Hegemoni wacana neomodernisme dan postmodernisme yang kini dikendalikan Barat telah menyeret kaum Muslimin di seluruh belahan dunia kepada jebakan epistemologis yang rumit. Barat sangat serius melakukan kajian tentang Islam dalam perspektif dan paradigma mereka. Sebagian besar cendekiawan Muslim telah merasakan hidangan intelektual ini dan menyantapnya dengan lahap. Akibatnya, justru kaum Muslimin masuk dalam jebakan kekacauan intelektual (turbulensi intelektual). Dengan metode hermeneutika, lambat laun pemikiran umat tercerabut dari fundamental Islam itu sendiri. Hasilnya, Islam yang diinginkan Allah dan Rasulullah akan berubah menjadi Islam yang diinginkan Barat.
Hermeneutika sebagai produk neomodernisme Barat telah melahirkan neosinkretisme Islam. Neosinkretisme Islam oleh kalangan kampus sering disebut dengan istilah pemikiran Islam modern. Beberapa “pemikiran Islam modern” yang kini tengah merasuki kaum akademisi dan intelektual muslim adalah istilah-istilah “aneh” sebagai hasil interpretasi epistemologis para sarjana studi Islam. Sebut saja misalnya istilah radikalisme, moderatisme, liberalisme, fundamentalisme bahkan terorisme yang kemudian dikaitkan dengan Islam sebagai nama agama.
Adalah kedunguan epistemologi jika ada orang menyebut istilah Islam radikal, Islam moderat, Islam fundamentalis dan Islam teroris. Sebab Islam adalah nama agama, sementara kata berikutnya adalah istilah Barat. Inilah yang sebenarnya disebut dengan perang istilah (ghozwul fikr) yang tengah dihadapi oleh umat Islam. Isme-isme dinarasikan untuk Islam dalam rangka stigmatisasi Islam agar muncul apa yang disebut Islamophobia.
Istilah-istilah di atas sesungguhnya selain tidak ditemukan jejaknya dalam khasanah sumber hukum Islam, istilah ini juga telah berhasil mengkotak-kotak Islam yang berpotensi menjadi pemicu pecahnya persatuan umat Islam. istilah-istilah ini sengaja dinarasikan Barat untuk mendekonstruksi Islam. ironis, jika ada kaum intelektual Muslim justru terlibat ikut menarasikan istilah-istilah sesat dan menyesatkan ini.
Jika narasi radikalisme di kalangan internal umat Islam dikarenakan perbedaan argumentasi, mungkin masih bisa ditemukan solusinya. Namun, jika perbedaan pendapat sebagai bagain dari proyek ideologis dimana pelakunya mendapatkan seonggok materi dari musuh-musuh Islam, maka hal ini merupakan pengkhianatan. Mungkin inilah yang disinggung oleh Allah tentang menjual agama dengan dunia yang sedikit.
“Islam produk Barat”, mungkin bukan istilah yang tepat dalam menilai perkembangan pemikiran keagamaan ini. Namun, faktanya Barat telah menyebarkan paham-paham aneh yang dikaitkan dengan Islam. Barat yang dimaksud bukanlah letak geografis, melainkan Barat dalam makna pemikiran, ideologi dan peradaban yang sekuleristik dan kapitalistik. Pandangan ini menghendaki Barat harus dikritisi dan bahkan dilawan, karena dianggap sebagai neoimperialisme. Barat, oleh seorang Muslim juga sering dianggap sebagai kiblat kemajuan teknologi dan kecanggihan metodologi penelitian.
Oleh Barat, pandangan pertama diberikan julukan sebagai Muslim fundamentalis atau radikalis yang harus dimusuhi bahkan diberangus karena dianggap mengancam hegemoni Barat. Sedangkan pandangan kedua diberi julukan sebagai Muslim moderat yang harus didukung eksistensinya karena dianggap mendukung dan menguntungkan Barat. Baik kata radikalisme maupun moderatisme, keduanya adalah kesesatan yang dihembuskan Barat untuk merusak Islam.
Mengaitkan Islam dengan radikalisme, atau secara spesifik mengaitkan akidah Islam dengan radikalisme adalah satu kejahatan intelektual yang dihembuskan Barat. Islam sebagai nama agama sudah sangat jelas digambarkan oleh Allah sebagai ajaran sempurna dan menyempurnakan. Rasulullah yang mendapat amanah mengemban risalah ini juga telah dengan indah membawa agama ini menjadi rahmat bagi alam semesta dengan tegaknya peradaban Islam yang cemerlang.
