TintaSiyasi.com-- Disinyalir dari berita YouTuber Muhammad Kace alias Muhammad Kece ditangkap oleh penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, "Ya, sudah tersangka," kata Kadiv Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono saat dikonfirmasi (CNN Indonesia 25/8).
Video M Kace yang diunggah menyebut Rasulullah SAW sebagai pengikut jin jelas menebar kebencian dan permusuhan terhadap umat Islam. Tak hanya itu, ia juga berani menghina dan merendahkan Al-Qur’an. Video ceramah Muhammad Kece menjadi kontroversi usai diunggah ke kanal YouTubenya. Salah satu yang mencuat ialah terkait kitab kuning dan Nabi Muhammad SAW yang diunggah dengan judul 'Kitab Kuning Membingungkan'. "Kitab kuning ini hanya usaha manusia, ya barangkali benar, tapi apakah menyimpang dari Quran, ya. Kenapa? Karena Quran tidak memerintahkan harus membaca hadis dan fiqih. Al-Qur'an lebih memberikan isyarat orang harus membaca Taurat dan Injil," kata Muhammad Kace dalam video tersebut.
Laporan penistaan agama terjadi. Tuntutan dan desakan para tokoh ormas dan netizen menggema di jagat maya dengan tagar #SegeraTangkapMKece. Penangkapan akhirnya terjadi di Bali pada Rabu 25 Agustus setelah penyidikan Bareskrim. Kominfo pun diberitakan memblokir puluhan video unggahan M Kece.
Pakar Hukum Pidana, Suparji Ahmad, mengatakan, ucapan YouTuber M Kece yang menyinggung Nabi Muhammad SAW menjurus pada penistaan agama. Menurutnya, tindakan MK telah memenuhi unsur 156a KUHP. Suparji mengatakan, pasal tersebut berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa (Republika, 22/8/2021).
Penistaan agama yang terus saja berulang mengindikasikan bahwa negara tidak mampu melindungi kehormatan agama. Bahkan kasus M Kece ini diputar balik dengan kriminalisasi ulama. Peran negara hilang ketika umat mayoritas di negeri ini terzalimi dengan berbagai ujaran kebencian terhadap Islam. Sebelumnya, kasus-kasus penistaan terhadap Islam hanya berakhir dengan permintaan maaf. Islam jadi bahan lelucon dan candaan yang tidak bermutu.
Masih ingat bagaimana kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Josep Paul Zhang? Hingga saat ini, kasus tersebut seperti menggantung. Ia ditetapkan sebagai tersangka dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang. Perkembangan kasus tersebut dikatakan terkendala yurisdiksi. Beberapa pihak juga membandingkan perkara para penista agama dengan kasus kriminalisasi ulama seperti H4erEs yang dinilai gercep dan dipercepat tindakan hukumnya.
Berulang Kasus Penistaan Agama dan Diskriminatif Kriminalisasi Ulama Terjadi karena Ide Kebebasan Kapitalisme
Peristiwa penistaan agama yang melekat di benak umat ucapan Ahok hingga menjebloskannya ke dalam penjara. Lalu Sukmawati yang membandingkan Rasulullah Muhammad SAW dengan ayahnya. Sebelumnya, Sukmawati membuat puisi yang menyatakan wanita berkonde lebih indah daripada wanita bercadar dan suara kidung ibu Indonesia lebih indah dari suara azan pada November 2019. Agustus 2020 terjadi penyobekan dan pembuangan lembaran Al-Qur'an di jalanan Medan, yang dilakukan Doni Irawan Malay.
Berikutnya penghinaan terhadap perempuan bercadar di akun Facebook Miftah. Apollinaris Darmawan, melakukan penghinaan melalui jejaring medsos. Dalam akun Twitternya, dia menyebut Al-Qur'an itu sampah, Nabi Muhammad SAW hidup dari hasil rampasan, membunuh, dan main perempuan. Bahkan dia sering menyebut Nabi Muhammad SAW dengan kata-kata kasar. Termasuk juga melecehkan ibadah menyembelih hewan kurban saat Idul Adha. Apollinaris menuding ibadah kurban itu atas kemauan seorang buta huruf yang mengaku nabi (Muhammad SAW). Maka, dia pun mempertanyakan untuk apa hewan yang tak berdosa tersebut dikorbankan.
