Soal:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Semoga Allah melimpahkan keberhakan kepada Anda, amir kami dan semoga Allah menolong dan mendukung Anda dengan kemenangan gemilang dan khilafah yang mengikuti manhaj kenabian yang mengobati hati kaum mukmin.
Pertanyaan saya berkaitan dengan vaksin baru yang mulai diberikan oleh berbagai negara untuk rakyatnya, vaksin Covid-19 … Kita lihat banyak kekhawatiran d tengah masyarakat untuk mengambil vaksin ini di tengah penyebaran banyak pendapat melalui media sosial seputar bahaya vaksin tersebut dan bahwa vaksin Covid-19 itu merupakan konspirasi kapitalis terhadap bangsa-bangsa. Kita tahu bahwa kesembuhan itu di tangan Allah SWT saja dan bahwa untuk setiap ajal telah ada ketetapannya. Dan kita sebagai pengemban dakwah bertanya tentang hakikat vaksin ini, dan apakah merupakan kewajiban syar’iy mendapatkan vaksin (divaksin) di tengah penyebaran wabah ini?
Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda.
[Ummu Bilal]
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Sebagaimana Anda ketahui, kami telah mempublikasikan Jawab Soal tentang berobat, dan kami katakan di situ:
Obat jika di dalamnya ada dharar maka haram sesuai hadis
«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»…
Tidak boleh membahayakan (memudharatkan) diri sendiri dan orang lain”
Adapun jika obat itu di dalamnya tidak ada dharar tetapi mengandung bahan yang haram atau najis, maka hukumnya makruh, yakni bukan haram, tetapi boleh digunakan disertai dengan ketidaksukaan (al-karâhah) jika pasien tidak menemukan obat yang mubah.
Adapun jika obat itu di dalamnya tidak ada dharar dan tidak mengandung bahan yang haram atau najis maka hukumnya mandub.
Dan saya kutipkan potongan dari Jawab Soal itu yang diperlukan:
Pertama, Jawab Soal tanggal 26/1/2011 seputar pemanfaatan barang yang haram dan najis serta berobat dengan keduanya (Jawab Soal Pemanfaatan Darah dan Virus). Di situ dinyatakan:
(3. Dari keharaman itu dikecualikan berobat. Berobat dengan sesuatu yang haram dan najis adalah tidak haram:
Adapun berobat dengan sesuatu yang haram adalah tidak haram maka itu berdasarkan hadits dari Anas:
«رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ رُخِّصَ لِلزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ لِحِكَّةٍ كَانَتْ بِهِمَا»
“Rasulullah saw memberi keringanan kepada atau diberikan keringanan (diberi rukhshah) kepada Zubair bin al-‘Awam dan Abdurrahman bin ‘Awf untuk memakai sutera karena penyakit kulit keduanya”.
Memakai sutera bagi laki-laki adalah haram. Akan tetapi hal itu diperbolehkan dalam hal berobat…….
Sedangkan berobat dengan najis adalah bukan haram maka itu berdasarkan hadits riwayat imam al-Bukhari dari Anas ra.:
«أَنَّ نَاسًا اجْتَوَوْا فِي الْمَدِينَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَلْحَقُوا بِرَاعِيهِ يَعْنِي الْإِبِلَ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا فَلَحِقُوا بِرَاعِيهِ فَشَرِبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا…»
“Ada orang-orang yang ijtawaw di Madinah lalu Nabi saw menyuruh mereka untuk menyusul penggembala Beliau yaitu (penggembala) unta sehingga mereka bisa meminum susunya dan air kencing unta itu, maka mereka menyusul penggembala itu dan mereka meminum susu dan air kencing unta itu…”.
Ijtawaw artinya makanannya tidak cocok dengan mereka sehingga mereka sakit. Rasul saw memperbolehkan “air kencing” untuk mereka dalam hal berobat padahal “air kencing” itu adalah najis….) selesai.
