"Pajak tidak asal dipungut untuk penerimaan negara, namun disusun untuk melaksanakan asas keadilan", begitu sepenggal kutipan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang diunggah dalam postingan akun Instagram pribadinya @smindrawati, Senin (14/5/2021). Berdasarkan postingannya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terlihat mengunjungi sejumlah pedagang di Pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan di tengah wacana pungutan PPN sembako. Dalam kunjungan itu, ia mengklaim menemukan pedagang yang khawatir harga sembako bakal mahal akibat kebijakan itu.
Ia jelaskan pemerintah tidak mengenakan pajak sembako yang di jual di pasar tradisional yang menjadi kebutuhan masyarakat umum. Misalnya beras produksi petani kita seperti Cianjur, rojolele, pandan wangi dan lain-lain yang merupakan bahan pangan pokok dan dijual di pasar tradisional tidak dipungut pajak (PPN). Namun beras premium impor seperti beras basmati, beras shirataki yang harganya bisa 5-10 kali lipat dan dikonsumsi masyarakat kelas atas, seharusnya dipungut pajak. Demikian juga daging sapi premium seperti daging sapi Kobe, Wagyu yang harganya 10-15 kali lipat harga daging sapi biasa, seharusnya perlakukan pajak berbeda dengan bahan kebutuhan pokok rakyat banyak. "Itu asas keadilan dalam perpajakan dimana yang lemah dibantu dan dikuatkan dan yang kuat membantu dan berkontribusi," jelasnya.
Bahkan ia menunjukkan, dalam menghadapi dampak Covid yang berat, Pemerintah memberikan banyak insentif pajak untuk memulihkan ekonomi. Pajak UMKM, pajak karyawan (PPH 21) dibebaskan dan ditanggung pemerintahan. Pemerintah membantu rakyat melalui bantuan sosial, bantuan modal UMKM, diskon listrik rumah tangga kelas bawah, internet gratis bagi siswa, mahasiswa dan guru.
Pajak seakan sudah menjadi oksigen bagi sistem kapitalisme, ibarat tubuh tak bisa bergerak tanpa adanya pungutan pajak. Apabila benar regulasi pemungutan pajak dalam sistem saat ini, yaitu kapitalisme didasarkan atas asas keadilan, mengapa rakyat semakin merasa tercekik? Bahkan, akibat berbagai jenis pungutan dalam bentuk pajak ataupun tarif, beban kebutuhan hidup semakin sulit terpenuhi. Tak dipungkiri, di dalam sistem Islam pun ada regulasi pungutan, salah satu yang tak asing karena termasuk rukun Islam yaitu zakat. Bahkan, jika Baitul Mal dalam keadaan krisis, ada kemungkinan Daulah Khilafah akan memungut pajak dengan regulasi yang diatur sesuai syariat. Kiranya, regulasi manakah yang nyata membawa keadilan? Regulasi dari sistem buatan manusia yang berdasarkan asas keadilan ataukah regulasi dari Dzat yang Maha Adil?
Regulasi Pajak Berbasis kepada Asas Keadilan Hanyalah Semu di dalam Sistem Kapitalisme
Jenis pungutan yang dilakukan negara terhadap rakyatnya selalu ada, baik di sistem kapitalisme maupun Islam. Namun, tentunya memiliki perbedaan dalan tata cara pengaturan atau regulasi pungutannya. Baru-baru ini, akibat munculnya berbagai kritikan kepada pemerintah yang berniat mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap sembako dan sekolah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memposting ke akun instagram pribadinya, berupa video pendek dan foto saat berada di Pasar Santa. Mungkin tujuannya adalah menenangkan masyarakat kecil yang dibuat resah dengan kebijakan baru yang ingin ditetapkan. Ia janjikan bahwa pungutan PPN terhadap sembako tidak akan dikenakan di pasar tradisional. Tetapi, hanya dikenakan pada sembako kualitas impor dan premium. Dalam postingannya, ia mengklaim bahwa ini adalah wujud asas keadilan dalam perpajakan. Dan tentunya, ini adalah asas keadilan menurut sistem kapitalisme.