Ahok divonis 2 tahun penjara, realitasnya 1 tahun 8 bulan 15 hari dan saat ini menjabat kedudukan Komut Pertamina. Doni di vonis 3 tahun penjara, Sukmawati bebas hanya dengan minta maaf. Penghina wanita bercadar dijerat pasal 28 ayat (2) UU ITE dan pelempar Al-Qur'an di klaim memiliki gangguan psikis. Apollinaris di vonis 5 tahun penjara. Kabarnya M Kace di vonis 6 tahun.
Kondisi tersebut tidak sebanding dengan kriminalisasi ulama yang selalu terdapat perlakuan 'spesial' karena pesanan AS sebagaimana Ustaz Abu Bakar Ba'asyir. HaErEs yang dijerat dengan pasal karet setelah tuduhan pelanggaran prokes dengan denda 50 juta terbayar lunas. Dan tidak bisa dijerat dengan masalah kerumunan massa juga karena penguasa inkonsisten dengan beberapa masalah berkaitan keluarga pemimpin dan aparat negara. Masih juga terjadi pembekuan rekening-rekening pribadi dan anggota EfPeI.
Undang-undang yang ada tentang Penodaan Agama, tidak efektif menghentikan semua itu. Ditambah lagi penegakan hukumnya seringkali tidak memenuhi rasa keadilan. Sering kita dapati pelakunya bahkan lepas dari jeratan hukum hanya karena meminta maaf. Ini yang membuat orang tidak jera menista agama, justru malah menambah daftar nama penista agama. Di negeri yang menganut sistem demokrasi kapitalisme seperti negeri kita ini, atas nama HAM seseorang bisa bebas bertindak sesuai dengan keinginannya. Selama tidak ada yang terganggu, dianggap sah-sah saja, termasuk kasus ini.
Hal ini wajar, karena sistem demokrasi kapitalisme menjadikan manfaat sebagai asas dalam kehidupan dan dalam implementasinya, sistem demokrasi kapitalisme melahirkan liberalisme atau kebebasan. Liberalisme dalam sistem demokrasi kapitalisme mengajarkan empat kebebasan yang sangat destruktif, yaitu kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan, dan berperilaku. Empat kebebasan inilah yang saat ini mencengkeram kuat negeri ini, yang menjadi biang keladi munculnya berbagai macam pemikiran dan tingkah laku yang menyimpang. Kebebasan berpendapat telah melahirkan orang-orang yang berani menyimpangkan kebenaran Islam, menghina dan menghujat ajaran Islam yang sudah pasti kebenarannya, seperti kebenaran Al-Qur'an dan kemaksuman Nabi SAW.
Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan mengungkapkan tiga hal terkait tindakan M Kece yaitu mencampuradukkan dua ajaran agama yang jelas-jelas berbeda; tidak memiliki otoritas atau kewenangan untuk menafsirkan ayat Al-Qur'an, apalagi dalam menafsirkan menurut penafsiran yang bersangkutan; dan terdapat unsur ujaran kebencian terhadap Nabi Muhammad SAW. Chandra menilai, bahwa unsur perbuatan tindak pidananya berupa permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia adalah perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan Pasal 156a KUHP. “Dan unsur dengan sengaja mengeluarkan perasaan atau perbuatan permusuhan adalah menyatakan perasaan permusuhan atau kebencian atau meremehkan agama tertentu,” ujarnya (Mediaumat.news, 24/8/21). Seorang yang murtad dari Islam lalu berpakaian ala ustaz dalam siarannya mengganti ayat Al-Qur'an untuk dibandingkan dengan Injil jelas disengaja untuk menghina agama Islam.