Mengajarkan akidah tentu saja sangat penting, bahkan wajib bagi seluruh umat Islam. Jika akidahnya menyimpang, maka akan jalan di atas jalan kesesatan. Akidah adalah pembeda antara Muslim dan non Muslim. Hanya saja memang, pengajaran akidah harus diarahkan kepada keimanan yang produktif dan konstributif (akidah fikriyah).
Akidah fikriyah adalah pembelajaran akidah yang bukan saja berdampak kepada keyakinan atas rukun iman dan rukun Islam, namun juga menghasilkan gerakan peradaban, sebagaimana telah diwujudkan oleh Rasulullah dengan tegaknya peradaban Islam di Madinah dan dilanjutkan oleh para pemimpin kaum muslimin selanjutnya. Islam sebagai ideologi adalah ajaran yang memancarkan aturan dan sistem syariat untuk mengatur manusia, kehidupan dan alam semesta, sehingga melahirkan kepemimpinan peradaban Islam yang agung.
Adalah narasi yang sangat tendensius, atau bahkan menyesatkan, jika ada orang orang yang mengaitkan akidah Islam dengan radikalisme. Sebab keduanya sama sekali tidak ada hubungannya. Akidah adalah bagian dari ajaran Islam yang hak dan hukumnya wajib, sementara radikalisme adalah istilah yang datang dari terminologi Barat yang batil dan hukumnya haram. Karena itu menyebut frasa Islam radikal sama dengan mencampur aduk antara yang hak dan yang batil. Mengaitkan antara akidah dengan radikalisme adalah kekacauan pemikiran dan karenanya sesat dan menyesatkan.
Allah menegaskan agar umat tidak mencampur aduk antara yang hak dan yang batil. ‘Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui' (QS Al Baqarah: 42). 'Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam' (QS Al Anbiyaa: 107).
Dalam pandangan Islam, peradaban justru wajib ditopang oleh akidah yang kuat. Peradaban Islam tentu sangat berbeda dengan peradaban sekuler. Akidah fikriyah yang melahirkan peradaban Islam ini justru harus diajarkan kepada seluruh umat Islam yang sekolah di bidang agama maupun sains. Jika ditelisik dari akar katanya, maka sebuah negara dikatakan berperadaban adalah negara yang rakyatnya beradab. Sementara masyarakat beradab adalah mereka yang yang memahami hakekat adab, melaksanakan dan menerapkan dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana kata adil, istilah adab berasal dari terminologi Islam. Islam sebagai agama sempurna mengajarkan iman sebelum adab, adab sebelum ilmu dan ilmu sebelum amal. Dengan demikian, adab adalah perilaku yang dilandasi oleh keimanan dan sesuai dengan timbangan hukum syariat.
Adab secara bahasa artinya menerapakan akhlak mulia. Dalam Fathul Bari (10/400), Ibnu Hajar menyebutkanbahwa adab artinya menerapkan segala yang dipuji oleh orang, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Karena pentingnya adab, Ibn Sirin mengatakan bahwa dahulu para ulama mempelajari adab sebagaimana menguasai ilmu.
Masyarakat beradab adalah masyarakat yang memiliki kepribadian mulia yang berakar dari keimanan dan ketakwaan. Maka peradaban adalah sebuah sistem kehidupan yang meliputi seluruh aspek dengan landasan iman dan takwa. Dengan kata lain negara yang berperadaban adalah negara yang berlandaskan syariat Islam.
Meminjam bahasa Sir Muhammad Iqbal, negara yang beradab adalah negara yang peradabannya berdasarkan tauhid. Aspek peradaban seperti ekonomi, politik, pendidikan, budaya, sosial yang berjalan sebagai suatu sistem yang berdiri diatas pondasi tauhid.
Bagi Iqbal, Al-Qur’an adalah sumber peradaban suatu bangsa. Tujuan diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi tentang hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. Suatu bangsa harus mampu membumikan Al-Qur’an dengan nalar dan pemikiran sesuai dengan semangat dan dinamika masyarakat.