Senada dengan pernyataan Menteri Keuangan, dilansir dari CNN Indonesia, Senin (14/5/2021), Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan PPN sembako dan jasa pendidikan tidak akan dikenakan secara merata. Besaran tarif PPN yang dikenakan bakal dibedakan berdasarkan jenisnya.
Untuk sembako, pengenaan PPN tidak akan diberlakukan pada kebutuhan pokok yang dijual di pasar tradisional. Pengenaan PPN hanya akan diberlakukan pada bahan pokok premium dengan perbedaan harga jauh dari yang dijual di pasar tradisional. Perlakuan pajak serupa juga bakal dilakukan pada jasa pendidikan. Pendidikan yang dikenakan PPN nantinya hanya sekolah tertentu yang bersifat komersial. Sementara itu untuk sekolah negeri tertentu yang selama ini banyak dinikmati masyarakat, PPN tidak akan diberlakukan.
Perlakuan perpajakan yang sama antara sekolah komersil dengan sekolah negeri untuk masyarakat kalangan bawah, menurut Neilmaldrin Noor justru menggambarkan asas keadilan dalam kebijakan pungutan PPN belum tepat sasaran. Karena itu, dengan sistem baru ini, perlakuan perpajakan kepada masyarakat dianggap bisa lebih adil.
Dalam regulasi pungutan pajak sembako dan pendidikan, pemerintah seakan memenuhi hak rakyat menengah ke bawah, dan hanya membebani pajak bagi masyarakat menengah ke atas. Dan begitu pula dalam pajak pendidikan, seakan benar-benar mementingkan hak rakyat kecil. Ini sudah dianggap sesuai dengan asas keadilan dalam sistem kapitalisme saat ini.
Kemudian, kita perhatikan tentang PPnBM 0% untuk mobil dengan kapasitas mesin 1.500 cc yang diberlakukan mulai 1 Maret 2021 dan diperpanjang hingga Agustus 2021 (Kompas.com, 13/5/2021). Adakah relaksasi ini regulasi pungutannya didasarkan atas asas keadilan? Nyatanya, tujuan pemberian relaksasi ini agar mampu mempertahankan serta mendongkrak sektor otomotif nasional.
Terbukti, seiring perkembangan implementasi kebijakan PPnBM 0 persen, sudah ada kenaikan penjualan mobil baru sampai 28,85 persen. Bahkan di April 2021, lonjakannya mencapai 227 persen secara tahunan. Adapun penjualan ritel, secara akumulatif, Januari–April 2021, menurut data Gaikindo naik 5,9 persen menjadi 257.953 unit. Secara bulanan volume penjualan ritel telah mendekati level normal atau sekitar 80.000 per bulan. Bahkan, karena keuntungan ini, rencananya setelah Agustus 2021, ada periode untuk pemberian diskon PPnBM DTP 50 persen hingga Desember 2021.
Hanya dari regulasi pungutan ini saja dapat dilihat jelas, bahwa pungutan pajak berdasar asas keadilan sangat jauh tak nampak dalam sistem kapitalisme. Yang terlihat hanya mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya dari kebijakan yang ditetapkan. Sedangkan segala bentuk potongan atau pembebasan PPn atas masyarakat menengah ke bawah, tidak lain hanyalah nampak sebagai klaim seakan hanya sekadar sebagai pemenuhan hak mereka. Padahal kenyataannya jauh dari kata mengurusi rakyat. Pada akhirnya, regulasi pungutan pajak berdasarkan asas keadilan hanyalah semu di sistem kapitalisme.
Regulasi Pajak dalam Sistem Kapitalisme Cacat dari Akarnya
Kenyataan bahwa regulasi pungutan pajak dalam sistem kapitalisme jauh dari asas keadilan ini, tak mengherankan menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat telah merasakan berbagai jenis pungutan pajak, namun akan dibebani dengan pungutan pajak lainnya, yang itu adalah termasuk kebutuhan dasar setiap individu masyarakat. Apalagi, pada saat yang sama, dengan adanya rencana pemerintah untuk mengenakan PPN sembako dan sekolah, masyarakat disuguhkan kenyataan lain adanya relaksasi pajak yang justru dikenakan terhadap PPN untuk barang-barang mewah. Meskipun alasan yang disampaikan oleh pemerintah adalah relaksasi atau pengurangan pajak itu diberikan untuk barang-barang mewah, dalam rangka menstimulan kalangan menengah atas agar mereka menaikkan tingkat konsumsinya terhadap barang-barang mewah.
