TintaSiyasi.com-- Sense of crisis. Kepekaan untuk merasai apa yang menjadi keresahan dan permasalahan publik. Masihkah dimiliki pemimpin negeri ini? Pasalnya, di tengah duka pandemi Covid-19 yang kian tak bertepi, beberapa tindakan penguasa dinilai kontraproduktif. Tak hanya menodai amanat penderitaan rakyat, perilaku mereka pun ditengarai tidak berkontribusi terhadap penanggulangan pandemi. Sebut saja, pengecatan ulang pesawat kepresidenan yang memakan anggaran hingga Rp 2 miliar, dan maraknya perang baliho para politikus (pejabat) di jalanan yang berbiaya tinggi.
Tak dapat dipungkiri, polemik pun terjadi. Terkait cat ulang pesawat presiden, Pakar penerbangan Alvin Lie menilainya ibarat foya-foya di tengah kesulitan. Pun Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengukur, tindakan tersebut bukan prioritas di tengah pandemi Covid-19. Sementara itu, Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra mempertanyakan urgensi cat ulang pesawat dan meminta pemerintah membatalkan rencana itu jika tidak membahayakan nyawa presiden. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN Guspardi Gaus mengatakan, pemerintah seharusnya memiliki sense of crisis, rasa kepedulian terhadap kondisi kekinian (cnnindonesia.com, 4/8/2021).
Adapun soal pemasangan baliho dengan asosiasi Pemilu 2024 di tengah pandemi, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menilainya, meski efektif demi mendulang popularitas, namun ini seolah tak peka terhadap kesulitan ekonomi masyarakat (KOMPAS.com, 5/8/2021). Sejumlah warganet pun menggugat rasa empati para politikus melalui akun-akun media sosial. Mereka mempertanyakan rasa malu memajang gambar diri besar-besar di seluruh penjuru negeri, sementara rakyat tengah bergulat atasi pandemi. Pun meminta krisis saat ini menjadi momentum para tokoh politik bekerja untuk rakyat, bukan berkampanye lewat baliho (solopos.com, 5/8/2021).
Meskipun berdalih bahwa rencana pengecatan pesawat ini sejak 2019, anggaran telah dialokasikan dan dapat digunakan sesuai fungsinya, namun dari sisi etika kepemimpinan, menimbang suasana relasi pemimpin-rakyat, serta mencerna kondisi kekinian, proyek pengecatan ini tak layak dilakukan. Pun perang baliho antarpolitikus yang bertebaran di seantero negeri tak patut digelar. Saat cat ulang pesawat dan gebyar baliho tetap dilakukan di tengah pergulatan rakyat melawan pandemi dan berjuang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, maka diduga kuat penguasa telah kehilangan sense of crisis dan rasa empati terhadap penderitaan rakyat.
Urgensi Cat Ulang Pesawat dan Gebyar Baliho di Masa Pandemi
Sense of crisis adalah kepekaan untuk mendengar apa yang menjadi keresahan dan permasalahan publik, berikut kewaspadaan dalam mempersiapkan pilihan strategi terbaik sebagai solusi atas persoalan krisis yang dihadapi. Meminjam istilah Joseph W. Pfeiferm, sense of crisis adalah keahlian dalam crisis leadership. Dalam buku berjudul Crisis Leadership: The Art of Adapting to Extreme Event (2013), ia mengartikan crisis leadership sebagai kemampuan seorang pemimpin membuat seluruh pihak beradaptasi dan berkolaborasi menghadapi ketidakpastian (krisis), kemudian secara efektif dan efisien ia dapat menekan dampak buruk krisis terhadap institusi (organisasi) yang ia pimpin.
Pemimpin berkarakter crisis leadership, responsif menghadapi setiap masalah karena memiliki banyak cara dan strategi menyelesaikan masalah. Sebaliknya, pemimpin yang tidak memiliki crisis leadership akan gagap/lambat ketika menghadapi masalah karena minimnya visi dan strategi penyelesaian masalah.
Strategi dan kebijakan pemimpin negeri ini dalam menanggulangi penyebaran virus Covid-19 mencerminkan kualitas kepemimpinan. Sebagaimana pendapat Fritz W. Scharpf (2011), situasi krisis adalah tantangan sesungguhnya yang menguji kemampuan seorang pemimpin menganalisis situasi, berinteraksi, memunculkan strategi, serta mempertimbangkan berbagai dampak dari segala sesuatu yang dilakukan.
Menilik kebijakan penguasa menyelesaikan pandemi selama ini, masyarakat bisa menilai kualitas kepemimpinannya. Sayangnya, dari berbagai tindakan penguasa yang mengemuka adalah sikap/kebijakan yang dinilai publik sebagai bentuk kelemahan, kekurangan dan sejenisnya yang berkonotasi buruk.
