Bupati Tapin HM Arifin Arpan dan dihadiri Kepala Dinas Kesehatan Tapin, Alfian Yusuf, Direktur RSUD Datu Sanggul, dr. Milhan, Dinas Ketahanan Pangan, Sekretaris Dinas Pertanian serta jajaran tenaga kesehatan Kabupaten Tapin, Membuka Rapat terbuka Monitoring dan evaluasi aksi satu sampai lima sekaligus sosialisasi sistem formasi basis data dan monev konvergensi penurunan stunting tahun 2021 bertempat di Aula Bappeda Tapin, Rabu (24/03/2021).
Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) berdasarkan hasil riset kesehatan dasar pada 2018 berada di urutan keempat kasus tertinggi stunting di Kalsel. Hal itu dikatakan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tapin, H Alfian Yusuf menanggapi tingginya kasus stunting atau anak cebol di Kabupaten Tapin. Bupati mengatakan sejak awal sudah dilakukan penambahan gizi bagi warga masarakyat baik yang hamil maupun yang sudah melahirkan agar kebutuhan gizi bayi terus meningkat.
Di Indonesia Oktober 2020 lalu Menteri Koordinator PMK Muhadjir Effendi, menyampaikan capaian pembangunan manusia dan kebudayaan, terutama dalam permasalahan stunting, sebagai salah satu program prioritas nasional. Menurutnya, permasalahan stunting menjadi penting mengingat hal tersebut berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan hasil riset yang mengungkapkan sebesar 54 persen angkatan kerja tidak maksimal karena pada 1000 kelahiran pertama pernah mengalami masalah stunting. Karena itu, pemerintah menargetkan penurunan stunting dari 27,7 persen menjadi 14 persen (merdeka.com, 31/10/2020).
Anggota Komisi IX DPR, Netty Prasetiyani Aher menyatakan, pemerintah harus mengevaluasi pembangunan keluarga. Karena di situlah hulu perkara yang harus diatasi, demi bisa mencetak SDM unggul agar stunting tak terus menerus menghantui calon generasi bangsa. Netty merinci riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan Tahun 2019 mencatat sebanyak 6,3 juta balita dari populasi 23 juta atau 27,7 persen balita di Indonesia menderita stunting. Jumlah tersebut masih jauh dari nilai standard WHO yang seharusnya di bawah 20 persen. Sebab itu dia meminta agar pemerintah memberikan otoritas yang lebih besar pada BKKBN untuk menjadi leading sector pengentasan stunting. Menurut Netty, BKKBN harus diberi wewenang yang lebih luas dalam membangun keluarga Indonesia yang berketahanan, yang mampu atasi dan cegah stunting sejak dini.
Masih terkait hal ini, Menko PMK telah menyebutkan pemerintah sedang mempersiapkan satu badan khusus yang menangani persoalan stunting di tanah air. Harapannya agar hasilnya lebih maksimal. Pasalnya, permasalahan stunting selama ini ditangani 21 lembaga pemerintah. Pemerintah menilai tingginya angka stunting di Indonesia ini semata-mata bukan karena persoalan ketidakmampuan masyarakat dalam memberikan makanan ataupun asupan gizi yang baik bagi anak-anaknya. Tapi lebih karena persoalan perilaku masyarakat yang kurang memperhatikan pola asupan gizi anak. Benarkah demikian?
Kita lihat bagaimana kesenjangan ekonomi yang tinggi antara si kaya dan si miskin juga. Belum lagi beragam kebijakan impor pangan berikut masuknya korporasi pangan asing, ternyata masih belum cukup mendeskripsikan niat baik pemerintah untuk mengatasi ketersediaan dan aksesibilitas pangan. Alih-alih mengatasi stunting, jelas masih jauh dari kata layak.
Faktanya dalam sistem demokrasi saat ini lebih condong pada pertumbuhan ekonomi, daripada pengurusan hajat hidup rakyat secara manusiawi. Ini juga fakta yang tak bisa dihindari. Kenapa demikian? Sebab sistem demokrasi lahir dari ideologi kapitalisme yang lebih melihat dari sisi keuntungan semata, hingga kebijakan yang dihasilkannya sering kali mengabaikan hajat hidup orang banyak, bahkan mempertaruhkan kualitas generasi.