Terlebih lagi, yang semakin mengundang keresahan masyarakat adalah wacana kebijakan ini muncul dalam situasi pandemi saat ini. Ketika masyarakat dalam mengalokasikan pendapatan mereka tentu lebih mengutamakan dan lebih memprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan pangannya atau pokoknya. Dan terutama bagi masyarakat menengah ke bawah, yang incomenya tetap atau bahkan incomenya berkurang atau bahkan tidak memiliki income sama sekali, ketika mereka memiliki pendapatan maka tentu akan dialokasikan pada yang paling utama yakni dalam pemenuhan kebutuhan pangannya, kebutuhan pokoknya. Meskipun, pemerintah menjanjikan pungutan pajak sembako tidak dikenakan untuk pasar tradisional, namun dapat dipastikan tetap akan mempengaruhi munculnya kenaikan harga berbagai macam kebutuhan pokok di pasar tradisional. Dan ini tentu akan semakin memberatkan masyarakat kecil.
Berdasarkan analisis Pengamat Ekonomi Nida Sa'adah, SE.Ak, MEI, dilihat dari perspektif ekonomi syariah, maka akar persoalannya itu ada pada sistem pemungutan pajak itu sendiri. Ini dapat dianalisis dari berbagai aspek regulasi pungutan itu sendiri, diantaranya:
Pertama. Mekanisme pemungutan pajak dalam ekonomi kapitalisme sekuler pada akhirnya akan memangkas income atau pendapatan masyarakat. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa aspek. Contoh dalam sistem pemungutan pajak pertambahan nilai. Maka ketika satu item produk dikenakan PPN, karena pajak pertambahan nilai itu obyeknya adalah benda. Apakah itu berupa barang atau jasa. Maka ketika benda atau jasa ini dikenakan pungutan PPN pasti akan berdampak pada naiknya harga jual. Dan naiknya harga jual ini akan berpotensi menurunkan jumlah kuantitas barang yang diperdagangkan. Dan tentu saja menurunnya jumlah kuantitas barang yang diperdagangkan ini sama saja dengan secara tidak langsung kebijakan ini telah menciptakan iklim usaha ekonomi yang tidak kondusif.
Kedua. Kemudian dari aspek keadilan di dalamnya. Dalam sistem perpajakan, PPN dikenakan pada benda. Maka dalam hal ini tidak ada alat kontrolnya, karena juga tidak diatur regulasi dalam jumlah berapa kepemilikan benda tersebut untuk kemudian dikenakan pemungutan pajak. Artinya dalam sistem pungutan pajak untuk item benda itu tidak ada ketentuan, berapa jumlah kuantitasnya maka akan dikenakan pungutan. Dalam hal ini tentu saja bisa jadi akan menyasar kalangan yang sebetulnya dia membutuhkan harta tersebut, dia tidak dalam posisi mengalami kelebihan harta. Mekanisme ini yang tidak dimiliki dalam sistem kapitalisme. Mekanisme untuk memastikan bahwa yang dipungut pajak itu adalah orang yang kelebihan harta. Tidak ada alat kontrol yang bersifat fix untuk bisa memastikan hal itu, sehingga terus-menerus harus dilakukan perubahan regulasi. Dengan alasan tadi ternyata masih ada pungutan pajak yang salah sasaran atau bahkan tadi yang harusnya dipungut tidak dipungut. Hal-hal seperti itu memang hanya akan terjadi pada sistem pemungutan dalam sistem kapitalisme sekuler karena ketidaksempurnaan dalam regulasi pengaturan pungutan. Sehingga terus-menerus dilakukan revisi dari waktu ke waktu.