Para penista agama Islam terlindungi kebebasan untuk melontarkan pemikiran atau pendapatnya sesuai hawa nafsunya, tanpa berpikir apakah pemikiran atau pendapatnya itu benar atau tidak, menyakitkan orang banyak atau tidak, apakah pemikiranya itu sesat atau menyesatkan orang lain atau tidak, memberikan dampak buruk di tengah-tengah masyarakat atau tidak. Selama tidak mengganggu kebebasan orang lain, sah-sah saja. Inilah yang sesungguhnya membahayakan umat Islam.
Peran Hukum Negara dalam Penanganan Kasus Penistaan Agama dan Kriminalisasi Ulama
Penangkapan M Kece juga diikuti dengan penangkapan Yahya Waloni pada Kamis 26 Agustus oleh Tim Bareskrim di Cibubur (Detik.com, 26/8/2021). Cuitan Abu Janda dan kroni-kroninya yang membela tindakan M Kece menyamakanya dengan Yahya Waloni yang diklaim menyerang perasaan umat kristiani disambut dengan tindakan Bareskrim. Abu Janda justru menilai bahwa penangkapan Kece menunjukkan penegakan hukum di Indonesia cacat. Dia mengatakan demikian dengan merujuk pada kasus-kasus penistaan agama lain yang dilakukan oleh sosok-sosok yang lain. Sosok-sosok yang dia maksud itu antara lain Ustaz Abdul Somad (UAS), Yahya Waloni, dan Menachem Ali (KNew.id 25/8/2021). Luar biasanya Bareskrim tidak perlu gertakan atau ancaman aksi massa untuk menahan Yahya Waloni. Hawa pluralisme menguat tajam. Tindakan tersebut semakin menguatkan dugaan anti Islam yang acapkali terjadi. Mengapa orang yang mengklaim dirinya Islam malah tidak sakit hati Rasul dan agamanya dihina? Jika hal demikian dilakukan demi rating maka lolosnya Abu Janda berkali-kali dari laporan atas dirinya juga menyisakan pertanyaan besar.
Bagaimana dengan penista-penista lainnya? Seperti kasus youtuber nomor 1 di Indonesia, Atta Halilintar yang mempermainkan ibadah shalat; juga pembuat Game Remi yang menghina Nabi Muhammad SAW? Ditambah fakta miris, Ahok, seorang mantan narapidana penista agama, setelah dijeruji malah diangkat menjadi komisaris BUMN. Sungguh menyakitkan hati umat Muslim Indonesia. Seolah semakin subur, terus-menerus negeri ini memproduksi penista agama.
Jika kaum Muslimin di Indonesia diam saja terkait kasus Ahok, Sukmawati, Apollinaris atau kasus yang saat ini terjadi, maka mereka akan aman. Maka haruskah selalu rakyat menuntut keadilan demi membela agama? Tindakan polisi terhadap M Kece Pemuda Muhammadiyah Jakpus mengatakan akan memberikan waktu kepada polisi selama 3x24 jam untuk menangkap Kece. Jika tidak, pihaknya akan melakukan konsolidasi untuk menggelar aksi (Detik.com, 25/8/2021). Prof Suteki menyatakan "Unlawful justice (keadilan di luar hukum) adalah pintu masuk elegi kehancuran penegakan hukum dan HAM di negeri ini” (Tintasiyasi, 28/3/2021).
Sebenarnya, sanksi terhadap penista agama di negeri ini sudah ada. Yaitu KUHP Pasal 156(a) yang isinya menyasar setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun. Pelanggaran Pasal 156(a) dipidana penjara selama-lamanya lima tahun. Namun, apakah dengan sanksi lima tahun itu cukup? Terjaminkah sanksi yang dijatuhkan tak akan melahirkan para penista agama lagi?
Nyatanya, UU yang dibuat seolah tebang pilih dan tak mampu melindungi agama. Penista agama disanksi maksimal 5 tahun, sementara ulama sekaliber H4eReS dijatuhi pasal karet 4 tahun dan ada kemungkinan di jerat hukum yang lain entah apa itu. Sebagaimana Habbibina Syekh Abu yang hingga hari ini belum keluar dan bahkan tidak boleh keluar penahanan untuk pengobatan sakitnya. Miris.
