Liberalisasi ekonomi ditandai dengan dominasi swasta dalam pengelolaan kebutuhan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Dalam pengaturan sebuah negara, liberalisasi ekonomi dapat dilihat dari adanya upaya pengalihan kepemilikan dari domain publik menjadi milik swasta.
Paryono (2018) menyebutkan bahwa liberalisasi bidang energi kelistrikan di Indonesia dimulai pada tahun 2000-an. Tahun 1990-an banyak berdiri IPP (Independence Power Producer) dengan kesepakatan korup memaksa PLN (Perusahaan Listrik Negara) untuk membeli listrik dengan harga berlipat.
Tahun 2002, pemerintah mengeluarkan UU No. 20 yang menggantikan UU No. 15 tahun 1985. Undang-undang tersebut menunjukkan i'tikad pemerintah untuk memprivatisasi sektor kelistrikan. Hal ini ditunjukkan adanya pasal yang melepas harga listrik sesuai mekanisme pasar. Hanya saja, pada tahun 2003-2004 sekelompok masyarakat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Setelah UU No. 20 tahun 2002 dibatalkan oleh MK, pada 2009 pemerintah menyusun UU baru yang mengatur ketenagalistrikan. UU No. 30 tahun 2009 yang menggantikan UU ketenagalistrikan sebelumnya, memang menyebutkan bahwa penyediaan listrik dilakukan oleh negara. Hanya saja, badan swasta atau asing tetap bisa berperan sebagai pihak penyedia energi listrik.
Kran liberalisasi energi listrik semakin deras ketika UU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan dan dinyatakan berlaku sejak 02 November 2020. Sebab, UU No. 11 tahun 2020 pada subklaster ketenagalistrikan ini, memberikan berbagai kemudahan investasi bagi investor swasta dalam negeri maupun asing dalam bidang energi listrik. Selain itu, UU Ciptaker ini juga akan menyebabkan naiknya harga listrik di tingkat konsumen karena adanya keterlibatan swasta dalam pemenuhan hajat hidup orang banyak ini.
Derasnya kran liberalisasi bidang energi listrik ini, sebenarnya sudah sangat parah ketika pemerintah mencanangkan pembangunan infrastuktur pembangkit listrik 35.000 Mega Watt (MW) pada 2015 lalu. Paryono (2018) menjelaskan bahwa dalam proyek infrastruktur ini, sebagian besarnya merupakan kepemilikan swasta dan hanya sebagian kecil milik PLN.
Pada 2017, surplus energi listrik sudah terjadi sejak pembangunan mega proyek pembangkit listrik 35.000 MW ini pada 2015. Berbagai pihak mendorong pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan pembagunan infrastruktur pembangkit listrik 35.000 MW tersebut. Hanya saja, pemerintah bergeming. Pemerintah tetap melanjutkan mega proyek tersebut sebagaimana skema yang telah ditetapkan.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebut Indonesia bakal kelebihan pasokan listrik hingga 50 persen jika mega proyek 35.000 MW rampung (kumparan.com, 19/01/2021). Proyeksi ini, tentu akan semakin memberatkan PLN. Sebab, skema PPA (Power Purchase Agreement) yang berlangsung selama ini cenderung menguntungkan pihak swasta. Terlebih, PLN akan tetap membayar energi listrik yang tidak terjual kepada pihak investor swasta sesuai ketentuan PPA yang disepakati.
Tak heran, saat ini pemerintah meluncurkan berbagai program agar energi listrik terserap secara optimal hingga 100%. Misalnya, program konversi 1 juta kompor gas ke kompor listrik, program mobil listrik, program electrifying agriculture, hingga kebijakan menaikkan harga listrik secara bertahap.
Untuk menyukseskan program konversi 1 juta kompor gas ke kompor listrik, pemerintah pun melakukan segala upaya. Pemerintah telah menandatangani MoU dengan 3 vendor produsen kompor listrik. Selain itu, pemerintah juga melakukan kerjasama dengan BTN (Bank Tabungan Negara) dan berbagai asosiasi perumahan untuk menyasar perumahan-perumahan yang akan dibangun.
Program konversi ke kompor listrik ini ibarat pepatah yang mengatakan bahwa sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Di satu sisi, kebijakan ini akan mampu menyerap surplus energi listrik selama ini. Di sisi yang lain, kebijakan ini akan memangkas subsidi listrik untuk golongan pelanggan daya 450VA dan 900VA. Pasalnya, penggunaan satu tungku kompor listrik membutuhkan daya sekitar 800 watt hingga 1000 watt. Oleh karena itu, dengan kebijakan konversi ke kompor listrik ini, pelanggan daya yang selama ini mendapat subsidi dari APBN, akan beralih menjadi pelanggan daya 1300VA ke atas yang tidak mendapat subsidi dari negara.
Kebijakan yang berhubungan dengan penyerapan energi listrik ini terus diupayakan oleh pemerintah agar APBN semakin tidak terbebani untuk membayar harga jual listrik kepada swasta. Dengan mekanisme demikian, pemerintah telah mengalihkan beban pembiayaan surplus energi listrik dari APBN ke pundak rakyat.
Berbagai kebijakan penyerapan energi listrik ini juga menunjukkan lemahnya posisi tawar negara di hadapan swasta. Pemerintah seakan-akan tunduk terhadap berbagai MoU yang merugikan negara. Padahal, pemerintah seharusnya mengambil keputusan yang akan menciptakan kemandirian energi listrik. Bukan keputusan yang justru meletakkan pemenuhan hajat hidup orang banyak berupa energi listrik di tangan swasta. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Lilik Mutrofin, M.Pd.
(Komunitas Pena Ideologis Mojokerto)
0 Komentar