Pulau Sangihe yang terletak di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara belakangan ini ramai diperbincangkan, setelah adanya rencana penambangan emas di kawasan tersebut. Mengutip Kompas.com, perusahaan Tambang Mas Sangihe (TMS) telah mengantongi izin lingkungan dan izin produksi pertambangan di gunung purba seluas lebih dari 3.500 hektar. Adapun total izin wilayah yang dikantongi oleh TMS adalah 42.000 hektar atau setengah dari bagian selatan Pulau Sangihe (Kompas.com, 12 Juni 2021).
Perhatian semakin meningkat, setelah Wakil Bupati Sangihe Helmud Hontong meninggal dunia dalam perjalanan pesawat pulang dari Bali menuju Manado. Helmud meninggal pada Rabu (9/6/2021). Sebelum meninggal, ia diketahui menolak izin operasi pertambangan emas di wilayahnya.
Eksplorasi emas oleh TMS disatu sisi menguntungkan kapitalis, namun disisi lain menyengsarakan rakyat dan mengancam kelestarian lingkungan. Ironisnya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara justru telah menerbitkan Izin Lingkungan untuk PT TMS pada tanggal 15 September 2020. Dalam Izin Lingkungan yang dimaksud menyebutkan bahwa lokasi yang akan digunakan PT TMS untuk melakukan kegiatan pertambangan hanya seluas 65,48 Ha dari total luas wilayah sebesar 42.000 Ha. Lantas, sebenarnya seberapa besar potensi tambang emas Sangihe sehingga TMS begitu kebelet ingin mengeksplorasi tambang di Pulau Sangihe?
Dalam pandangan Islam, kekayaan alam seperti tambang Sangihe merupakan harta milik umum yang menguasai hajat hidup masyarakat dan harus dikelola negara. Negaralah yang mewakili rakyat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang emas ini serta mengelola hasilnya. Negara bukanlah sebagai pemilik atau yang menguasai kekayaan itu. Semua hasil bersihnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan yang lain, misalnya pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan, listrik, air, transportasi, dan sebagainya.
Potensi Kekayaan Alam Pulau Sangihe
Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kepulauan Sangihe terletak di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud pada tahun 2000. Kabupaten Kepulauan Sangihe terdiri dari 105 pulau (27 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak berpenghuni) dan 15 kecamatan. Ibu kota Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah Tahuna. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.012,94 kilometer persegi, dan berpenduduk sebanyak 139.262 jiwa (2020).
Kabupaten Kepulauan Sangihe terletak di antara Pulau Sulawesi dengan Pulau Mindanao, Filipina, serta berada di bibir Samudera Pasifik. Wilayah kabupaten ini meliputi 3 klaster, yaitu Klaster Tatoareng, Klaster Sangihe dan Klaster Perbatasan, yang memiliki batas perairan internasional dengan provinsi Davao del Sur, Filipina.
Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki kekayaan alam berupa Gunung Api Bawah Laut, yaitu Gunung Api Banua Wuhu di Pulau Mahengetang, dan 6 Gugusan Gunung Api Kawio Barat. Wilayah kepulauan itu juga dihuni berbagai macam hewan, anggrek, kupu-kupu, serta biota bawah laut. Terdapat pula burung langka seriwang sangihe, atau yang disebut masyarakat lokal sebagai manu' niu. Burung itu hanya ada di Pulau Sangihe. Burung endemik ini sempat dianggap punah selama seratus tahun, sampai sekitar 20 tahun lalu, ketika mereka terlihat kembali.
Sangihe juga memiliki daya tarik keindahan dunia bawah laut, seperti biota bawah laut dan terumbu karang yang menjadi core attraction. Keindahan itu dapat ditemukan di Brave Hills Napo-Para Island, Kahakitang Island, Selat Sea Grass Mahumu Island, Mendaku dan Dakupang Island, dan Pulau Bukide. Sejumlah pantai indah pun dapat ditemui di Kepulauan Sangihe.
Pesona pantai pasir putihnya dijamin indah dan membuat para wisatawan betah berlama-lama di sana. Salah satunya, Pantai Pasir Putih Pananualeng. Selain melihat keindahan alam bawah laut di Kepulauan Sangihe, para pengunjung juga bisa menyaksikan kemegahan wisata air terjun di sana. Beberapa di antaranya yaitu Air Terjun Kadadima dan Air Terjun Ngura Lawo.