Ketiga. Selanjutnya jika dilihat dari ekskresi atau dampaknya. Dalam sistem pajak pertambahan nilai (PPN) sudah bisa di pastikan setiap barang yang terkena PPN akan berdampak mengalami kenaikan harga dan berdampak pada jumlah barang yang diperdagangkan di pasar.
Keempat. Berdasarkan perhitungannya, maka perhitungan pungutan di dalam sistem kapitalisme tidak memperhatikan apakah ada penambahan profit atau tidak. Hal semacam ini tidak ada di dalam regulasi tentang pajak. Satu mekanisme yang memastikan bahwa ketika terjadi penambahan omset memang sudah berada di level ada kenaikan secara progresif dari omset barang yang diperdagangkan.
Kelima. Dari aspek pengenaannya, sistem pemungutan pajak dalam kapitalisme sekuler terdapat problem dualisme. Dalam sistem perpajakan, dalam satu subjek pajak yang sama bisa jadi terkena beberapa pungutan sekaligus. Jadi misalnya, ada seseorang yang penghasilannya terkena pajak penghasilan, kemudian kalau PPN sembako dan sekolah itu disahkan maka tentu dalam konsumsi sehari-harinya, ia mengkonsumsi bahan kebutuhan pokok, maka dia akan membayar pajak pertambahan nilai, kalau dia memiliki sebuah bangunan maka dia akan membayar pajak bumi dan bangunan, kalau dia memiliki kendaraan bermotor maka dia akan membayar pajak kendaraan bermotor dan seterusnya.
Dari beberapa mekanisme di atas, dapat dilihat dan dipastikan bahwa sistem pemungutan dalam sistem ekonomi kapitalisme sekuler sangat menyengsarakan rakyat. Begitulah ketika manusia yang lemah, jika dipaksakan mengatur atau menyusun regulasi sendiri termasuk dalam mengatur berbagai jenis pungutan dalam negara, maka akan terjadi kelemahan di sana-sini dan terbuka celah terjadinya ketidakadilan dan kezaliman. Terbukti, bahwa regulasi pungutan pajak di sistem kapitalisme memang telah cacat dari akarnya.
Regulasi Pengenaan Pungutan Negara yang Adil dan Tepat Sasaran Hanya Ada dalam Sistem Islam
Kenyataan bahwa regulasi pungutan pajak di sistem kapitalisme memang telah cacat dari akarnya, disebabkan sistem buatan manusia yang penuh dengan kelemahan di mana-mana, membuktikan bahwa dibutuhkan sistem alternatif yang mampu menjadi tandingan bagi sistem yang cacat ini. Selama ini, sistem Islam telah sering disuarakan mampu menjadi pengganti sistem kapitalisme sekuler yang tengah berkuasa hari ini untuk menyelesaikan segala problematika umat manusia, bukan sekadar dalam mengatasi problem defisit pendapatan negara. Namun belum ada tanda-tanda penguasa untuk meliriknya, yang ada mereka lebih suka mengambil secara parsial, mengambil sebagian yang menguntungkan dan membuang sebagian lain yang dianggap mengancam, malah tak segan untuk mengkriminalisasi ajarannya.
Dalam mekanisme berbagai pungutan di dalam sistem Islam pun memiliki regulasi sendiri, yang regulasi ini sudah tentu berasal dari Dzat yang Maha Adil. Masih disarikan dari analisis Pengamat Ekonomi Nida Sa'adah, SE.Ak, MEI, beberapa keunggulan regulasi ekonomi syariah dalam melakukan pungutan, diantaranya:
Pertama. Di dalam pandangan ekonomi syariah, pajak yang dilarang dalam beberapa hadis Rasulullah tidak dijadikan sebagai penerimaan utama di dalam pendapatan negara. Pendapatan negara yang diatur dalam makro ekonomi syariah bertumpu pada tiga sektor penerimaan. Baitul Mal memiliki tiga tentang penerimaan utama, yakni yang pertama berasal dari pengelolaan zakat mal, yang kedua pengelolaan harta kepemilikan umum dan yang ketiga pengelolaan harta kepemilikan negara. Sementara pajak tidak menjadi tumpuan utama karena dilarang di dalam pandangan syariah jika dipungut secara permanen terhadap masyarakat luas. Dan juga, sistem keuangan syariah tidak membutuhkan pajak dalam sektor penerimaan keuangan negara karena Baitul Mal memiliki 3 sumber penerimaan yang lain, yang telah ditetapkan menurut prinsip syariat Islam.
