Setuju nikah muda? Siap-siap jadi janda dan duda muda!
Tagline ini mungkin kebangetan. Tidak semua orang yang menikah di usia muda berujung cerai juga di usia muda. Ada yang bisa bertahan hingga sekarang. Ada yang nikah di usia sudah mature, ternyata ujungnya bercerai juga. Bill Gates dan Melinda, yang menikah sudah 27 tahun ternyata karam juga.
Walaupun, memang data BKKBN tahun 2018 nikah di usia muda menyimpan potensi terbesar adalah kasus perceraian dan pertengkaran. Hal itu banyak menimpa kelompok usia 20 – 24 tahun dengan usia pernikahan kurang dari 5 tahun menurut data BKKBN. Data BPS 2010 menunjukkan kasus perceraian tertinggi menimpa kelompok usia 20–24 tahun dengan usia pernikahan belum genap lima tahun. Artinya, secara statistik – statistik lho! – nikah muda itu rentan perceraian.
Peluang perceraian di usia muda memang lebih besar terkait dengan pengalaman hidup, kemampuan mengendalikan emosi, ego yang masih besar, dan kecukupan ilmu agama serta lifeskill. Misalnya, ada bapak muda yang lebih suka nongki bareng teman-teman usai pulang kantor ketimbang buru-buru pulang ke rumah menemani istri dan anak. Atau ibu muda yang lebih asyik nonton drakor daripada membacakan buku cerita untuk anaknya.
Pasangan muda juga masih lebih mudah dipengaruhi oleh kawan-kawan, apalagi oleh orangtua. Ada suami atau istri yang lebih nyaman kumpul dengan komunitas mereka, atau pasangan yang tidak mampu mandiri mengambil keputusan karena tak bisa melepaskan diri dari pengaruh orangtua.
Tapi, kedewasaan bersikap itu tidak ditentukan dari umur, melainkan dari tempaan dan kemauan belajar. Jadi, siapa saja yang mau pernikahan di usia mudanya survive harus mau menempa diri, belajar untuk dewasa, dan mandiri.
Ada beberapa tips yang mudah-mudahan bermanfaat untuk Anda, pasangan muda, yang sedang menjalani pernikahan di usia belia:
Pertama, pahami kalau hidupmu berubah setelah menikah. Tidak lagi sama. Ada peran dan tanggung jawab yang harus dijalani dalam keluarga. Pasangan yang sering cekcok dan bercerai di pernikahan muda, di antaranya karena salah satu atau keduanya tidak paham bila setelah menikah dunia mereka berubah. Itu konsekuensi. Tanggung jawab.
Sebagai lelaki kamu harus menafkahi istri, melindungi, menenangkan, dan juga membimbing istri. Kamu harus paham kalau setelah menikah istrimu terpisah dari orangtuanya dan hanya punya kamu disisinya. Kamulah andalan hidupnya – setelah Allah tentunya, ya bro! – dalam nafkah, rasa aman, dan kenyamanan.
Sebagai istri, pahami ketaatanmu adalah pada suami, bukan pada orangtua. Jadi, jangan suka berkeluh kesah atau curhat pada orangtua ketika pernikahan belum berjalan sesuai harapan. Be patient! Sabar dan percayalah pada suami kalau dia akan berusaha membantumu
Kedua, jangan childish alias kekanak-kanakan. Kamu yang cowok boleh punya hobi; nonton bola, main game, otomotif, dsb. Tapi begitu menikah grow up, bro! Dewasalah. Atur waktu, tenaga, dan pikiran juga keuangan untuk rumah tangga. Uang yang biasa dipakai untuk beli sparepart motor, alihkan untuk beli beras, susu hamil istri, mesin cuci, dan perlengkapan orok kalau nanti lahir.
Bimbing istri dan beri contoh dalam ketaatan. Suamilah yang bangunkan istri untuk qiyamul layl. Suami yang ingatkan istri untuk selalu komitmen pada syariat. Suami yang ajak istri ke majlis talim.
Yang perempuan, be a good wife, sis! Jangan keluyuran bareng teman-teman kalau belum dapat izin dari suami. Juga jangan marah kalau suami nggak kasih izin. Jadilah muslimah dewasa. Sadari kalau kamu sudah punya suami yang harus ditaati dan diminta izinnya.
Kurangi juga bapermu, berusaha jadi perempuan tegar, perlahan hilangkan sifat manja dan bergantung pada mama di rumah, karena kamu calon mama untuk anak-anakmu kelak. Kamu juga yang jadi tempat ternyaman untuk suami saat ia letih bekerja atau berdakwah.
Ketiga, berusaha selalu bersama. Nikah itu nggak mesti selalu sependapat, tapi tetaplah kompak. Untuk istri, pahamilah ijazah kuliahmu yang grade-nya cum laude nggak bakal bisa mempertahankan pernikahan kalau kamu nggak berusaha kalem, sabar dan menghormati pendapat suami.
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi)
Untuk para suami, percaya deh kalau tetap pertahankan egomu alamat kapal pernikahan bakal karam. Leadership itu nampak dari pengayoman dan kemandirian, bukan dengan egoisme, nggak mau kalah, dan pemarah. Kalau memang istrimu benar, terimalah dengan ikhlas. Kebenaran itu dari Allah.
Keempat, kontrol emosimu. Jangan mudah marah, tapi mudahlah memaafkan. Di awal nikah, pahami kalau kamu berdua itu orang yang baru hidup bersama. Banyak tidak kenalnya. Nggak bisa kamu yang istri ngambek dan bilang pada suami, “Kamu tuh nggak ngertiin aku, deh!” Persis di FTV. Ya gimana mau langsung ngerti, kan baru membangun rumah tangga. Perlu waktu untuk saling kenal lebih dalam.
Jadi, kurang-kurangin deh marahnya. Cari alasan/uzur untuk memaklumi kekurangan dan kesalahan pasangan. Jadilah sosok yang mudah memaafkan pasangan. Inilah sebagian ciri orang bertakwa:
“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,” (TQS. Ali Imran: 134)
Kelima, kuatkan iman dan banyak berdoa bersama. Nikah itu bukan untuk memburu cinta, tapi mengejar pahala. Nikah itu akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir. Jalanilah peran sebagai suami dan istri dengan dorongan iman-takwa. Ada rasa rindu pada pahala, juga takut berbuat dosa dengan menyakiti pasangan. In sha Allah Anda berdua akan saling menjaga dan merawat kasih sayang.
Kuatkan pernikahan dengan doa. Minta pada Allah agar merawat kasih sayang dan menunjukkan pada kebersamaan dan keterkaitan hati. Di antara doa yang diajarkan Nabi SAW:
اللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلاَمِ وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَبَارِكْ لَنَا فِى أَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُلُوبِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ وَاجْعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعْمَتِكَ مُثْنِينَ بِهَا قَابِلِيهَا وَأَتِمَّهَا عَلَيْنَا
“Ya Allah, satukanlah hati kami. Perbaikilah keadaan kami. Tunjukilah kami jalan-jalan keselamatan (menuju surga). Selamatkanlah kami dari kegelapan menuju cahaya. Jauhkanlah kami dari perbuatan keji yang nampak maupun tersembunyi. Berkahilah pendengaran, penglihatan, hati, istri, dan keturunan kami. Terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Jadikanlah kami hamba yang bersyukur atas nikmat-Mu, terus memuji-Mu dan menerima nikmat tersebut, dan sempurnakanlah nikmat tersebut pada kami.” (HR. Abu Daud). []
Oleh: Ustaz Iwan Januar
(Siyasah Institute)
0 Komentar