Jika suka melakukan pendakian dan petualangan di hutan, turis bisa langsung mengunjungi Gunung Sahendarumang. Wisata alam yang satu ini yang merupakan kawasan hutan lindung tropis yang memiliki keanekaragaman hayati dan panorama alam pegunungan yang indah.
Para wisatawan bisa mengunjungi Kepulauan Sangihe melalui perjalanan lewat jalur udara dan laut. Jika menggunakan jalur laut, dari Pelabuhan Manado harus menempuh perjalanan sekitar 10 jam dengan kapal malam atau 7 jam perjalanan dengan kapal cepat di pagi hari. Jika menggunakan jalur udara, penebangan dari Bandara Sam Ratulangi ke Sangihe membutuhkan waktu sekitar 60 menit.
Sayangnya, kekayaan alam tersebut terancam rusak karena rencana penambangan emas yang dipelopori oleh PT TMS. Pemegang izin wilayah tambang seluas 42.000 hektar di Sangihe adalah perusahaan Tambang Mas Sangihe (TMS). TMS adalah gabungan dari perusahaan Kanada, Sangihe Gold Corporation yang merupakan pemegang saham mayoritas sebesar 70 persen, dan tiga perusahaan Indonesia. Berdasarkan catatan Harian Kompas yang diberitakan 25 April 2021, tiga perusahaan Indonesia yang memegang 30 persen saham sisanya, yaitu PT Sungai Balayan Sejati (10 persen), PT Sangihe Prima Mineral (11 persen), dan PT Sangihe Pratama Mineral (9 persen). Sejumlah direksi pada jajaran manajemen Baru Gold Corp juga diketahui duduk di kursi manajemen PT TMM, termasuk CEO Baru Gold Corp, Terry Filbert.
TMS yang memegang kontrak karya (KK) generasi VI sejak 17 Maret 1997 lalu telah mengantongi persetujuan kelayakan lingkungan dari Provinsi Sulawesi Utara pada 25 September 2020 dan izin operasi produksi dari Kementerian ESDM awal tahun ini. Artinya, TMS berhak mengeksploitasi emas dan tembaga di enam kecamatan yang terbagi menjadi 80 kampung selama 33 tahun ke depan. Dari luas itu, terdapat 4.500 hektare yang memiliki mineralisasi utama yaitu di Kampung Bawone, Binebase, Sade, dan Kupa.
Laman resmi perusahaan menyebut, tambang emas Sangihe pertama kali ditemukan dan dieksplorasi secara primitif pada tahun 1986. PT Mears Soputan Mining dan mitra JV (patungan) mereka Muswellbrook mengerjakan proyek tersebut hingga tahun 1993. Pengambilan sampel chip, survei magnetik tanah, dan survei IP dilakukan, menghasilkan prospeksi lokal dan penambangan artisanal di emas dan anomali emas-tembaga diidentifikasi.
Dari 1989-1993 program bor 5.000m dilakukan di prospek Binebase dan Bawone. Hingga tahun 2006, dengan berbagai pengusaha pertambangan lokal dan perusahaan pertambangan junior, penggalian dan eksplorasi lebih lanjut dilakukan. Selama sosialisasi pengeboran dan sejarah eksplorasi, ditemukan emas oksida yang terpapar permukaan di Binebase dan emas sulfida dangkal di Bawone, juga anomali emas kecil diidentifikasi di Taware. Pada tahun 2007 East Asia Minerals (kini Baru Gold Corp) dan mitra lokal menerima persetujuan dan izin eksplorasi dari pemerintah dan diberikan KK (kontrak kerja) seluas 42.000 Ha yang mencakup Proyek Sangihe.
Pulau Sangihe sebagian besar terdiri dari batuan vulkanik dan diyakini bahwa prospek mineral Binebase, Bawone dan Taware terletak di pusat vulkanik yang tererosi. Prospek ini awalnya ditemukan dan dieksplorasi pada 1980-an. Binebase, dengan emas oksida terbuka di permukaan, dan Bawone, dengan emas sulfida dangkal hingga permukaan, terletak 1,2 kilometer terpisah dan merupakan prospek paling maju.