Kedua. Kalau dibandingkan mekanisme pemungutan pajak dalam ekonomi sekuler dengan sistem pungutan di dalam ekonomi syariah. Baik itu yang berbentuk zakat mal atau pungutan kharaj, ujrah, jizyah dan lain-lain, maka dapat dilihat ada mekanisme yang berbeda sekali dalam sistem pungutan ekonomi syariah yang justru bisa memicu produktivitas, tidak membebani masyarakat.
Ketiga. Dari aspek keadilan di dalamnya. Dalam sistem pemungutan menurut ekonomi syariah, maka bisa dipastikan tercipta keadilan tidak akan salah sasaran karena dalam sistem pemungutan dalam ekonomi syariah sudah pasti yang terkena pungutan adalah person atau seseorang yang memiliki kelebihan harta. Tidak akan pernah diberikan kepada seseorang yang justru dia membutuhkan harta tersebut. Mekanismenya bisa dilihat dengan adanya regulasi tentang nisab, batas kepemilikan harta yang terkena zakat. Artinya jika belum mencapai jumlah nisabnya, maka seseorang tidak terkena pungutan zakat.
Keempat. Jika dilihat dari ekskresi atau dampaknya. Dalam pungutan di dalam ekonomi syariah bisa dipastikan tidak menimbulkan ekses negatif baik terhadap harga ataupun terhadap jumlah yang diperdagangkan. Dan hal ini tentu saja akan menciptakan segala produksi yang lebih luas dan efisiensi dalam biaya produksi.
Kelima. Berdasarkan perhitungannya, maka perhitungan pungutan di dalam ekonomi syariah mengacu kepada, apakah ada penambahan profit atau tidak. Bukan dikenakan kepada produknya tanpa melihat adakah pertambahan profit atau tidak. Contohnya dalam zakat perdagangan, maka zakat perdagangan itu baru akan dikenakan jika jumlah omset produknya itu secara keseluruhan termasuk modal awal, sudah mencapai batas nisab dan itu pun masih ditunggu dalam rentang waktu 1 tahun. Ada haulnya, jika diawal dan diakhir haul itu jumlahnya tidak mencapai batas nisab, di awal mencapai tapi di akhir tidak mencapai maka juga tidak akan dikenakan zakat. Berarti masih belum bisa mencapai skala ekonomi yang lebih besar.
Keenam. Dari aspek pengenaannya, maka sistem pemungutan dalam Islam menghilangkan problem dualisme. Mekanisme pemungutan dualisme perpajakan ini, ketika satu orang bisa terkena beberapa jenis pungutan sekaligus. Dan ini tidak akan terjadi dalam pungutan di sistem Islam, artinya jika dalam pengolahan tanah seseorang telah membayar pungutan ujrah, maka di saat yang sama dia tidak akan dipungut lagi dalam perhitungan zakat.
Itulah beberapa mekanisme diantara sekian banyak keunggulan sistem pemungutan menurut prinsip ekonomi syariah jika dibandingkan dengan sistem pemungutan dalam sistem ekonomi kapitalisme sekuler.
Jadi, regulasi pungutan yang adil dan tepat sasaran hanya ada dalam sistem Islam. Sehingga sekali lagi, terbukti bahwa manusia sangat membutuhkan regulasi yang berasal dari Allah SWT dalam mengatur berbagai aspek kehidupannya, termasuk dalam aspek perekonomian dan juga mengatur aspek keuangan negara. Kelemahan manusia dalam membuat aturan sendiri ini, telah menimbulkan berbagai macam kerusakan, kezaliman dan ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan, hingga menjauhkan dari keberkahan dan kesejahteraan hidup.