Bahkan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi mengimbau semua umat beragama untuk menempatkan konstitusi di atas kitab suci dalam berbangsa dan bernegara. Adapun untuk urusan beragama, kembali ke masing-masing pribadi masyarakat (Beritalima, 13/2/2020). UU yang diterapkan dalam negeri ini tak bisa berdiri sendiri. Ada sebuah ideologi yang menaungi seluruh UU yang tercipta, yaitu ideologi sekularisme dan kapitalisme. Sehingga negara tidak menempatkan agama dalam posisi yang mulia. Dalam kacamata sekuler, agama hanya diposisikan sebagai salah satu dari sekian nilai/norma yang menjadi rujukan dalam pembuatan UU. Keberadaan agama bukanlah satu-satunya rujukan dalam mengatur kehidupan manusia.
Wajar akhirnya agama dapat dinistakan. Padahal, seharusnya agama menjadi satu-satunya sumber konstitusi dan perundang-undangan. Agama harus menjadi arah pandang kehidupan umat manusia. Jika Islam tidak diposisikan sebagai landasan konstitusi dan arah pandang manusia, namun hanya sebatas salah satu nilai yang ada di masyarakat, jangan pernah berharap pelecehan terhadap agama berhenti.
Begitupun ideologi kapitalisme yang sadar tidak sadar diadopsi negeri ini. Telah mendorong manusia untuk mendapatkan materi dengan segala cara, tak peduli halal atau tidak, termasuk menghina agama. Oleh karena itu, sudah bisa dipastikan, penghinaan terhadap Rasul SAW dan ajaran Islam akan tetap ada jika sistem sekuler dan kapitalisme masih bercokol di negeri ini. Di mana agama hanya dijadikan pelengkap semata tanpa jadi pijakan seutuhnya.
Metode dan Strategi Negara dalam Penanganan Kasus Penistaan terhadap Agama Islam Tidak Dibedakan dengan Kriminalisasi Ulama
Kondisi berulang dan belum tuntasnya kasus penista agama tentu membuat gerah. Apalagi perkara yang disinggung semakin lama semakin jelas penghinaannya. Padahal perkara agama dan keyakinan telah di lindungi HAM dan UU yang berlaku. Melihat perkara ini tentu kita tidak bisa berdiam. Setidaknya ada 3 langkah strategis yang bisa direkomendasikan yaitu:
Pertama. Mendefinisikan yang benar apa yang di maksud penistaan agama dan kriminalisasi Ulama.
Adanya multitafsir bab penistaan agama sungguh membingungkan. Interprestasi bisa dari berbagai sisi. Disinyalir dari berita berjudul Tak Ada Definisi Jelas, Pasal Penodaan Agama Rentan Multitafsir, yang mengungkapkan adanya kebingungan definisi sehingga penistaan/penodaan agama justru rancu dengan konflik antar agama. Selama ini, penyelesaian kasus penodaan agama di pengadilan umumnya menggunakan tiga pasal, yaitu Pasal 156a KUHP, Pasal 59 ayat 3 UU Ormas, dan Pasal 28 ayat 2 jo 45a ayat 2 UU ITE (Media Indonesia 21/8/2020).
Menurut Wikipedia Penistaan agama (bahasa Inggris: blasphemy) merupakan tindak penghinaan, penghujatan, atau ketidaksopanan terhadap tokoh-tokoh suci, artefak agama, adat istiadat, dan keyakinan suatu agama yg hanya didasarkan pada pendapat pribadi atau diluar kompetensinya (mal praktek). Serupa dengan KBBI me·nis·ta·kan v menjadikan (menganggap) nista; menghinakan; merendahkan (derajat dan sebagainya): janganlah suka ~ orang lain karena bagi Tuhan manusia itu semuanya sama. Meski demikian mengapa masih ada perbedaan dan multitafsir?