Taware didominasi oleh alterasi lempung-pirit dengan aliran lava andesit yang menjadi tempat intrusi dangkal. Lebih banyak pengeboran akan menentukan tingkat mineralisasi. Prospek Binebase dan Bawone terkandung dalam tuf abu yang dilapis dan di bawah dengan aliran andesit dan ubahan lempung-pirit terlokalisir yang terkandung dalam tubuh mineralisasi epitermal. Pengambilan sampel saluran di Binebase dikonfirmasi di dekat mineralisasi oksida permukaan dan kuarsa bantalan tembaga dan emas dapat menjadi indikasi mineralisasi Tembaga-Emas gaya porfir.
Adapun empat zona mineralisasi emas oksida dan sulfida telah diidentifikasi di Binebase, berarah 900m x 425m ke timur laut. Pengeboran menunjukkan bahwa zona teroksidasi dapat memiliki ketebalan hingga 60m dengan kadar >1g/t Au. Zona breksi yang lebih dalam dengan kadar tembaga hingga 2,1 persen, perak (hingga 1.180 ppm), timbal (hingga 1,06 persen) dan seng (hingga 7,03 persen) ada di dalam dan berdekatan dengan zona mineralisasi emas. Di Bawone, zona mineralisasi emas berarah barat laut telah diidentifikasi dengan panjang strike 300m kali lebar 75m yang saat ini terbuka di sepanjang strike. Zona mineralisasi ini sebagian besar adalah pirit yang terkandung dalam stock works dan breksi.
Pengambilan sampel terbatas tahun 2008 di Prospek Sede dan Kupa 7 kilometer selatan Bawone menghasilkan beberapa hasil emas yang spektakuler. Zona Satu, dengan sampel ambil yang menguji emas 13,4, 15,0 dan 42,6 g/t, dan Zona Dua, dengan sampel emas 7,78, 11,2 dan 16,0 g/t, terjadi sebagai ekor kuda vena sulfida rendah dengan emas yang dikendalikan oleh pelebaran struktural. Pengambilan sampel di tenggara Sede di Kupa telah menemukan hasil emas 122,0, 82,4 dan 73,8 g/t, yang memverifikasi hasil historis yang serupa.
Pulau Sangihe menyimpan sederet harta karun yang salah satunya adalah potensi emas. Wilayah itu menyimpan sumber daya terunjuk sebesar 3,16 juta ton dengan kadar emas 1,13 gram per ton (g/t) dan perak 19,4 g/t. Manager Tambang PT TMS, Bob Priyo Husodo menjelaskan, nantinya, penambangan dilakukan secara terbuka (open pit). Setiap tahun, komponen bijih emas yang akan dikeruk mencapai 904,471 ton dari 4 juta ton batuan. Emas akan diekstraksi dari batuan menggunakan sistem sianida. Limbah batuan akan ditempatkan di lokasi waste dump seluas 12 hektar di utara lubang tambang. Area itu telah dilengkapi tempat pembuangan lapisan olah tanah dan akar tanaman yang busuk, serta drainase dari batuan blok berlapis geomembrane.
Potensi harta karun yang melimpah. ruah inilah yang bikin ngiler kapitalis untuk segera mengeruk kekayaan alam di pulau Sangihe tanpa mempedulikan dampak buruk yang ditimbulkannya. Karena dalam orientasi kapitalis yang ada hanya profit dan profit. Bukan kesejahteraan rakyat atau kelestarian lingkungan. Apalagi mereka tidak akan merasakan dampaknya karena tidak tinggal di pulau tersebut.
Dampak Buruk Eksplorasi Tambang Emas Sangihe
Rencana eksplorasi tambang emas Sangihe mendapat penolakan dari warga karena berpotensi merusak lingkungan di sekitar tambang. Salah satunya datang dari Save Sangihe Island, gerakan penolakan tambang yang terdiri dari 25 organisasi kemasyarakatan yang terus menyuarakan protes. Pada Selasa (25/06), sekitar 30 warga berkumpul di Kantor Kapitalaung Kampung Bowone, yang terletak sekitar 20 kilometer dari Kampung Ulung Peliang, salah satu pintu masuk ke Gunung Sahendaruman. Mereka menolak masuknya tambang dan berikrar tidak akan menjual tanah yang ditawar Rp5.000 per meter oleh perusahaan.
