Masih banyak orang memiliki asumsi bahwa antara Islam dan kekuasaan tak ada hubungan sama sekali. Di antara mereka menduga bahwa Islam hanya seputar aspek ruhani, jauh dari masalah kekuasaan juga politik. Orang-orang seperti ini patut dikasihani, karena sejatinya mereka telah buta fakta terhadap karakter agama Islam itu sendiri.
Banyak ulama telah memaparkan penjelasan yang begitu gamblang untuk meruntuhkan dan menghapus anggapan bathil tersebut. Di antara pendapat tersebut adalah apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah di dalam kitab As-Siyasah asy-Syar’iyyah pada halaman 161:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan amar makruf nahi mungkar atas umat. Kewajiban ini tidak akan sempurna kecuali dengan kekuasaan (quwwah) dan pemimpinan (imarah). Demikian pula seluruh kewajiban yang telah ditetapkan Allah seperti jihad, menegakkan keadailan, melaksanakan ibadah haji, shalat Jumat, penyelenggaraan hari-hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), menolog orang yang dizalimi, menjalankan hudud. Semua ini tidak terwujud sempurna kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan.”
Sedangkan di dalam kitab Majmu’ al-Fatawa, juz 28 halaman 394, Ibnu Taimiyah menyatakan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya perkataan manusia akan rusak.”
Selain itu, masih ada pendapat Imam al-Ghazali di dalam bukunya, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad pada halaman 199, beliau menyatakan: “Sesungguhnya urusan dunia dan keamaan atas jiwa dan harta tidak akan dapat teratur kecuali dengan adanya seorang penguasa yang ditaati. Hal ini telah dibuktikan dengan terjadinya berbagai fitnah (cobaan) pada banyak penguasa dan pemimpin. Jika kondisi ini terus terjadi dan tidak segera disusul dengan pengangkatan penguasa lain yang ditaati, maka kekacauan akan terus melanda, pembunuhan akan merajalela, kelaparan akan meluas, binatang ternah akan banyak yang mati dan berbagai pekerjaan akan terbengkalai. Saat itu, setiap pihak yang menang akan merampas (hak pihak yang kalah). Tidak ada seorang pun yang akan leluasa beribadah dan menuntut ilmu, jika dia tetap hidup. Kebanyakan manusia akan binasa di bawah bayang-bayang pedang.”
Oleh karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah “dua saudara kembar”. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.
Walhasil, orang yang berakal tentu tidak akan merasa ragu (syak) lagi bahwa manusia yang berbeda-beda taraf kehidupannya, beraneka ragam keinginannya, dan bermacam-macam pendapatannya, sekiranya dibiarkan saja mengatur urusannya masing-masing dan tidak mempunyai satu pendapat yang ditaati, yang akan menyatukan perbedaan-perbedaan di antara mereka, niscaya akan rusaklah mereka satu sama lain. Kondisi semacam ini adalah penyakit. Tidak ada lagi obat untuk itu selain dengan adanya seorang penguasa kuat yang ditaati dan mampu menyetukan berbagai perbedaan pendapat.
Jelaslah, kekuatan sangat penting demi menegakkan peraturan dunia dan agama. Peraturan agama sangat penting untuk mencapai kebahagian akhirat yang secara pasti merupakan tujuan para nabi. Atas dasar itu, kewajiban adanya Imam (Khalifah) termasuk perkara yang sangat penting dalam syariat, tidak ada jalan untuk meninggalkannya. Hendaklah ini dicamkan.
Sedangkan di dalam kitab beliau yang lainnya, yaitu kitab Ihya ‘Ulumuddin, Imam al-Ghazali menyatakan: “Sudah diketahui bahwa jika kekuasaan dan kepemimpinan diabaikan, niscaya akan rusaklah urusan agama dan dunia seluruhnya –pembunuhan akan merajalela di tengah-tengah manusia; keamanan akan hilang, negeri-negeri akan hancur, dan penghidupan akan terlantar.”
Hal senada juga diungkapkan oleh Fakhr ar-Razi di dalam bukunya, Mafatih al-Ghayb, pada juz 26 halaman 199, di mana beliau menyatakan: “Pada saat manusia berkumpul pada satu tempat, akan terjadi di antara mereka perselisihan dan persengketaan. Tidak boleh tidak, di tengah-tengah mereka harus ada seseorang yang mampu dan kuat yang akan menyelesaikan persengketaan mereka. Ia adalah penguasa yangakan menerapkan hukumnya atas setiap manusia. Karena itu, terbukti bahwa berbagai kepentingan manusia tidak akan tertib teratur kecuali dengan adanya seorang penguasa yang kuat dan mampu memimpin.”
Disebutkan di dalam Al Qur’an ihwal kewajiban tempat rujukan tatkala terjadi perselisihan di antara manusia, juga perselisihan antara penguasa dengan rakyatnya, agar dikembalikan kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (TQS An Nisa [4]: 59)
Sebuah kaidah syara’ menyatakan:
مَا لَمْ يَتِمُّ الْوَجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَوَاجِبُ
“Suatu kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Maka dari itu menegakkan kekuasaan yang akan menjalankan hukum-hukum yang merujuk kepada Al Qur’an dan as Sunah lebih dulu wajib dilaksanakan. Hal ini tidak akan dapat dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya sebuah jamaah yang mukhlis memperjuangkannya. Sehingga tergabung dalam perjuangan menegakkan aktifitas ini menjadi kewajiban setiap orang yang beriman. Dalam hal ini Allah Ta’ala menyeru kita dalam firman-Nya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (TQS Ali Imran [3]: 104)
Wallahu’alam bishshowaab.[]
Oleh: Qawlan Sadiidaan
0 Komentar