Saatnya manusia kembali kepada aturan Sang Pencipta, manusia sangat membutuhkan regulasi yang berasal dari Allah. Karena penerapan segala sesuatu yang berasal dari Allah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, akan tercipta suatu tatanan kehidupan yang adil dan sejahtera, baik untuk Muslim ataupun yang non-Muslim. Yang bukti nyatanya telah dilihat dalam peradaban Islam yang pertama, dimulai dari negara yang dibangun oleh Rasulullah Muhammad SAW, dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau yang bertahan selama berabad-abad.
Penutup
Regulasi pungutan pajak berdasarkan asas keadilan hanyalah semu di sistem kapitalisme. Mau diakui ataupun tidak, segala kebijakan dalam sistem kapitalisme lebih mengedepankan kepentingan dan sekadar mencari manfaat atau keuntungan sebanyak-banyaknya. Asas keadilan yang diklaim dalam sistem kapitalisme, bisa jadi hanya untuk pencitraan seakan-akan peduli pada masyarakat kecil, nyatanya hingga sejauh ini masih jauh dari kata sejahtera.
Regulasi pungutan yang adil dan tepat sasaran hanya ada dalam sistem Islam. Regulasi yang berasal dari Dzat Pencipta dan Pengatur manusia, sudah pasti mampu menyelesaikan segala problematika umat manusia yang tidak bisa diselesaikan oleh kelemahan akal manusia. Islam mampu mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam aspek perekonomian dan juga mengatur aspek keuangan negara.
Ini dapat dianalisis dari berbagai aspek regulasi pungutan itu sendiri, diantaranya: (1) Mekanisme pemungutan pajak memangkas income atau pendapatan masyarakat. (2) Dari aspek keadilan, PPN yang dikenakan pada benda tidak memiliki alat kontrol jumlah kepemilikan benda. (3) Dilihat dari ekskresi atau dampaknya, setiap barang yang terkena PPN akan berdampak mengalami kenaikan harga dan berdampak pada jumlah barang yang diperdagangkan di pasar. (4) Berdasarkan perhitungan pungutan tidak memperhatikan apakah ada penambahan profit atau tidak. (5) Dari aspek pengenaannya, sistem pemungutan pajak dalam kapitalisme sekuler terdapat problem dualisme, yaitu dalam satu subjek pajak yang sama bisa jadi terkena beberapa pungutan sekaligus.
Regulasi pungutan yang adil dan tepat sasaran hanya ada dalam sistem Islam. Regulasi yang berasal dari Dzat Pencipta dan Pengatur manusia, sudah pasti mampu menyelesaikan segala problematika umat manusia yang tidak bisa diselesaikan oleh kelemahan akal manusia. Islam mampu mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam aspek perekonomian dan juga mengatur aspek keuangan negara.
Beberapa keunggulan regulasi ekonomi syariah dalam melakukan pungutan, diantaranya: (1) Di dalam pandangan ekonomi syariah, pajak yang dilarang dalam beberapa hadis Rasulullah tidak dijadikan sebagai penerimaan utama di dalam pendapatan negara, karena dilarang jika dipungut secara permanen terhadap masyarakat luas. (2) Mekanisme pungutan ekonomi syariah bisa memicu produktivitas, tidak membebani masyarakat. (3) Dari aspek keadilan, dipastikan adil dan tepat sasaran karena yang terkena pungutan adalah person yang memiliki kelebihan harta, dengan adanya regulasi tentang nisab. (4) dilihat dari ekskresi atau dampaknya, dipastikan tidak menimbulkan ekses negatif baik terhadap harga ataupun terhadap jumlah yang diperdagangkan. (5) Berdasarkan perhitungannya, mengacu kepada ada tidaknya penambahan profit, dikenai jika modal awal dna omsetnya sudah mencapai nisab dan haulnya. (6) Dari aspek pengenaannya menghilangkan problem dualisme.
Saatnya manusia kembali kepada aturan Sang Pencipta, dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sehingga akan tercipta suatu tatanan kehidupan yang adil dan sejahtera, baik untuk Muslim ataupun yang non-Muslim yang telah nyata terbukti selama berabad-abad bertahan memimpin dunia.[]
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst
Oleh: Dewi Srimurtiningsih
(Analis Mutiara Umat & Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)
0 Komentar