Juru bicara gerakan Save Sangihe Island, Samsared Barahama, mengatakan terdapat beberapa alasan rencana eksploitasi emas oleh TMS di Sangihe harus ditolak karena akan menimbulkan dampak buruk bagi warga.
Pertama, wilayah izin produksi yang diberikan sebesar 42 ribu hektare atau setengah dari luas Pulau Sangihe yang dihuni lebih dari 131 ribu jiwa. UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (WP3K) menegaskan pulau-pulau dengan luas daratan kurang dari 2.000 kilometer persegi masuk dalam kategori pulau kecil yang dilarang ditambang. Pulau Sangihe hanya berukuran sekitar 736 kilometer persegi sehingga dalam UU itu tidak layak ditambang.
Kedua, Pulau Sangihe merupakan kawasan rawan gempa bumi karena berada di atas dua lempeng besar, yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik, dan dua lempeng kecil, yakni lempeng Sangihe dan lempeng Laut Maluku. Ditambah lagi, adanya tiga gunung api aktif yang menyebabkan daerah ini rawan bencana. Di samping itu, tempat pembuangan limbah juga berpotensi bocor dan mencemari lingkungan karena dibangun di atas tanah rawan gempa dan erupsi gunung api.
Ketiga, aktivitas pertambangan akan merusak kawasan hutan lindung Gunung Sahendaruman yang menjadi habitat satwa endemik Pulau Sangihe dan juga sumber mata air bagi masyarakat. Burung langka seriwang sangihe yang berukuran sekitar 18 sentimeter, berwarna kebiruan dan pemakan serangga jumlahnya kini kritis dan semakin terancam akibat rencana eksploitasi emas yang berpotensi menghancurkan hutan tempat mereka tinggal. Jika itu terjadi, tak hanya manu' niu yang terancam punah. Masih ada sembilan jenis burung endemik lainnya, empat berstatus kritis dan lima lainnya rentan, yang hidup di wilayah hutan lindung Gunung Sahendaruman, Kepulauan Sangihe, yang juga turut terancam.
Menurut Anius Dadoali, warga lokal yang menemukan seriwang sangihe tahun 1998, jika tambang masuk, burung mati dan punah, hutan rusak lalu terjadi longsor, masyarakat kehilangan kehidupan. Anius Dadoali, atau yang biasa dipanggil Bu Niu telah menyerahkan nyaris 23 tahun hidupnya untuk menjaga manu' niu dan burung-burung endemik lainnya dari serangan warga lokal yang membuka lahan dan perburuan liar, mengaku tidak bisa berbuat apa-apa, terlebih bila ancaman itu datang dari negara.
Keempat, proses penyusunan analisis dampak lingkungan (AMDAL) untuk mendapatkan persetujuan kelayakan lingkungan tidak melibatkan masyarakat Sangihe, khususnya di wilayah lingkar tambang. Masyarakat baru mendengar izin lingkungan telah keluar saat TMS melakukan sosialisasi ke masyarakat untuk pembebasan lahan. Warga tidak tahu kapan dan melibatkan siapa AMDAL itu saat dibuat. Bagaimana hasilnya dan mengapa tertutup? Namun kini masyarakat lingkar tambang telah menyatukan suara untuk tidak menjual lahannya dan menolak kehadiran TMS. Di Kampung Bowone, 90% lebih sudah menandatangani pernyataan penolakan. Warga berharap Presiden mencabut izin lingkungan dari provinsi dan IUP yang diterbitkan Kementerian ESDM.
Salah seorang warga Sangihe, seorang ibu rumah tangga, Elbi Pieter, turut menyuarakan penolakan terhadap rencana penambangan emas di tempat tinggalnya. Ia membayangkan jika perusahaan tambang beroperasi di tanah kelahirannya maka air laut akan tercemar, air minum menjadi beracun, perkebunan dan perbukitan lenyap, serta mata pencaharian penduduk yang mayoritas nelayan hilang. Ia tidak percaya janji-janji kesejahteraan karena terbiasa hidup bukan dari hasil perusahaan, tapi karena keringat dan kerja keras masyarakat di tempat ini. Elbi mengaku kaget ketika mendengar perusahaan telah memegang surat keputusan kelayakan lingkungan hidup kegiatan penambangan dan izin usaha pertambangan saat sosialisasi pembebasan lahan ke masyarakat, pada 24 Maret lalu. Ia berharap kepada Bapak Presiden Joko Widodo agar turun tangan sehingga izin yang dipegang TMS dicabut dan masyarakat Sangihe terbebas dari ketakutan dan kecemasan yang sangat. “Kami ingin hidup tenang seperti dulu," ujar Elbi yang memiliki lima hektare lahan.