Padahal, mandat untuk mengatasi stunting yang digali dari UU Pembangunan Keluarga (UU Nomor 52 Tahu 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga), kualitas penduduk adalah kondisi penduduk dalam aspek fisik dan non fisik yang meliputi derajat kesehatan, pendidikan, pekerjaan, produktivitas, tingkat sosial, ketahanan, kemandirian, kecerdasan, sebagai ukuran dasar untuk mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang bertakwa, berbudaya, berkepribadian, berkebangsaan dan hidup layak. Namun semua mandat itu hanya akan ada di atas kertas jika sistem pelaksananya dikuasai motif kapitalistik. Sebagai UU produk manusia, “niat baik” yang coba disuguhkan dalam UU ini pasti akan bertabrakan dengan berbagai kepentingan manusia yang lain. Yang diharuskan “mengalah” ketika bertanding dengan sistem ekonomi, selaku jargon utama ideologi kapitalisme.
Jadi problem utama di negeri ini sejatinya tak semata pada minimalisnya penanganan stunting. Justru tegaknya sistem demokrasi sebagai sistem penegak kehidupan itulah yang meniscayakan beragam kepentingan, hingga stunting tak dapat dihindari. Tidak hanya itu, negara juga harus memberikan jaminan dan perlindungan agar keluarga Indonesia mampu tumbuh kembang secara optimal. Termasuk dalam hal akses terhadap asupan tinggi gizi dan pelayanan kesehatan, sehingga memiliki ketahanan dalam menghadapi kerentanan. Karena bagaimana pun, ketahanan keluarga menjadi faktor utama terwujudnya ketahanan nasional.
Butuh Solusi Mendasar dan Menyeluruh
Kompleksitas penyebab kasus stunting di daerah tidak mungkin diselesaikan secara parsial. Solusi kasus ini butuh penanganan menyeluruh dan mendasar, mengingat kasus ini mencerminkan kemampuan negara menjamin kesejahteraan dan membangun kesadaran masyarakat secara orang per orang.
Masyarakat di mana pun, tentu bukan tak ingin mengonsumsi makanan bergizi. Tetapi kemampuan ekonomi mayoritas mereka memang tak memadai dan kesenjangan sosial begitu tinggi. Karenanya, pemerintah perlu melakukan koreksi mendasar terkait kebijakan hingga sistem ekonomi hari ini yang nyatanya sangat diskriminatif karena pro kepentingan modal. Sekaligus mengoreksi sistem pemerintahan yang memghambat distribusi kekayaan karena sekat-sekat kedaerahan.
Penanganan stunting yang hanya fokus pada program-program intervensi gizi dan penyuluhan yang cenderung artifisial, tentu tak akan pernah menyelesaikan persoalan karena tak menyentuh problem utamanya. Masyarakat sebetulnya hanya butuh akses yang besar terhadap faktor-faktor ekonomi berikut peningkatan taraf berpikir melalui kebijakan pendidikan dan pembangunan lain yang berkeadilan. Semuanya terkait paradigma politik yang diadopsi para pemangku kebijakan.
Dengan begitu, masyarakat bisa memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan modal menyejahterakan diri dan keluarganya, dengan skill dan daya beli yang tinggi, serta ditunjang pemahaman terkait urgensi mengupayakan hidup berkualitas demi perbaikan generasi di masa depan.
Mekanisme Negara Khilafah dalam Mengatasi Stunting
Dalam sistem Islam, negara akan sepenuhnya memperhatikan kebutuhan dasar per individu. Beberapa hal yang akan dilakukan di antaranya:
Pertama, negara memenuhi kebutuhan pangan dan nutrisi masyarakat individu per individu.
Kedua, negara juga tidak mendominasikan ketersediaan pangan semata-mata pada impor. Sebaliknya, negara akan fokus pada peningkatan produksi pertanian dan pangan, berikut segala riset dan jaminan kelancaran seluruh proses pengadaannya.
Ketiga, negara juga memiliki akurasi data untuk ketersediaan dan distribusi pangan agar tepat sasaran.
Keempat, negara memberikan jaminan ketahanan dan pembangunan keluarga yang berlandaskan akidah Islam, agar keluarga mampu menjadi pilar peradaban.
Kelima, negara juga akan menjamin keberlangsungan pendidikan generasi, agar di samping menjadi generasi Muslim kuat dan sehat, mereka juga terjaga dalam keimanan dan ketakwaan.
Begitulah negara Khilafah benar-benar menunaikan mandatnya selaku khadimul ummah (pelayan umat) dengan melaksanakan sabda Rasulullah Saw., “Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR Bukhari).
Dengan demikian, tidak ada jalan lain bagi penyelesaian persoalan kasus ini, terlebih saat pandemi dengan berbagai persoalan yang menyertainya, kecuali dengan kembali pada pangkuan kehidupan Islam. Wallahu a'lam bishshawab.[]
Oleh: Nur Fadilah, SE
(Pemerhati Pendidikan dan Generasi)
0 Komentar