Ibarat gorengan, berita tentang terorisme terlalu gurih untuk dilewatkan. Sayang bila tak disantap. Apalagi dengan skenario bom bunuh diri, ada satu hal yang akan terus berulang. Berbagai spekulasi dan klaim bisa meliar tanpa bisa lagi diklarifikasi. Pasalnya, para terduga pelaku terorisme telah berpindah alam. Begitu pula dalam skenario ditembakmatinya para terduga, maka narasi sepihak demikian leluasa menggelinding bak bola liar.
Tak hanya pihak keamanan yang sibuk memaparkan reka ulang dan penjelasan seputar modus dan motif pelaku. Merespon insiden ini, banyak pihak turut memberikan analisis dan solusi. Tak terkecuali kalangan feminis di negeri ini. Dalam diskusi daring dengan Kalyanamitra akhir Maret lalu, Musdah Mulia merisaukan makin meningkatnya keterlibatan perempuan dalam radikalisme dan aksi-aksi terorisme belakangan ini. Karena itu, penting untuk mengubah arah keterlibatan perempuan menuju upaya membangun pendidikan yang mengedepankan nilai perdamaian dan toleransi (voaindonesia.com, 1/4/2021). Di samping itu, penting adanya reformasi kebijakan terhadap hukum yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan, disertai reinterpretasi ajaran agama agar kondusif dan kompatibel terhadap nilai kemanusiaan.
Tak ketinggalan, Myra Diarsi dalam kesempatan yang sama, menegaskan bahwa feminisme bukan saja cara berpikir, namun sekaligus menjadi cara melawan yang tepat untuk mengalahkan fundamentalisme dan radikalisme. Akan tetapi, karena berbagai analisis dan solusi tersebut dalam kerangka subyektivitas dan narasi sepihak tadi, munculnya kecurigaan adanya sebagian pihak yang turut memancing di air keruh, sulit dihindari.
Bila dicermati, akan mudah kita temukan adanya pengarusan sikap yang sama, dalam merespon apa yang disebut dengan aksi terorisme. Paham keagamaan (baca: Islam) yang "ekstrim" dituding sebagai pemicu segala praktek intoleransi termasuk aksi terorisme. Solusi andalannya sama, moderasi agama (moderasi Islam). Dalam lingkup perempuan, seruan moderasi itu tampak dalam upaya menolak sebagian syariat yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan dan tak sejalan dengan semangat toleransi.
Apresiasi Musdah Mulia terhadap SKB tiga menteri tentang seragam sekolah yang diterbitkan setelah adanya rekayasa kegaduhan jilbab Padang, mengindikasikan hal tersebut. Demikian pula apa yang ditawarkannya sebagai "rekonstruksi budaya" dalam skala keluarga untuk terbangunnya nilai toleransi, tentu toleransi dalam interpretasinya yang condong pada pluralisme.
Padahal mudah dipahami, ujung dari semua itu adalah terurainya keterikatan seorang Muslim dari akidah dan syariat Islam, seutas demi seutas. Atas nama toleransi dan menghargai perbedaan, pemberlakuan aturan busana Muslimah ditolak di lembaga pendidikan dan ruang-ruang publik. Untuk mencegah "radikalisme" dan ekstremisme, tak boleh ada "klaim kebenaran" oleh satu agama. Itu berarti seorang Muslim tak boleh meyakini apa yang dituntun oleh agamanya dan harus menyamabenarkan semua agama, nilai dan hukum di luar Islam.
Demi mewujudkan keluarga yang toleran, perempuan sebagai ibu diharapkan merekonstruksi budaya dalam keluarga. Adakah rekonstruksi budaya itu diarahkan untuk memperkuat keislaman para anggota keluarga, jika nilai utama yang diaruskan adalah toleransi yang kebablasan? Alih-alih mendorong ibu untuk mencetak anaknya menjadi Muslim yang taat, yang ada justru si ibu dituding mengajarkan nilai radikal kepada anak-anaknya. Ironis, misi mulia seorang ibu, justru dikriminalisasi.
Para Muslimah yang aktif mendakwahkan Islam dicap sebagai orang-orang yang arogan dan memaksakan interpretasi agamanya kepada orang lain, dan tak memberi ruang perbedaan. Menurut rambu-rambu moderasi, yang diserukan bukan lagi Islam apa adanya, namun nilai kemanusiaan dan persepsi keagamaan yang mereka anggap sejalan.
Bila sudah demikian, keberislaman akan terpenjara dalam ruang-ruang privat, itupun pada kondisi yang akan terus diserang pelaksanaannya. Lihatlah bagaimana kapitalisme menganggap murah peran ibu hanya karena tidak menghasilkan materi. Begitu pula feminisme yang terus menerus menyerang posisi dan pengaturan wanita dalam Islam, sebagai bentuk penindasan dan diskriminasi.
Di sisi lain, penerapan kapitalisme yang nyata-nyata melahirkan kezaliman, mempermainkan keadilan, justru tak disoal. Padahal inilah induk semua kejahatan dan penyimpangan terhadap fitrah perempuan. Peluang bangkitnya ekstremisme dan tindakan teror yang mungkin melibatkan perempuan, malah kian besar, dalam tatanan semacam ini.
Sementara itu, solusi yang diambil berupa moderasi Islam, bukan sekedar jauh panggang dari api. Melainkan ibarat menuangkan bensin dalam kobaran api. Tindakan teror tak terhenti. Di satu sisi, Islam makin ditinggalkan sebagai sumber solusi. Jadi, benarkah feminisme dalam agenda moderasi, akan mencegah aksi terorisme? Apakah jangan-jangan feminisme itulah pelaku teror yang keji?
Demikianlah, tak selayaknya Muslim sejati bisa disesatkan oleh solusi palsu terorisme ala feminis. Umat membutuhkan pencerahan terus menerus untuk mampu menemukan mutiara solusi dari Islam. Allahu a'lam.[]
Oleh: Riani Kurniawati
0 Komentar