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe, melalui Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe Melanchton Herry Wolff juga mengatakan tidak dilibatkan dalam proses pengurusan izin lingkungan dan eksploitasi yang diterbitkan untuk TMS. Karena proses pertambangan kewenangannya sudah ditarik dari kabupaten ke pusat dan provinsi. Herry mengaku baru mengetahui izin telah diberikan saat TMS datang dan melapor ke pimpinan daerah. Ijin AMDAL yang langsung ditangani pusat tanpa melalui pemda ini merupakan buah dari penerapan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Memang, UU ini lebih mengedepankan kepentingan para pemilik modal dan mengabaikan dampaknya yang merugikan rakyat kecil yakni pencermaran lingkungan dan kerusakan yang diakibatkan oleh eksplorasi tambang.
Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe Helmud Hontong juga sempat mengajukan surat permohonan pembatalan izin TMS ke Menteri ESDM. Namun belum sempat menindaklanjuti, dia meninggal dunia saat perjalanan pulang dari Bali menuju Manado via Makassar, Rabu (09/06). Salah satu poin dalam surat itu, Helmud menjelaskan bahwa usaha pertambangan bertentangan dengan UU tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kemudian, aktivitas pertambangan berpotensi merusak lingkungan daratan, pantai, komunitas mangrove, terumbu karang dan biota yang ada di dalamnya.
Itulah dampak buruk dari rencana eksplorasi emas di pulau Sangihe. Disamping mengancam punahnya satwa langka juga berpotensi merusak lingkungan di wilayah sekitar pulau Sangihe.
Strategi Islam dalam Menyelesaikan Masalah Pertambangan
Kekayaan alam yang terdapat di bumi termasuk tambang emas yang berada di Pulau Sangihe, merupakan pemberian Allah SWT kepada hamba-Nya sebagai sarana memenuhi kebutuhannya agar dapat hidup sejahtera dan makmur serta jauh dari kemiskinan.
Allah SWT berfirman:
] هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا … (٢٩) [
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu …”. (Q.S. Al-Baqarah [2]:29)
Dengan demikian, tambang emas Sangihe merupakan bagian dari Sumber Daya Alam (SDA) yang berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan semua manusia dan penunjang kehidupan mereka di dunia ini sebagai kebaikan untuk dimanfaatkan oleh manusia dalam rangka mengabdi dan menjalankan perintah Allah SWT. Lantas, siapakah yang seharusnya mengelola tambang emas Sangihe?
Dalam pandangan Islam, kekayaan alam seperti tambang Sangihe merupakan harta milik umum yang menguasai hajat hidup masyarakat dan harus dikelola oleh negara. Negaralah yang mewakili rakyat melakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang emas Sangihe ini serta mengelola hasilnya. Negara bukanlah sebagai pemilik atau yang menguasai kekayaan itu. Semua hasil bersihnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan yang lain, bisa berupa; pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan, listrik, air, transportasi, dan sebagainya.
Keharusan pengelolaan tambang emas Sangihe tersebut, statusnya sama seperti tambang garam yang pernah diberikan kepada kepada sahabat Abyadh bin Hammal. Rasulullah SAW pada waktu itu sebagai hâkim (kepala Negara) mengambil kebijakan untuk memberikan tambang kepada Abyadh bin Hammal al-Muzani. Namun kebijakan tersebut kemudian ditarik kembali oleh Rasulullah SAW setelah mengetahui tambang yang diberikan kepada Abyadh bin Hammal laksana air yang mengalir terus menerus.
Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam—Ibnu al-Mutawakkil berkata—yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul SAW memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia air yang terus mengalir.” Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata: Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal) (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabarani. Redaksi menurut Abu Dawud).
