TintaSiyasi.com-- Sebagaimana diberitakan oleh Kompas.com (19 Pebruari 2021), Presiden Jokowi telah menandatangani Perpres Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease.
Perpres tersebut ditandatangani pada 9 Februari 2021. Ketentuan mengenai berbagai sanksi bagi penolak vaksin tercantum dalam Pasal 13A dalam Perpres tersebut. Pasal itu menyebutkan, setiap orang yang ditetapkan sebagai sasaran penerima Vaksin Covid-19 berdasarkan pendataan wajib mengikuti vaksinasi Covid-19.
Mereka yang ditetapkan sebagai penerima vaksin Covid-19 tetapi tidak mengikuti vaksinasi bisa mendapatkan sanksi berupa:
(1) Penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial;
(2) Penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan dan atau Denda;
(3) Pengenaan sanksi administratif tersebut dilakukan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah atau badan sesuai kewenangannya.
Apakah ancaman represif ini akan mendorong kepatuhan rakyat terhadap perintah penguasa atau sebaliknya berpotensi menimbulkan civil disobidience? Sebenarnya apa yang membuat rakyat mematuhi hukum penguasa?
Why people obey the law, demikian satu titel buku yang dikarang oleh Tom R. Tyler (1991) yang memuat sebuah ulasan yang sangat bagus tentang kepatuhan rakyat terhadap hukum. Oleh Tyler disebutkan bahwa ada 2 faktor yang memengaruhi kepatuhan rakyat terhadap hukum. Pertama, disebut instrumental perspective yang berarti bahwa kepatuhan hukum disebabkan oleh karena adanya pengutamaan SANKSI sebagai hukuman atas ketidakpatuhan (disobidience). Jadi rakyat patuh hukum karena takut hukuman. Kedua, disebut normative perspective yang berarti bahwa kepatuhan hukum disebabkan oleh karena pengutamaan kesadaran atas aturan (legitimasi). Rakyat mematuhi hukum karena adanya kesadaran bahwa aturan itu sebenarnya mereka jugalah yang membuatnya melalui para wakilnya di badan-badan kelembagaan negara.
Atas dasar teori kepatuhan hukum Tom R. Tyler ini, ketika suatu pemerintahan yang mengutamakan pengenaan sanksi dari pada kesadaran rakyat dalam mematuhi hukum maka pemerintahan negara ini telah terjebak dalam sistem otoritarianisme dengan hukumnya yang sangat represif. Sistem kekuasaan otoritarianisme tersebut sebenarnya merupakan tahap awal atau mungkin pengulangan fase kekuasaan dalam teori banditisme (Moncur Olson: 1993) sebagaimana dikutip oleh Didik J Rachbini dalam buku Teori Bandit.
Menurut Mancur Olson kekuasaan berevolusi dari satu tahap ke tahap berikutnya yang terbagi menjadi 3 tahap, yaitu:
1. Evolusi tahap awal dan asal muasal kekuasaan adalah anarkhi di mana tidak ada sistem pemerintahan dan tanpa demokrasi. Di dalam sistem anarkhi seperti ini yang berkuasa adalah orang kuat secara fisik, memiliki senjata dan berkelompok sesama orang kuat.Tidak ada aturan main, tidak ada hukum, yang ada hukum rimba di mana yang kuat berkuasa. Sekelompok orang yang paling awal berkuasa adalah bandit berpindah (roving bandit theory). Bandit ini adalah bandit yang tidak punya otak cerdas karena memakai kekuasaan hanya dengan merampok dan menghancurkan desa-desa atau kota-kota untuk diambil hartanya.
2. Lalu terjadi evolusi pemikiran kelompok bagaimana agar kehidupan secara kolektif tetap berkesinambungan (sustainable). Ide ini dikembangkan dengan bertransformasi dari bandit berpindah (roving bandit) menjadi bandit yang menetap (stationary bandit) untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara bandit tetapi sumber dayanya tetap ada. Dengan pikiran cerdas dari sebagian bandit itu, maka sekelompok bandit tidak lagi berpindah, merampok dan menghancurkan semuanya tetapi mulai menetap dan tidak merusak semuanya (stationary bandit).
3. Pada evolusi berikutnya, semakin banyak orang cerdas dan para bandit itu pun mempunyai pemikiran transformatif untuk menyerap aturan main (rule of law). Para bandit itu pada tahap ini masuk menjadi insan yang beradab dan sistem universal yang terbaik. demokrasi telah terbangun. Di dalam sistem demokrasi universal muncul sistem norma sosial politik, undang-undang, sistem demokrasi, parlemen, pemerintahan, oposisi, check and balance. Tanpa itu semua, maka kekuasaan dan penguasa kembali lagi masuk ke tahap satu atau tahap dua – banditisme, otoritaniarisme, dan anti demokrasi.
Perilaku banditisme dengan kekuasaan adalah kimiawi yang sangat cocok dan akan bersenyawa ketika tidak ada rule of law, anti kritik, anti check and balace, memberangus kritikus, mengerahkan intel, polisi mirip komunis soviet lama. Orang yang anti kritik, anti check and balance dilihat dari logika teori ini tergolong pro bandit meskipun dengan alasan mencintai penguasa yang menjadi idolanya, yang mirip artis, pangeran tampan.