Semestinya seorang Muslim melihat Barat dalam sudut pandang Islam yang obyektif, kritis dan syar’i. Barat sebagai ideologi sekuleristik dan imperialistik yang jelas-jelas telah merugikan sebagai besar negeri-negeri muslim jelas harus dilawan. Sementara terkait kemajuan teknologi, masih dalam ranah yang diperbolehkan mengadopsinya. Sebab jika seorang muslim memandang Barat dari sudut pandangan Barat, maka identitas Islam sebagai peradaban dan Muslim sebagai komunitas menjadi kabur. Cara pandang Muslim dan sisi-sisi konseptual peradaban Islam terdistorsi oleh cara pandang ini. Selain hilangnya identitas kemusliman, cara pandang ini tidak memberikan sumbangan terhadap kemajuan Islam itu sendiri.
Karena itu, seorang Muslim mesti berfikir cerdas untuk menyikapi pelabelan istilah-istilah Barat setelah kata Islam. Pelabelan dengan istilah Muslim moderat atau Muslim radikal dimaknai oleh Barat bahwa jika seorang Muslim tidak mendukung Barat, maka akan dicap sebagai Muslim radikal yang harus dimusuhi. Ironisnya, banyak kaum Muslimin yang mengikuti arus ini, sehingga terjadi kondisi kaum Muslimin yang saling mencurigai dan bahkan memusuhi antar sesama Muslim. Pelabelan istilah Barat terhadap kata Islam adalah politik adu domba Barat yang harus disadari oleh seluruh kaum Muslimin di dunia. Ini adalah bentuk nyata dari upaya penyerangan Barat kepada Islam.
Dalam pandangan Al-Qur’an, Islam adalah satu. Agama tauhid yang dibawa oleh Rasulullah. Agama sempurna yang meliputi seluruh ajaran kehidupan manusia. Agama kebenaran dan pelurus agama-agama yang telah tersimpangkan. Pelabelan Islam minimal akan mereduksi makna Islam yang komprehensif, maksimalnya justru akan menghilangkan hakekat Islam itu sendiri.
Allah menegaskan dalam surat Ali Imran: 19, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Menjadi seorang Muslim berarti menjadi manusia sesungguhnya (insan kamil) yang memiliki pola fikir dan pola sikap yang sejalan dengan hukum-hukum Allah. Menjadi seorang Muslim berarti menjadi seorang yang senantiasa menebarkan kebajikan dan mencegah setiap bentuk kezaliman. Menjadi seorang Muslim berarti menjadi seorang yang senantiasa menjalin persatuan dan kesatuan seluruh kaum Muslimin di dunia, tanpa terjebak kepada sekat nasionalisme, sebab Islam adalah jalan hidup untuk seluruh manusia. Rasulullah diutus Allah untuk kebaikan seluruh manusia.
Muslim sejati adalah Muslim kaffah yang berjuang tegaknya supremasi hukum Allah di muka bumi. Sebab Islam adalah agama sekaligus sistem peradaban. Islam dalam perspektif sistem politik, ekonomi, pendidikan, budaya, keamanan, dan kemasyarakatan adalah sistem terbaik yang ada di muka bumi. Penerapan hukum-hukum Islam secara kaffah akan memberikan kebaikan dan kebahagiaan seluruh manusia. “Itulah ayat-ayat Allah. Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar; dan Tiadalah Allah berkehendak untuk Menganiaya hamba-hamba-Nya” (QS Ali Imran: 108)
Jaminan kesejahteraan lahir batin telah ditegaskan oleh Allah melalui janjiNya dalam surat an Nuur: 55, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.”.
Karena itu, Muslim adalah sebuah identitas permanen yang terbentuk dari interaksi dengan sumber hukum Islam yang murni dan holistik. Akan hilang identitas seorang Muslim jika telah terkontaminasi oleh virus-virus pemikiran Barat. Akan hilang juga identitas seorang Muslim jika mengadopsi Islam secara parsial. Identitas kepribadian Islam adalah perwujudan dari Islam yang murni sekaligus menyeluruh. Dalam Al-Qur’an, identitas Muslim sejati diindikasikan dengan keimanan, ketakwaan dan amal shaleh.
Jika suatu negeri telah diisi oleh suatu kaum yang memiliki kepribadian Islam kaffah, maka Allah akan menghadirkan sebuah keberkahan hidup yang tiada tara, “Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS Al A’raf: 96).