Dengan demikian tambang yang depositnya besar seperti tambang emas Sangihe, berdasarkan hadis Abyadh bin Hamal itu, tidak boleh diserahkan dan tidak boleh dimiliki oleh individu. Penyamaannya dengan al-mâ‘u al-‘iddu, yang itu disetujui dan dibenarkan oleh Rasul SAW dan menjadi sebab penarikan beliau atas pemberiannya kepada Abyadh, juga mengisyaratkan bahwa status kepemilikannya seperti air yang terus mengalir yakni seperti halnya mata air. Artinya, sama seperti mata air yang terus mengalir, status tambang yang depositnya besar itu adalah milik umum, yakni semua rakyat berserikat di dalamnya.
Jadi yang menjadi penentu adalah jumlah deposit bahan tambang itu, tanpa membedakan jenisnya, apakah bahan tambang permukaan yang untuk mengambilnya tidak memerlukan alat dan biaya; ataukah bahan tambang di dalam tanah yang untuk mengambilnya perlu alat, biaya dan keahlian. Selanjutnya, negaralah (imam atau khalifah) yang menentukan batasan jumlah deposit suatu bahan tambang yang sudah dinilai memenuhi sifat al-mâ‘u al-‘iddu, yang karenanya tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta; melainkan statusnya adalah milik umum seluruh rakyat.
Pada kebijakan Rasulullah SAW tersebut, berarti negaralah sebagai pengelola terhadap kekayaan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup masyarakat, pada sisi lain, individu diperbolehkan menguasai kekayaan sumber daya alam (area tambang) jika luas dan depositnya sedikit, dan hasil eksploitasinya dikenakan khumus atau seperlimanya untuk kas Bait al-Mâl sebagai bagian pemasukan dari harta fai.
Sementara kekayaan alam atau barang tambang seperti tambang emas Sangihe yang jumlahnya melimpah ruah dan tidak terbatas laksana air mengalir, maka individu maupun swasta baik perorangan maupun perusahaan dilarang menguasainya sebab tambang tersebut termasuk harta milik umum yang menguasai hajat hidup masyarakat, harus dikelola oleh Negara sedangkan hasil pengelolaannya dimasukkan dalam kas Bait al-Mâl, selanjutnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk sarana lain untuk kemakmuran dan kesejahteraan mereka, tentu setelah Negara mengeluarkan semua biaya operasional pengelolaannya.
Sebagai penegasan bahwa tambang adalah milik rakyat dan termasuk kepemilikan umum, Rasulullah SAW bersabda:
« الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ : فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ» (رواه أحمد)
“Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang dan api.” (H.R. Ahmad). (Abû Abdullâh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilâl bin Asad asy-Syaibânî, Musnad Imâm Ahmad, Juz 38, Nomor 23082, (t.tp.: Muassasah ar-Risâlah, 2001), Cet. ke-1, h. 174.)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW bersabda:
« النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَأِ وَالنَّارِ » (رواه أبو عبيد)
Rasûlullâh SAW bersabda: “Orang-orang (Masyarakat) bersekutu dalam hal: air, padang gembalaan dan api” (H.R. Abû ‘Ubaid).
Hadis ini juga menegaskan bahwa yang termasuk harta milik umum yang menguasai hajat hidup masyarakat adalah semua kekayaan alam yang sifat pembentukannya menghalangi individu untuk mengeksploitasinya.
Penyerahan kekayaan alam termasuk tambang ke pihak asing adalah akibat penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Sesuai dengan doktrin kapitalisme, negara berwenang menentukan kontrak pemberian konsesi kekayaan alam kepada swasta dan asing. Wewenang itu dilegalkan melalui pembuatan peraturan dan UU. Hal itu sangat dimungkinkan karena penerapan sistem demokrasi memberikan wewenang membuat hukum kepada manusia, yakni pemerintah dan Wakil Rakyat. Karena itu, jika sudah terlanjur ada peraturan dan UU yang menghambat, maka peraturan dan UU itu tinggal diubah saja. Itulah yang terjadi selama ini.
Hal itu tidak akan terjadi jika syariat Islam diterapkan secara total dan menyeluruh. Dalam sistem Islam, Allah telah menetapkan kekayaan alam sebagai milik seluruh rakyat. Rezim tidak punya wewenang untuk menyerahkan kekayaan milik rakyat itu kepada swasta apalagi asing. Islam justru mengharuskan rezim mengelola kekayaan alam termasuk tambang secara langsung dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat secara langsung atau dalam bentuk pelayanan dan fasilitas.
