Hatinya begitu sedih mendalam bergema di sana, matanya berlinang mutiara-mutiara duka cita, isi pikiran penuh dengan bayang peristiwa luka darah Palestina, lisan-lisan mengutuk teroris Israel beribu lontaran kata cerca.
Kala berharap saudara Muslim bebas beribadah, memanggil persatuan dan donasi hilangkan konflik bersejarah, tetiba tersambar seruan solusi dakwah syariat, bahwa perisai Palestina hanya Khilafah 'Ala Minhajin Nubuwah.
Sejurus berubah matanya tajam bagai pedang, lantang menolak dengan angkuh menghadang, mereka lupa sejarah negara bersyariat memberi terang, bahwa Salahuddin Al Ayyubi membebaskan Jerusalem penuh gemilang.
Lantas mengapa sebuah paradoks meliputi sikap diri? Inginkan kaum Muslimin dunia terlindungi, harapkan Palestina tidak terjajah dan dizalimi lagi, namun benci dengan perisai peradaban menaungi, begitu risihkah hadirnya institusi yang memberi merdeka hakiki?
Jangan bermimpi Palestina lepas dari penjajahan, berhenti bicara hilangnya kezaliman, sebab pemimpin Muslim kini bercanda dengan kecaman dan kutukan, berpuluh tahun tangis derita saudaranya dibiarkan, sungguh pengusiran penjajah takkan pernah cukup dengan sembako dan obat-obatan. []
Oleh: Muammar Iksan
(Penulis)
0 Komentar