Setiap Muslim pasti tahu keutamaan Lailatul Qadar, sebagaimana dipahami dari firman Allah SWT (yang artinya): "Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan." (TQS al-Qadar [97]: 3).
Berkaitan dengan ayat tersebut, Mujahid menyatakan, “Upaya menghidupkan malam tersebut dan beramal di dalamnya adalah lebih baik daripada menghidupkan seribu bulan.”
Artinya, pahala menghidupkan Lailatul Qadar adalah lebih baik dari pahala ibadah selama kira-kira 83 tahun 3 bulan (Ibnu al-Jauzi, At-Tadzkirah fi al-Wa’zh, 1/218).
Keutamaan Lailatul Qadar juga dinyatakan oleh Rasulullah Saw., “Siapa saja yang menghidupkan Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Begitu istimewanya Lailatul Qadar, Imam Syafii bahkan berpendapat, “Siapa saja yang meninggalkan shalat pada Lailatul Qadar, ia harus menggantinya dengan shalat selama seribu bulan. Hal ini di-qiyas-kan pada keutamaan Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan.” (Muhammad ‘Uwaidhah, Fashl al-Khithâb fi az-Zuhd wa ar-Raqâ’iq wa al-Adab, 1/1007).
Karena begitu besarnya keutamaan Lailatul Qadar, Rasulullah saw. mendorong setiap Muslim untuk sungguh-sungguh meraih keutamaan malam tersebut. Beliau bersabda, “Carilah oleh kalian keutamaan Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadhan.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Begitu besar keutamaan Lailatul Qadar juga ditunjukkan oleh fakta bahwa Allah SWT merahasiakan keberadaannya. Mengapa? Tidak lain, sebagaimana dinyatakan oleh Imam an-Nasafi, agar kaum Muslim bersungguh-sungguh mencari keutamaan malam tersebut di seluruh malam-malam Ramadhan (Abdurrahman ash-Shafudi, Najhah al-Majâlis wa Muntakhab an-Nafâ’is, 1/162).
Hal senada ditegaskan oleh Imam al-Ghazali. Kata beliau, “Boleh jadi maksud Allah merahasiakan keberadaan Lailatul Qadar adalah untuk meningkatkan kesungguhan manusia dalam mencarinya.” (Al-Ghazali, Ihya’ Ulûm ad-Dîn, 3/121).
Namun demikian, sebetulnya ada keutamaan amal yang setara bahkan melebihi keutamaan Lailatul Qadar. Ini pun sudah selayaknya bisa diraih oleh setiap Muslim. Apa itu? Jawabannya ada dalam sabda Rasulullah Saw., “Berjaga-jaga satu jam di medan perang fi SabililLah adalah lebih baik daripada menghidupkan Lailatul Qadar di samping Hajar Aswad.” (HR Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).
Bayangkan. Menghidupkan Lailatul Qadar adalah keutamaan. Apalagi dilakukan di tempat yang utama. Di Tanah Suci. Tentu jauh lebih utama. Namun ternyata, berdasarkan hadis di atas, keutamaan tersebut bisa dikalahkan oleh jihad (perang) fi sabililLah meski sekadar berjaga-jaga satu jam saja.
Hadis di atas dikuatkan oleh sabda Rasulullah Saw., “Maukah kalian, aku beritahu tentang suatu malam yang lebih utama dari Lailatul Qadar? Yaitu (malamnya) seorang penjaga yang berjaga-jaga di suatu wilayah yang menakutkan (di medang perang fi SabililLah) dan dia amat berharap tidak kembali kepada keluarganya (berharap mati syahid, pen.).” (HR al-Hakim).
Masalahnya, bagaimana kita dapat meraih keutamaan jihad/mati syahid, sementara kita saat ini tidak sedang berada di medan perang jihad fi sabilillah atau berada di wilayah perang? Masih bisakah kita meraih keutamaan jihad dan mati syahid? Tentu saja bisa. Bagaimana caranya?
Tidak lain dengan melibatkan diri di medan dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Terutama yang ditujukan kepada para penguasa zalim. Sebabnya, Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Pemimpin para syuhada (di Hari Kiamat nanti) adalah Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah saw. yang syahid di medang Perang Uhud, pen.) dan seorang laki-laki yang berdiri tegak di hadapan seorang penguasa zalim, dia menasihati penguasa tersebut, lalu penguasa itu membunuh dirinya.” (HR ath-Thabarani dan al-Hakim).
Rasulullah saw. pun bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kata-kata kebenaran di hadapan penguasa zalim.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Alhasil, sebagaimana kita sangat berharap meraih keutamaan Lailatul Qadar—yang lebih baik dari seribu bulan—sudah selayaknya kita pun berupaya meraih amal yang jauh lebih utama dari itu. Tidak lain adalah dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Karena kemungkaran terbesar saat ini dilakukan oleh penguasa—sebab tidak menerapkan syariah Islam—maka ke sanalah amar makruf nahi mungkar lebih layak ditujukan.
Semoga kita bisa meraih dua keutamaan tersebut. Amin.
Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh! []
Oleh: Arief B. Iskandar
(Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)
0 Komentar