Sebagaimana diberitakan oleh iNews.id - tanggal 10 April 2021, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin mengapresiasi pencopotan pejabat PT Pelni yang menggelar kajian Ramadan tanpa seizin atasan. Sebab menurutnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus bersih dari ajaran radikalisme dan dari orang-orang yang menyebarkan ajaran dan paham-paham radikal di karyawan-karyawan BUMN.
Berdasarkan flyer yang diperoleh MNC Portal Indonesia, kajian yang menjadi permasalahan itu mengundang beberapa alim ulama ternama. Di antaranya, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH M Cholil Nafis, Ustad Syafiq Riza Basalamah, serta Ustad Firanda Andirja. Kajian daring itu rencananya akan digelar oleh Badan Kerohanian Islam (Bakis) PT Pelni.
Atas pembatalan kegiatan dan pencopotan pejabat PT Pelni hanya karena flyer kajian yang akan diisi oleh ulama yang dituduh radikal tersebut, tak sedikit pihak yang mengecam keputusan Komisaris Independen PT Pelni, Dede Budhyarto. Namun, berdasarkan informasi terakhir diketahui bahwa Komisaris Independen PT Pelni (Persero), Dede Budhyarto, menyampaikan permintaan maaf usai keributan yang sempat terjadi terkait dengan pembatalan acara kajian dan dakwah Ramadan. Komisaris Independen PT Pelni itu menegaskan bahwa acara pengajian tersebut tidak dibatalkan, pihaknya membatalkan isi dari flyer yang sebelumnya memuat beberapa ulama sebagai pengisi acara.
Kini isu radikalisme semakin menguat di tengah umat Islam melaksanakan ibadah puasa. Hal ini bermula dari adanya himbauan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengeluarkan Surat Edaran yang melarang lembaga penyiaran, baik televisi maupun radio, menampilkan pendakwah dari organisasi terlarang. Aturan itu dituangkan dalam Surat Edaran KPI Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadan.
Dalam poin 6 huruf d surat edaran itu, KPI menekankan pendakwah yang ditampilkan harus sesuai standar Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain itu, KPI menekankan para pendakwah yang diundang harus menjunjung Pancasila. Kemana lagi arah surat edaran tersebut kalau bukan pada isu radikalisme karena pemerintah memang sedang gencar melakukan kegiatan war on radicalisme dengan berbagai dalil dan dalih. Dan kemana lagi sasaran itu kalau bukan ke arah sebagian umat Islam?
Pertanyaan saya adalah siapa sesungguhnya yang terpapar radikalisme itu? Mengapa seorang muslim yang taat pada agamanya dan dijamin oleh konstitusi dalam menjalankan agamanya itu justru dituding terpapar radikalisme? Sementara soal radikalisme ini lebih cenderung pada nomenklatur politik dibandingkan hukum.
Saya berpendapat bahwa istilah radikalisme tidak dikenal dalam nomenklatur hukum bahkan tidak ada definisi bakunya. Radikalisme lebih terkesan lebih menampakkan diri sebagai alat politik yang diterapkan untuk menghakimi lawan politik dengan tudingan sepihak oleh pihak yang memiliki otoritas.
Pada UU No. 5 tahun 2018 tentang perubahan UU terorisme, hanya mengatur tentang tindakan pencegahan terorisme dengan dua pendekatan : deradikalisasi dan kontra Radikalisasi (Pasal 43A ayat 3). Dan secara hukum berarti istilah radikalisme itu sendiri belum terdefinisikan secara jelas dan lengkap. Keadaan yang berbeda kita bandingkan dengan istilah terorisme yang telah memiliki definisi baku. Di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU No. 5 tahun 2018 dijelaskan bahwa :
"Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan".