Beberapa hal yang menjadi sorotan publik antara lain: buruknya tata kelola komunikasi publik pemerintah menghadapi krisis yang berujung pada disinformasi dan kegaduhan masyarakat, ketidakadilan penanganan hukum terhadap pelanggar prokes, pola kebijakan tidak integral seperti PPKM yang menyuruh rakyat berdiam di rumah tanpa jaminan kebutuhan pokok, hingga minimnya ketersediaan fasilitas kesehatan.
Selain itu, fenomena perang baliho antarpolitikus dan pengecatan pesawat presiden tak hanya menunjukkan minimnya sence of crisis penguasa, namun juga ketidakmampuan menetapkan prioritas dan urgensitas langkah penanganan pandemi (sense of urgency). Karena tidak menggunakan logika kebijakan skala prioritas, akibatnya menghasilkan sesuatu yang tidak penting.
Pengecatan pesawat dan pemasangan baliho jelas tidak tepat momentumnya. Apa pentingnya kedua aktivitas ini dilakukan dalam masa krisis, dengan anggaran negara terbatas dan banyak utang luar negeri? Tidakkah lebih utama jika dananya digunakan untuk membantu kebutuhan primer rakyat, menambah stok oksigen dan stok vaksin, atau membayar insentif nakes? Di mana hal ini lebih dekat pada penyelesaian masalah akibat pandemi.
Terlebih soal etika. Apakah citra dan seorang pemimpin/politikus itu lebih berharga, daripada rasa empati dan peduli terhadap penderitaan rakyat? Sanggupkah seorang pemimpin menikmati fasilitas terbaik di tengah kesulitan rakyat memenuhi menu makan bergizi dan suplemen vitamin, demi meningkatkan imunitas tubuh agar tak mudah terserang virus? Tegakah para pejabat menebar pose nan narsis di antara wajah duka dan tangis para anggota keluarga yang kehilangan sanak saudaranya akibat Covid-19, serta ratusan nakes yang gugur menjalankan tugas menyelamatkan rakyat? Etiskah? Sungguh ironis.
Ya, ironi semacam ini bukanlah hal ajaib dalam praktik pemerintahan demokrasi kapitalistik. Bersandar pada ruh kebebasan, materialistik dan abai ajaran Tuhan (Allah), penguasa dalam sistem ini cenderung menerapkan politik ala Machiavelli. Di mana penguasa kuat harus bersikap keras terhadap rakyat, serta kelangsungan kekuasaan membenarkan segala cara meski brutal dan tidak bermoral.
Kekuasaan di tangan rakyat hanyalah jargon. Realitasnya, yang berkuasa adalah penguasa dan para pemilik modal. Wajar jika dari rahim the system of lip service ini, lahirlah para pemimpin berkarakter the king of lip service juga. Maka, berharap pemimpin yang memiliki sense of crisis hadir dari sistem politik ini, ibarat pungguk merindu sang bulan. Lantas, mengapa tetap dipertahankan?
Dampak Minimnya Sense of Crisis Pemimpin Negeri terhadap Penanggulangan Penderitaan Rakyat di Masa Pandemi
Kurang kuatnya sense of crisis pemimpin negeri ini terhadap nasib rakyat dari ancaman pandemi Covid-19, sebenarnya sudah teraba dari sikap remeh dan abai mereka dalam menganalisis prediksi masuknya pandemi ke Indonesia. Tidaklah elok jika potensi ancaman krisis yang akan dihadapi ditanggapi dengan cara remeh dan abai seperti: candaan, kelakar, gelak tawa, serta beragam sikap santai lainnya yang seakan menganggap tidak terjadi apa-apa atas pandemi Covid-19.
Dan hingga pandemi telah berjalan hampir 1,5 tahun, aroma minimnya sense of crisis para pemimpin negeri masih terasa. Beberapa waktu lalu, seorang pejabat membuat cuitan aktivitasnya di Twitter yaitu menonton sinetron yang sedang hits saat PPKM diberlakukan. Bahkan, ia sampai mengomentari detail alur ceritanya. Bukti bahwa dirinya menonton dengan seksama. Hal ini kemudian disindir oleh seorang komika muda bahwa sikap menteri tersebut tidak pantas dilakukan saat rakyat sedang susah akibat diberlakukannya PPKM darurat.
