhatikan. Jangan sampai rakyat menjadi beban negara. Sistem ekonomi kapitalisme menceraikan rakyat dari peran dan tanggung jawab negara. Walhasil, rakyat kelimpungan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, terutama dalam kondisi pandemi ini.
Kebijakan-kebijakan berdasar pandangan sistem kapitalisme tak jua menyelesaikan masalah. Justru, tambal sulam kebijakan membuat wabah semakin parah. Kondisi masyarakat terkesan meremehkan dengan segala aturan, terutama pada protokol kesehatan.
Berbeda halnya dengan negara yang menerapkan sistem Islam. Kebijakan karantina wilayah akan menjadi acuan untuk memutus rantai penyebaran dan penularan wabah. Pasalnya, mobilitas masyarakat akan mengantar pada perluasan wabah. Oleh karena itu, negara akan melarang masyarakat masuk atau keluar kota yang terdampak wabah. Sebagaimana sabda Nabi Saw.
فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا، فِرَارًا مِنْهُ
Artinya: "Jika kalian mendengar tentang thoún di suatu tempat maka janganlah mendatanginya, dan jika mewabah di suatu tempat sementara kalian berada di situ maka janganlah keluar karena lari dari thoún tersebut." (HR Bukhari)
Ikhtiar karantina wilayah efektif untuk memutus rantai penyebaran. Pasalnya, mobilisasi masyarakat tidak sembarangan, sudah terpisah masyarakat yang terdampak wabah dengan masyarakat yang tak terdampak.
Dalam sistem Islam, pemenuhan kebutuhan pokok individu rakyat menjadi tanggung jawab negara. Terlebih di saat wabah melanda. Maka, pemenuhannya ada di tangan kholifah. Seluruh biaya hidup masyarakat terdampak wabah dijamin oleh negara.
Mekanisme pemenuhan kebutuhan pokok keluarga yang seharusnya ada di tangan wali atau suami, diambil alih oleh negara. Pasalnya, mereka berada di wilayah yang dikarantina.
Sementara masyarakat di luar wilayah terdampak wabah beraktivitas sebagaimana mestinya, dimotivasi dan didukung agar tetap produktif. Para lelaki akan bekerja memenuhi nafkah demi kebutuhan pokok keluarga, jika tidak memiliki pekerjaan, maka negara akan menyediakan lapangan kerja. Sehingga di saat baitul mal (kas) negara kosong, mereka bisa berkontribusi meringankan beban saudara muslim dan warga nonmuslim yang terdampak wabah.
Negara akan bersegera menangani kasus wabah karena nyawa manusia lebih berat dari pada dunia dan sisinya. Para medis dan segala sarana rumah sakit akan dipenuhi dan dibiayai, termasuk obat-obatan, alat pelindung diri dan alat kesehatan. Ilmuwan didorong untuk penelitian agar segera menemukan obat sebagai bentuk ikhtiar proses penyembuhan ataupun pencegahan.
Demikianlah sekelumit gambaran jika syariat Islam diterapkan dalam kehidupan. Wabah akan teratasi dengan menyeluruh dan tidak menyebar ke seluruh wilayah. Wallahu a'lam bish showab.[]
Oleh: Afiyah Rasyad
Aktivis Peduli Umat
0 Komentar