Siapapun tidak bisa mengubah ketentuan hukum ini. Sebab, dalam Islam kedaulatan ada di tangan syariah bukan pada rakyat atau manusia. Rakyat atau manusia sama sekali tak punya wewenang untuk membuat aturan dan hukum. Rezim justru berkewajiban menerapkan hukum syariah. Dengan penerapan syariah secara kaffah, maka lobi-lobi TMS baik tertutup maupun terang-terangan atau penyerahan pengelolaan pertambangan kepada swasta tidak akan pernah terjadi.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ لِمَا يُحۡيِيكُمۡۖ … ٢٤
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu…”, (QS. Al-Anfâl [8] : 24)
Jadi, persoalan sebenarnya bukan pada keahlian, modal dan teknologi buktinya mayoritas karyawan dan pekerjanya orang asli Indonesia, kalau modal dan teknologi juga pemerintah biasa berutang dan dapat menjaminkannya, dengan pendapatan yang besar tersebut utang bisa segera dilunasi. Akan tetapi permasalahan utamanya adalah kemauan untuk mengelola secara utuh dan berlepas total dari cengkeraman asing penjajah.
Kesimpulan
Potensi kekayaan alam di pulau Sangihe sangat melimpah mulai dari gunung api, aneka flora dan fauna langka hingga biota laut yang sangat indah. Sayangnya kekayaan alam tersebut terancam eksplorasi penambangan emas yang akan dilakukan oleh PT TMS. Potensi emas di pulau Sangihe setiap tahunnya, bijih emas yang akan dikeruk mencapai 904,471 ton dari 4 juta ton batuan.
Dampak buruk yang akan dialami warga sekitar Pulau Sangihe jika eksplorasi emas ini tetap dilanjutkan adalah
aktivitas pertambangan emas ini berpotensi merusak lingkungan daratan, pantai, komunitas mangrove, terumbu karang dan biota yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu, eksplorasi penambangan ini harus ditolak karena beberapa alasan.
Pertama: Pulau Sangihe termasuk dalam kategori pulau kecil yang dilarang ditambang. Pulau Sangihe hanya berukuran sekitar 736 kilometer persegi sehingga dalam UU itu tidak layak ditambang.
Kedua: Pulau Sangihe merupakan kawasan rawan gempa bumi dan erupsi gunung api.
Ketiga: aktivitas pertambangan akan merusak kawasan hutan lindung Gunung Sahendaruman yang menjadi habitat satwa endemik Pulau Sangihe dan juga sumber mata air bagi masyarakat.
Dan keempat: proses penyusunan analisis dampak lingkungan (AMDAL) untuk mendapatkan persetujuan kelayakan lingkungan tidak melibatkan masyarakat Sangihe, khususnya di wilayah lingkar tambang.
Adapun strategi Islam dalam mengatasi masalah pertambangan yaitu pengelolaan tambang emas di pulau Sangihe yang jumlahnya melimpah ruah dan tidak terbatas laksana air mengalir, maka individu maupun swasta baik perorangan maupun perusahaan dilarang menguasainya. Sebab tambang tersebut termasuk harta milik umum yang menguasai hajat hidup masyarakat. Tambang tersebut harus dikelola oleh Negara sedangkan hasil pengelolaannya dimasukkan dalam kas Bait al-Mâl, selanjutnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk sarana lain untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Referensi
1. Jawahir Gustav Rizal, “Profil Kepulauan Sangihe, Daerah yang Akan Dijadikan Tambang Emas”, 2021.
2. Raja Eben Lumbanrau, “Pertambangan emas Pulau Sangihe: Ancaman hilangnya burung endemik yang bangkit dari 100 tahun 'kepunahan'”, 2021.
3. Achmad Fathoni, “Emas di Sangihe Milik Rakyat, Harusnya Dikelola oleh Negara untuk Rakyat”, 2021.
4. Yahya Abdurrahman, “Tambang Milik Umum dan Milik Pribadi”, 2019
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst
Oleh: Achmad Mu’it
(Analis Politik Islam & Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)
0 Komentar