Jika demikian, umat Islam tak perlu menjadi moderat jika ingin ingin berbuat baik, santun dan ramah kepada seluruh manusia, meski beda agama. Sebab Islam memang mengajarkan kebaikan dan memiliki pandangan sendiri terkait sikap terhadap orang lain. Umat Islam juga tidak perlu menjadi radikal jika jika ingin bersemangat memperjuangkan Islam, sebab Islam memang harus diperjuangkan dengan cara-cara yang dicontohkan Rasulullah, yakni dakwah hingga tegaknya supremasi dan kedaulatan hukum Allah di tengah-tengah masyarakat.
Sebab istilah moderat atau radikal adalah jebakan Barat untuk memecah persatuan kaum Muslimin. Yang terpenting adalah menjadi seorang Muslim sejati yang kaffah dan terus membendung virus pemikiran Barat yang merugikan kaum Muslimin. Allah telah memilih kaum Muslimin sebagai umat terbaik. Allah telah menurunkan kebaikan untuk seluruh manusia agar kaum Muslimin menjadi saksi atas hal itu. Sementara musuh-musuh Allah akan terus menumbuhkan Islamophobia dengan membuat narasi dan framing jahat atas ajaran Islam, baik akidah, syariat maupun muamalah. Islamophobia akan melumpuhkan Islam dan memecah belah umat Islam.
Perhatikan firman Allah, “Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" mereka menjawab: "(Allah telah menurunkan) kebaikan". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. dan Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan Itulah Sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa”. (QS An Nahl: 30) dan “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS Al Baqarah: 143).
Islam adalah agama yang satu dan umat Islam juga umat yang satu. Islam yang benar adalah Islam Allah dan Rasulullah. Islam tidak perlu mendapatkan label dan sifat yang justru akan mereduksi kesempurnaan Islam itu sendiri. Sementara umat Islam bisa jadi memiliki berbagai perbedaan seiring kapasitas yang dimiliki. Jika terpaksa menggunakan istilah moderat, sematkan kepada muslimnya bukan Islamnya. Meski sejak awal telah disebutkan bahwa istilah moderat bukan berasal dari khasanah epistemologi Islam, melainkan dari Barat. Fakta yang tidak terelakkan adalah bahwa dengan berbagai label Barat ini, kaum muslimin semakin terpolarisasi menjadi berbagai kelompok yang saling bertentangan dan terpecah. Semestinya hal ini disadari oleh para cendekiawan Muslim di Indonesia.
Usaha bijak dan pengorbanan yang cerdas dari para cendekiawan Muslim, pertama kali harus diorientasikan untuk membangun masyarakat yang baik. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang dibangun berdasarkan manhaj Allah. Ketika masyarakat telah mengalami kerusakan total, ketika jahiliyah telah merajalela, ketika masyarakat dibangun dengan selain manhaj Allah dan ketika bukan syariat Allah yang dijadikan asas kehidupan, maka usaha-usaha yang bersifat parsial tidak akan ada artinya. Ketika itu usaha harus dimulai dari asas dan tumbuh dari akar, dimana seluruh energi dan jihad dikerahkan untuk mengukuhkan kekuasaan Allah di muka bumi. Jika kekuasaan ini telah tegak dan kuat, maka amar ma’ruf dan nahi munkar akan tertanam sampai ke akar-akarnya.
Dakwah ini memerlukan keimanan dan pemahaman tentang realitas sebagai hakekat keimanan dan wilayahnya dalam sistem kehidupan. Keimanan dan tataran inilah yang akan menjadikan kebergantungan secara total kepada Allah, serta keyakinan bulat akan pertolonganNya kepada kebaikan serta perhitungan akan pahala di sisiNya, sekalipun jalannya sangat jauh. Orang yang bangkit untuk memikul tanggungjawab ini tidak akan menunggu imbalan di dunia, atau penilaian dari orang lain lain (baca: Barat). Jangan menuruti mereka, meski jumlahnya sangat banyak.
Perhatikan firman Allah, “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta terhadap Allah." (QS. Al An’am: 116).[]
Kota Hujan, 04/07/21 : 11.10 WIB
Oleh: Dr. Ahmad Sastra
0 Komentar