Delik penodaan agama yang kerap disebut penistaan agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 156 huruf a KUHP ini sesungguhnya bersumber dari Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU No. 1/PNPS/1965) yang berbunyi: ”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia".
”Pasal 156(a) KUHP Indonesia melarang setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun. Maka perlu di definisikan agar jelas hakikat yang dilarang. Sebagaimana juga harus jelas definisi penyintas itu untuk korban bukan pelaku, maka ide KPK utk menyebut eks koruptor sebagai penyintas sungguh tidak tahu malu.
Lalu apakah kriminalisasi ulama merupakan istilah yang disepakati rezim? Ternyata Mahfudz MD menilai isu kriminalisasi ulama yang kerap muncul belakangan ini adalah isu yang sangat menyesatkan masyarakat. Dia menegaskan isu tersebut sebenarnya tidak berdasar, sebab kenyataannya tidak ada satu pun ulama yang mengalami upaya kriminalisasi dari pemerintah. Bahkan, Mahfud menantang untuk menyebutkan satu saja nama ulama yang diklaim mengalami kriminalisasi dan akan langsung dibebaskan. Abu Bakar Ba'asyir, kata dia, bukan dikriminalisasi, tetapi memang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan teror dan membentuk organisasi teroris. Kemudian, Habib Rizieq Shihab juga tidak dikriminalisasi karena beberapa kali terbukti bersalah dan menjalani hukuman penjara, dan sekarang ini juga sedang menjalani proses hukum (Antara, 30/12/2020).
Definisi krimininalisasi ulama, dalam bahasa Inggris, 'criminalization' berarti he action of turning an activity into a criminal offense by making it illegal (Kamus Oxford). Dalam arti bebas, itu dimaksudkan sebagai arti proses atau tujuan yang sedang diupayakan atau untuk membuat/menjadi ilegal atau melanggar hukum. Dalam bahasa Indonesia, arti kriminal yang paling dekat adalah jahat. Jika dipakai sasi, maka dapat menjadi jahatisasi sehingga menjadi jahatisasi ulama. Ini dapat diartikan sebagai penjahatan terhadap ulama. Ada pihak tertentu melakukan penjahatan terhadap ulama. Bukan ulama yang berbuat jahat, tetapi ulamalah yang telah dijahati dan berproses untuk diletakkan sebagai ilegal.Pada tataran kewacanaan, jika melihat diskursus di media sosial terkait dengan penggunaan frasa kriminalisasi ulama itu adalah upaya penolakan dari pihak-pihak tertentu terhadap, seolah, adanya upaya meng-kriminalisasi-kan ulama.
Bahkan diskursus tersebut mengarah pada anggapan adanya upaya penyingkiran terhadap peran ulama, penyingkiran terhadap peran masyarakat Islam, penyingkiran terhadap Islam itu sendiri. Kalau melihat dasar pengertiannya, ulama (dari bahasa Arab) adalah orang-orang yang berilmu. Dalam pengertian yang lebih khusus adalah pemuka agama atau seseorang yang dianggap pemimpin yang biasanya mengayomi, membina, atau membimbing umat Islam mengajarkan kebaikan dalam menghadapi hidup sehari-hari.
Kedua. Adanya gerakan bersama yang berdasarkan kesadaran bersama menuju keadilan yang nyata.
Amir Universitas Online 4.0 UNIOL Diponorogo Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum., mengatakan, rasialis dan penista agama adalah common enemy (musuh bersama) masyarakat, bangsa dan negara. "Common enemy menjadi sangat penting dalam memerangi rasialisme dan penistaan agama, karena keduanya merupakan perbuatan yang sengaja ditujukan untuk merendahkan martabat manusia dan komunitas agama yang memiliki derajat tinggi". Common enemy akan mendorong terciptanya common sense of crisis (rasa keprihatinan bersama) dan akhirnya akan membentuk common action (tindakan bersama untuk melawan) jelasnya dalam zoom meeting (2/2/2021).