Ketika definisi secara hukum masih kabur (obscure), maka nomenklatur radikalisme menjadi sangat seksi untuk dimanfaatkan sebagai alat rekayasa penyelamatan kepentingan atau kekuasaan (as a tool of interest engineering) dan cenderung sebagai alat gebuk untuk pihak-pihak yg berseberangan dengan penguasa itu. Diam saja bisa dianggap terpapar radikalime apalagi bangkit dengan anggit nalar dan perilaku kritis. Istilah "terpapar" juga istilah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Istilah ini lentur bak amoeba yang bentuknya mengikuti selera wadahnya. Ngaret, lentur bahkan cair tapi mematikan. Lalu di mana prinsip kepastisn hukum (lex scripta, lex certa dan lex stricta) yang diagung-agung para pengkaji dan penerap hukum itu. Cukup memprihatinkan keadaan seperti ini.
Di tengah ketidakpastian itu muncul definisi dan indikasi terhadap orang atau kelompok orang yg terpapar radikalisme. BNPT tahun 2016---kalau tidak salah---mendefinisikan radikalisme sebagai berikut:
"Sikap yang menginginkan perubahan total dan revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis melalui kekerasan (violence) dan aksi yang ekstrim". Dua persyaratan tindakan yg mengikuti sikap itu harus kita perhatikan dari sisi hukum. Sikap saja tidak bisa dilabeli radikalisme ketika tidak diikuti oleh tindakan kekerasan dan aksi ekstrim. Ini yang kita sebut definisi nominal dan hukum dari nomenklatur radikalisme itu. Bila nomenklatur radikalisme itu dimaknai sesuai dengan selera lokal institusi, maka yg terjadi adalah persekusi terhadap para anggota komunitas lokal itu dengan dalil kewenangan mengeksekusi keputusan sepihak, mulai dari penjatuhan sanksi ringan hingga sanksi berat. Bila anggota tidak terima atas keputusan itu, pejabat penguasa ini biasanya mempersilahkan menggugat di PTUN. Ini saya sebut vandalisme, antem dulu urusan belakangan.
Benarkah jika komisaris dan pimpinan BUMN-BUMN akan begitu saja mendukung semua tindakan pemerintah yang belum jelas ditinjau dari sisi hukumnya tanpa reserve, tanpa menyortir kebenarannya, khususnya tentang isu radikalisme ini? Sementara di sisi lain kita tahu bagaimana kinerja BUMN yang patut diduga banyak tersandung soal defisit anggaran dan korupsi. Buat apa para petinggi BUMN bicara soal radikal radikul tetapi terkesan membiarkan tubuh BUMN keropos. Apakah betul radikalisme itu yang menyebabkan buruk dan "dying"-nya BUMN sehingga secara semesta menjadikan radikalisme yang jenis kelaminnya tidak jelas itu sebagai "common enemy" BUMN? Lalu, apakah kita mau terus meneguhkan propaganda radikalisme menjadi momok usang BUMN ataukah lebih baik kita mencari "tabib" untuk menyembuhkan sakit kronis yang diderita BUMN?
Jika kita sadar bahwa bangsa di negeri ini berbhinneka, beragam SARA dan konstitusi menjamin keyakinan agama dan kepercayaan pendududuknya, mestinya pemerintah tetap wajib menghormati keyakinan dan pelaksanaan keyakinan tersebut tanpa tuduhan radikal radikul. Di sinilah pentingnya mendudukkan radikalisme secara jelas jenis kelaminnya. Sebagai negara hukum maka nomenklatur hukum harus lebih diutamakan dari pada nomenklatur politik yang seringkali hanya didasarkan pada kemauan rezim penguasa. Yang jelas, radikalisme bukan terorisme yang telah jelas sebagai delik "extraordinary crime". Radikalisme bukan problem utama negeri ini, melainkan ketimpangan sosial. Dapat pula dikatakan bahwa problem utama BUMN bukanlah radikalisme melainkan patut diduga adalah korupsi yang juga disebut sebagai extraordinary crime. Tabik.! []
Semarang, 13 April 2021
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum
(Pakar Hukum dan Masyarakat)
0 Komentar