Soal:
Pertama. Ada yang mengatakan, bahwa pembayaran fidyah bagi wanita yang hamil dan menyusui dan tidak sanggup berpuasa tidak ada dalilnya?
Kedua. Berapa besaran fidyah yang paling kuat, karena ada perbedan antara mazhab Maliki dan Syafii, dengan Hanafi dan Hanbali?
Jawab:
Mengenai pertanyaan pertama, tentang tidak adanya dalil dalam pembayaran fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak sanggup berpuasa, maka jawabannya sebagai berikut:
Pertama. Pendapat yang mengatakan, bahwa wanita hamil dan menyusui yang tidak sanggup berpuasa, baik karena fisiknya lemah atau karena advise dokter, harus mengganti puasanya, apakah dengan mengqadha’ puasa yang ditinggalkan di hari lain, tanpa membayar fidyah sebagaimana pendapat Jumhur, atau membayar fidyah saja tanpa harus mengqadha’ di hari lain, sebagaimana pendapat Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Umar dan atau mengqadha’ dan membayar fidyah, sebagaimana pendapat Imam Syafii dan Ahmad, semuanya ini merupakan hukum syara’ bagi masing-masing Mujtahid.
Kedua. Setiap hukum syara’ yang dihasilkan Mujtahid, baik di kalangan sahabat maupun yang lain, pasti didasarkan pada dalil. Karena itu, kalau ada yang mengatakan, bahwa pandangan tentang pembayaran fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak sanggup berpuasa itu tidak ada dalilnya jelas keliru.
Ketiga. Mengenai dalil masing-masing, bisa dirunut sebagai berikut:
Pendapat pertama, yaitu pendapat Jumhur. Dasarnya adalah keumuman nash al-Qur’an yang mengatakan:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ [البقرة: 184]
“Pada hari-hari tertentu. Siapa saja di antara kalian yang sakit, atau bepergian, maka dia harus mengganti pada hari lain.” [Q.S. al-Baqarah: 184]
Menurut mereka, wanita hamil dan menyusui itu statusnya sama dengan orang sakit, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas, yang masih ada harapan sembuh, sehingga wajib mengqadha’ puasanya sebanyak hari yang ditinggalkan. Pendapat kedua, pendapat Ibn ‘Abbas dan Ibn ‘Umar. Dasarnya, firman Allah SWT:
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةُ طَعَامِ مِسْكِيْن [البقرة: 184]
“Bagi orang-orang yang tidak sanggup berpuasa, maka dia harus membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin.” [Q.S. al-Baqarah: 184]
Keduanya [wanita hamil dan menyusui], menurut Ibn ‘Abbas dan Ibn ‘Umar, termasuk di dalam katagori orang yang tidak sanggup berpuasa. Karena itu, keduanya tidak wajib mengqadha’, dan hanya wajib membayar fidyah saja [Hr. Abu Dawud].
Pendapat ketiga, adalah pendapat Imam Syafii dan Ahmad. Pendapat yang terakhir ini lebih hati-hati, dan menggabungkan dua pendapat sebelumnya. Dalilnya juga sama, yaitu ayat-ayat yang menjadi dalil kedua pendapat di atas.
Keempat. Sebagai catatan, memang tidak semua nash yang dijadikan dalil oleh para fuqaha’ itu harus menyatakan, misalnya al-hamil wa al-murdhi’ [wanita yang hamil dan menyusui]. Meski, nash yang menyatakan lafadz seperti ini juga adalah dalam hadits riwayat an-Nasa’i dan at-Tirmidzi, yang dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi.
Sekalipun dalam hadits tersebut maknanya juga masih umum. Karena, nashnya hanya menyatakan:
إن الله وضع عن المسافر شطر الصلاة وعن الحامل والمرضع الصوم - أو - الصيام [رواه النسائي والترمذي]
“Sesungguhnya Allah telah menggugurkan dari orang yang bepergian separo dari shalatnya, dan dari orang yang hamil dan menyusui [kewajiban] berpuasa.” [Hr. an-Nasa’i dan at-Tirmidzi]
Kelima. Jadi, kesimpulannya, bahwa pendapat fuqaha’ tentang pembayaran fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak sanggup berpuasa jelas ada dalilnya. Karena itu, pendapat yang mengatakan, bahwa pendapat ini tidak ada dalilnya jelas keliru, dan seolah menuduh sahabat Ibn ‘Abbas dan Ibn ‘Umar ngawur. Na’udzubillah.
Mengenai pertanyaan kedua, tentang standar fidyah yang berbeda, antara mazhab Maliki dan Syafii di satu sisi yang menyatakan, bahwa fidyah yang wajib dibayar tiap hari adalah 1 Mud, sedangkan mazhab Hanafi menyatakan 1 Sha’, kecuali gandum yang hanya dibayar ½ Sha’, dan mazhab Hambali yang menyatakan ½ Sha’, kecuali gandum yang harus dibayar 1 Mud, ini juga merupakan hukum syara’ bagi masing-masing.
Untuk menjelaskan hal ini, jawabannya sebagai berikut:
Pertama. Secara umum, perbedaan tersebut dikembalikan kepada perhitungan masing-masing Mujtahid dalam memahami nash, fidyatu tha’ami miskin [membayar fidyah dengan memberi makan satu orang miskin], dalam Q.s. al-Baqarah: 184. Nash ini tidak memberi batasan, berapa besarnya. Karena tidak diberi batasan berapa besarnya, maka besarnya dikembalikan kepada standar masyarakat setempat. Dari sinilah, perbedaan tersebut kemudian muncul.
Kedua. Mengenai 1 Mud itu sendiri, jika dikonversi ke dalam timbangan gram, sama dengan 544 gram. Sedangkan 1 Sha’ sama dengan 4 Mud, atau 2,176 gram [baca: 2,1 kg], dan ½ Sha’ sama dengan 1,008 gram [1,0 kg].
Ketiga. Lalu, mana di antara kedua pendapat tersebut yang paling kuat?
Menurut Thawus, Ibn Jubair, al-Auza’i, an-Nawawi dan yang lain, yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat Imam Malik dan Imam Syafii. Berarti, setiap hari yang ditinggalkan, wajib dibayar 1 Mud.
Keempat. Hanya saja, waktu pembayarannya tidak boleh dilakukan di awal Ramadhan, tetapi setelahnya. Karena statusnya mengganti. Mengganti tidak boleh mendahului hukum asal kewajibannya, kecuali setelah kewajiban tersebut berlalu.
Wallahu a’lam.[]
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
(Khadim Ma'had Syaraful Haramain)
0 Komentar