Bagaimanapun penistaan agama merupakan tindakan kriminal. Karena hal itu menyangkut keyakinan masing-masing orang yang dilindungi hukum dan agama. Maka sebagai reaksi wajar dalam masyarakat timbul common action ini. Dan ini harus digerakkan dengan ide yang massif dan seragam. Sehingga menimbulkan kebencian dan ketidakridlaan umat adanya kemaksiatan yang nyata di tengah-tengah kehidupan. Belajar dari kasus Ahok yang pada saat itu di bui kan, sebenarnya bersamaan dengan di gulirkannya ide Tolak Pemimpin Kafir oleh HaTeI yang di sambut oleh MUI dan partai-partai serta ormas Islam yang ada. Hasil sinergi yang luar biasa ini tentu bisa selalu di ulang dengan kesatuan visi, misi dan gerak seluruh umat Islam, baik grassroot dan tokohnya.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 49].
Ketiga. Melakukan amar ma'ruf nahi mungkar tersistematis.
Sebagaimana firman Allah SWT:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (Q.S Ali Imron : 104).
Seruan di atas memerintahkan umat Islam untuk membentuk kelompok dan menyeru Al Khair serta mencegah kemungkaran. Maka wajar lah sampai hari ini ghirah umat selalu terusik jika ada yang menghina agama, Rasul dan Al Khaliknya.
Test water yang selalu dilakukan musuh-musuh Islam sesungguhnya ingin melihat 'masih adakah kekuatan Islam' tertanam dalam diri umat Islam. Patut disyukuri sampai detik ini penghinaan/penodaan agama (Islam) tidak pernah padam dari perjuangan umat ini meski mendapat ganjaran penjara. Konsekwensi yang sama pun dipikul tokoh-tokoh Islam ketika menyuarakan kebenaran sebagaimana Prof. Suteki ketika menjadi saksi ahli PTUN, juga para ASN negeri ini.
Faktanya strategi yang dijalankan di atas terbentur pada satu hal yang disebut 'Negara Tidak pernah Salah'. Maka ketika pejabat negara melakukan sebagaimana Menko Polhukam Wiranto juga pernah diklaim melakukan penistaan agama dalam pernyataanya, “Ini sedang kita garap bagaimana pembubaran organisasi itu diimbangi juga dengan individual tidak boleh menyebarkan ideologi yang sudah kita larang seperti itu,” ujar Wiranto di Gedung Lemhannas, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat (Detik 13/9/2019). Hal ini dilakukan pasca pembubaran HaTeI sehingga dia ungkapkan tudingan –apa yang Wiranto sebut sebagai ideologi–, yakni khilafah yang notabene ajaran Islam, ini tidak berlanjut pada meja hijau.
Maka inilah yang menjadikan kita berpikir untuk merefresh kembali metode/thariqah Islam untuk menindak tegas penista/penoda agama. Berkaca dari kasus penodaan agama yang sebelumnya terjadi, negara cenderung pasif dan pihak berwenang juga tidak gerak cepat mengatasi masalah penodaan agama. Coba bandingkan jika ada pelaporan mengenai pasal ujaran kebencian dan penghinaan pada para pendukung penguasa, reaksinya berbeda. Itulah yang dinilai masyarakat bahwa hukum saat ini tidak berpihak pada kepentingan umat Islam.
Sekularisme yang tengah diterapkan negeri ini memang meminggirkan peran agama dalam mengatur kehidupan. Dari sekularisme inilah lahir paham lainnya, yakni liberalisme, pluralisme, dan demokrasi yang menganggap agama bukan sesuatu yang sakral yang wajib dijaga dan diutamakan. Marah karena agamanya dihina dianggap berlebihan. Jika umat menuntut hukuman tegas bagi penista agama, umat diminta lapang dada memberi maaf atau meredam dengan narasi, “Umat Islam itu ramah, bukan pemarah”. Tidak heran jika penistaan agama itu akan terus ada, selama tidak diterapkannya Islam dalam kehidupan bernegara. Karena ketika Islam diterapkan dan penanganannya sebagaimana yang dicontohkan, maka biidznillaah tidak akan ada lagi yang berani menistakan agama.