Sangat menarik penyataaan Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Didik J Rachbini tentang `Outlook Democracy LP3ES 2021 (11/1/2020)` yang salah satunya membahas soal kemunduran demokrasi di Indonesia karena kuatnya kecendrungan wajah pemerintahan otoriter dan praktik diktator. Didik lebih lanjut menyatakan bahwa Presiden dari perilakunya tidak menunjukkan komitmen terhadap demokrasi dalam pengambilan keputusan dan tindakannya. Kecenderungannya otoriter dan praktek diktator semakin kuat ketika oposisi hilang dan masyarakat sipil lemah.
Yang lebih memprihatinkan ketika Rachbini menyatakan bahwa pada saat pendemi, ketika rakyat dan oposisi lemah banditisme itu pun memperoleh tempatnya dalam tatanan bernegara. Maka, kecendrungan berbalik menuju otoriter mulai dan bahkan sudah terjadi. Sungguh ironis ketika demokrasi "dying" oleh karena watak otoritarianisme yang mengeksplotasi hukum demi kepentingan politik atau dapat dikatakan menjadikan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan. Kepatuhan hukum dicapai dengan mengutamakan ancaman (treath) berupa sanksi bukan kesadaran berupa legitimasi atas hukum yang diberlakukan.
Atas alasan pandemi, seringkali penguasa berdalih menjalankan kekuasaan secara extraordinary dengan mengutamakan ancaman untuk menciptakan kepatuhan rakyatnya terhadap hukum.
Terkait dengan vaksinasi, pada beberapa kesempatan Wamen Kemenkum HAM Edward Omar Hiariej menyatakan bahwa masyarakat yang menolak vaksinasi Covid-19 dapat dijatuhi hukuman pidana paling lama 1 tahun penjara atau denda paling banyak 100 juta rupiah.
Ketentuan pidana bagi penolak vaksinasi diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 93 UU tersebut menyatakan, setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan/atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat bisa dipidana dengan penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp 100 juta. Sementara itu, pada pasal 9 UU yang sama, disebutkan bahwa setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Sementara itu ada kesadaran bahwa hak untuk menerima atau menolak untuk divaksin Covid-19, merupakan hak asasi sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Bab III Pasal 5 yang berbunyi: "Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya".
Liputan6.com, Jenewa (20/12/2020) mewartakan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa membujuk orang tentang manfaat vaksin COVID-19 akan jauh lebih efektif dari pada mencoba membuat vaksinasi sebagai suatu kewajiban. WHO mengatakan itu akan tergantung pada masing-masing negara tentang bagaimana mereka ingin melakukan kampanye vaksinasi guna melawan pandemi Virus Corona Covid-19. Badan kesehatan PBB tersebut bersikeras bahwa mewajibkan vaksinasi terhadap Virus Corona baru adalah jalan yang salah. Bahkan, pihaknya menambahkan ada contoh di masa lalu yang mewajibkan penggunaan vaksin hanya untuk melihatnya menjadi bumerang dengan perlawanan yang lebih besar terhadap mereka.
Dalam perspektif teori kepatuhan hukum dan teori banditisme sebagaimana disebutkan di muka sekiranya dapat diduga bahwa di era pandemi ini, jika pemerintah mengutamakan ancaman pidana terhadap para penolak vaksinasi berarti pemerintah laksana bandit dalam evolusi kekuasaan yang disebut stationary bandit dengan karakter tidak ada rule of law, anti kritik, anti check and balance, memberangus kritikus, mengerahkan intel, polisi. Oleh karenanya siapa pun yang anti kritik, anti check and balance dilihat dari logika teori ini tergolong pro bandit meskipun dengan alasan mencintai penguasa yang menjadi idolanya, yang mirip artis, pangeran tampan.
Agar pemerintah tidak disebut sebagai stationary bandit, alangkah baiknya diperhatikan kedua sarana kepatuhan hukum sebagaimana dikatakan oleh Tom R. Tyler. Di samping itu Pemerintah seharusnya tidak anti kritik, apalagi memenjarakan para penolak vaksinasi yang memiliki hak asasi yang harus pula dihormati. Untuk selanjutnya, Pemerintah melalui kerja sama dengan berbagai elemen masyarakat menumbuhkan kesadaran masyarakat khususnya yang belum menerima program vaksinasi Covid-19 tersebut. Tawaran lain berupa vaksinasi mandiri yang dengan biaya yang lebih murah, misalnya perlu disosialisasikan sembari meyakinkan secara ilmiah tentang manfaat vaksin Covid-19 bagi diri, keluarga, masyarakat dan bangsa bahkan demi kelangsungan hidup manusia di muka bumi.
Main ancam dengan pidana denda dan penjara hanya akan semakin menumbuhkan resistensi perlawanan rakyat dan mengesankan seolah pemerintahan dijalankan secara otoriter, antikritik dan antidemokrasi. Saya yakin, banditisme itu cara memerintah yang jauh dari karakter bangsa Indonesia. Tabik!
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum
Pakar Hukum dan Masyarakat
Semarang, Kamis: 8 Juli 2021
0 Komentar