Kedua, dinyatakan di Jawab Soal tanggal 19/09/2013 M Seputar Alkohol dan Penggunaannya:
[ … Jawabnya adalah bahwa penggunaan khamr dalam pengobatan, demikian juga obat yang didalamnya ada alkohol … maka hukumnya boleh disertai ketidaksukaan (karâhiyah). Dalil hal itu:
Ibn Majah telah mengeluarkan dari jalur Thariq bin Suwaid al-Hadhrami, ia berkata:
«قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ بِأَرْضِنَا أَعْنَابًا نَعْتَصِرُهَا فَنَشْرَبُ مِنْهَا قَالَ لَا فَرَاجَعْتُهُ قُلْتُ إِنَّا نَسْتَشْفِي بِهِ لِلْمَرِيضِ قَالَ إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِشِفَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ»
“Aku katakan, “ya Rasulullah saw sesungguhnya di tanah kami ada anggur yang kami peras dan kami minum”. Rasul menjawab: “jangan”. Lalu aku kembali kepada beliau dan aku katakan: “kami memberikannya untuk minum orang sakit”. Rasulullah menjawab; “sesungguhnya itu bukan obat melainkan penyakit”.
Ini merupakan larangan penggunaan najis atau zat haram “khamr” sebagai obat. Akan tetapi Rasulullah saw memperbolehkan berobat menggunakan najis “air kencing onta”. Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari jalur Anas ra.:
«أَنَّ نَاسًا مِنْ عُرَيْنَةَ اجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَرَخَّصَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْتُوا إِبِلَ الصَّدَقَةِ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا…»
“Ada orang-orang dari Urainah, makanan Madinah tidak cocok untuk mereka sehingga mereka sakit, maka Rasulullah saw memberi rukhshah mereka untuk mendatangi onta sedekah lalu mereka meminum air susunya dan air kencingnya …”.
Jadi Rasulullah saw memperbolehkan mereka berobat dengan air kencing onta dan itu adalah najis. Demikian juga Rasul saw memperbolehkan berobat dengan sesuatu yang haram “yakni memakai sutera”. At-Tirmidzi dan Ahmad telah mengeluarkan dan lafazh at-Tirmidzi dari jalur Anas:
«أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَالزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ شَكَيَا الْقَمْلَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي غَزَاةٍ لَهُمَا، فَرَخَّصَ لَهُمَا فِي قُمُصِ الْحَرِيرِ. قَالَ: وَرَأَيْتُهُ عَلَيْهِمَا»
“Abdurrahman bin ‘Awf dan az-Zubair bin al-‘Awwam mengadukan kutu kepada Nabi saw pada perang keduanya, maka Nabi saw memberi kedunya rukhshah untuk memakai sutera. Anas berkata: “dan aku melihat keduanya memakainya”.
Dua hadits ini merupakan indikasi (qarinah) bahwa larangan dalam hadits Ibnu Majah itu bukanlah haram. Artinya berobat menggunakan najis dan zat haram adalah makruh.)
Ketiga: Jawab Soal tanggal 18/11/2013 seputar Ralita Vaksinasi dan Hukumnya. Di situ dinyatakan:
[Vaksinasi adalah pengobatan. Dan berobat adalah mandub, bukan wajib. Dalilnya adalah sebagai berikut:
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah, ia menuturkan: Rasulullah saw bersabda:
«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً»
“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya”.
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dari Nabi saw, beliau bersabda:
«لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ»
“Untuk setiap peyakit ada obatnya, dan jika obat itu mengenai penyakit, maka penyakit itu sembuh dengan izin Allah azza wa jalla”.
Imam Ahmad telah meriwayatkan di dalam Musnadnya dari Abdullah bin Mas’ud:
«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً، إِلَّا قَدْ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ»
“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya, itu diketahui oleh orang yang berilmu dan tidak diketahui oleh orang yang tidak punya ilmunya”.
Hadits-hadits ini di dalamnya ada petunjuk bahwa setiap penyakit ada obat yang menyembuhkannya. Hal itu agar menjadi dorongan untuk berupaya berobat yang mengantarkan kepada sembuhnya penyakit itu dengan izin Allah. Dan ini adalah arahan dan bukan wajib.
Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ حَيْثُ خَلَقَ الدَّاءَ، خَلَقَ الدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا»
“Sesungguhnya Allah ketika menciptakan penyakit, Allah ciptakan obatnya, maka berobatlah.“
Abu Dawud telah meriwayatkan dari Usamah bin Syarik, ia berkata: aku datang kepada Rasulullah saw dan para sahabat beliau seolah-olah kepala mereka seperti burung. Lalu aku ucapkan salam lalu aku duduk. Lalu seorang arab baduwi datang dari sini dan situ. Mereka berkata: ya Rasulullah apakah kita berobat? Rasul bersabda:
تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ»
“Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah azza wa jalla tidak menempatkan penyakit kecuali juga Allah tempatkan obat untuknya, kecuali satu penyakit al-harmu”.
Yakni kematian.[]
Oleh: Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
0 Komentar