Kita bisa mengambil pelajaran di masa Islam berjaya, di mana Khilafah Utsmaniyah sanggup menghentikan rencana pementasan drama karya Voltaire yang akan menista kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Saat itu Khalifah Abdul Hamid II langsung mengultimatum Kerajaan Inggris yang bersikukuh tetap mengizinkan pementasan drama murahan tersebut. Khalifah berkata, “Kalau begitu, saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengatakan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasul kita! Saya akan mengobarkan jihad akbar!” Kerajaan Inggris pun ketakutan. Pementasan itu dibatalkan. Sungguh, saat ini umat membutuhkan pelindung yang agung itu. Itulah khilafah. Allahu Akbar!
Kesimpulan
Adanya kasus penistaan agama yang berulang dan beda kecepatan dengan kriminalisasi ulama sesungguhnya bukti real yang tidak terbantahkan kemana kecenderungan rezim dan sistem ini mengarah. Maka sebutan rezim represif anti Islam sungguh bukanlah sebutan tanpa fakta.
Penistaan agama dan kriminalisasi ulama sesungguhnya kasus yang terjadi karena laporan, keluhan dan delik hukum yang di lakukan. Ada aksi ada reaksi. Dan disinilah peran negara teruji untuk mengatasi dan menangani dengan tuntas. Kemampuan tersebut lah yang diragukan karena saat ini semakin banyak kasus tidak selesai dengan baik.
Umat Islam dan warganegara tidak boleh dan tinggal diam melihat apa yang terjadi dalam negeri ini. Meskipun konsekwensi untuk menjalaninya sungguh berat. Bagi muslim sungguh hal ini adalah perbuatan yang di syariatkan dan akan menuai pahala besar. Apalagi sistem sekuler kapitalisme ini terbukti tidak manusiawi dan buruk penerapan serta hasilnya. Marilah kita tinggalkan sistem demokrasi kapitalisme yang hanya akan membawa kesengsaraan dan malapetaka bagi umat. Sudah tiba waktunya untuk menerapkan hukum Allah dan Rasul-Nya secara kaffah. Mari berjuang bersama untuk mewujudkan kemuliaan Allah, Rasul-Nya, dan umat Islam dengan berjuang menegakkan Khilafah di muka bumi ini. []
Oleh: Retno Asri Titisari
(Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)
Referensi:
- https://rumaysho.com/23958-hadits-arbain-34-mengubah-kemungkaran.html
- https://m.mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/338400/tak-ada-definisi-jelas-pasal-penodaan-agama-rentan-multitafsir
- https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b90b2ec6e2bf/ketidakjelasan-kriteria-penodaan-agama-dalam-pasal-156-huruf-a-kuhp-quo-vadis-lex-certa/
- https://news.detik.com/berita/d-5697665/bareskrim-tangkap-yahya-waloni
- https://www.tintasiyasi.com/2021/03/prof-suteki-tercium-tajam-aroma.html?m=1
- https://www.tintasiyasi.com/2021/02/tanggapi-kasus-abu-janda-prof-suteki.html?m=1
- https://beritalima.com/jawaban-kepala-bpip-dalam-berbangsa-geser-kitab-suci-ke-konstitusi/
- https://www.gelora.co/2021/08/abu-janda-tidak-senang-muhammad-kece.html?m=1
- https://news.detik.com/berita/d-5695440/pemuda-muhammadiyah-ultimatum-polisi-akan-demo-jika-m-kece-tak-tertangkap/amp
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210825120048-12-685080/muhammad-kace-ditangkap-di-bali-sudah-berstatus-tersangka/amp
- https://www.google.com/amp/s/m.antaranews.com/amp/berita/1921276/mahfud-kriminalisasi-ulama-isu-yang-sangat-menyesatkan
- https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/qo08jj385
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst
0 Komentar