Minimnya sense of crisis pemimpin negeri berpotensi memunculkan dampak negatif, baik bagi masyarakat maupun pemimpin itu sendiri. Dampak tersebut antara lain:
1. Pemimpin tidak mampu menetapkan skala prioritas dan urgensitas berdasarkan aspek kemaslahatan rakyat dalam mengambil kebijakan. Akibatnya, hal penting dan mendesak justru tidak diperhatikan. Pemimpin disibukkan oleh persoalan remeh-temeh atau bertindak semata-mata berdasarkan kepentingan dan pelanggengan kekuasaan. Fenomena pengecatan pesawat dan perang baliho telah menunjukkan hal demikian.
2. Strategi dan kebijakan yang dibuat pemimpin, tidak relevan dengan realitas permasalahan rakyat. Hal ini tidak akan menjadi solusi permasalahan yang terjadi, bahkan kian jauhnya masalah dari penyelesaian. Di tengah krisis pandemi, tentu rakyat lebih membutuhkan perut kenyang dan badan sehat. Tidak butuh “dipameri” pesawat bercat baru dan wajah bercitra para politikus.
3. Bagi pelaksananya, kebijakan tidak sense of crisis akan melahirkan kebingungan dalam bertindak. Termasuk bagaimana harus menyikapi suatu krisis dan realita. Bahkan akan memunculkan kebimbangan bersikap secara hierarkis (pemerintahan/partai) hingga ke bawah. Misalnya, penyikapan terhadap instruksi pemasangan baliho tokoh partai oleh partainya. Bisa jadi menimbulkan dilema tersendiri. Di satu sisi, ia mesti menjalankan instruksi pemimpin partainya. Di sisi lain, pemasangan ini tak relevan dengan kondisi krisis.
4. Hilangnya kemuliaan dan kewibawaan pemerintah di mata rakyat. Pun menimbulkan stigma negatif bagi warga negaranya bahwa para pemimpin sudah tidak lagi peduli atas nasib mereka. Namun lebih mementingkan urusan pribadi penguasa atau kelompoknya. Turunnya kewibawaan pemimpin hari ini nampak pada komentar warga berupa candaan bernada satire, olokan, hingga ejekan. Contoh: pembuatan meme presiden berjuluk The King of Lip Service oleh BEM UI, komentar netizen bernada canda nyinyir terkait pengubahan PP demi membolehkan Rektor UI merangkap jabatan.
5. Meningkatnya distrust rakyat terhadap penguasa. Jika rakyat merasa tak dipedulikan, tentu akan kecewa. Mereka juga menyaksikan apa yang dilakukan penguasa tidak sesuai dengan komitmen/janjinya. Ditambah berbagai paradoks kebijakan selama masa pandemi Covid-19 yang membingungkan rakyat dan berkontribusi pada terus naiknya angka positif Covid-19, trust rakyat terhadap penguasa kian turun.
6. Berpotensi memunculkan sikap civil disobedience (pembangkangan sipil). Distrust akan menjadi trigger munculnya sikap civil disobedience. Rakyat akan bersikap apatis, yaitu acuh tak acuh terhadap kebijakan penguasa dan tak mau menaatinya. Seperti dalam beberapa program terkait pandemi seperti vaksinasi, PPKM, dll, tak semua warga bersedia mengikuti lebih karena faktor ketidakpercayaan dan kekecewaan.
Dengan menelaah berbagai kemungkinan dampak di atas, diduga kuat minimnya sense of crisis pemimpin negeri justru akan mengantarkan pemerintah pada ketidakberhasilan menanggulangi pandemi Covid-19. Selanjutnya, rakyat akan tetap merasakan penderitaan. Jika demikian, bukankah lebih utama jika setiap kebijakan atau proyek pemerintah/politikus yang tidak sense of crisis dibatalkan saja?
Dan sebagai wujud tanggung jawab negara dalam menyelamatkan jiwa rakyat di masa pandemi, hendaknya pemerintah meningkatkan sense of crisis, memfokuskan anggaran yang tidak penting untuk menangani pandemi Covid-19 yang belum terkendali, berikut mampu membuat berbagai strategi berbasis kemaslahatan rakyat, sebagai solusi penuntasan pandemi.
Karakter dan Strategi Pemimpin yang memiliki Sense of Crisis dalam Menghadapi krisis Pandemi
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki pemimpin adalah kemampuan membaca masa depan, baik yang bersifat prediktif atau analisis situasi terkait tantangan dan ancaman. Kemampuan ini sangat penting guna memastikan negara tetap terjaga dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman, baik dari internal maupun eksternal. Kemampuan menganalisis krisis ini bila dikelola baik dengan kuatnya sense of crisis dari para punggawa pemerintahan akan mengantarkan pada penyelesaian masalah.
Kini, Indonesia memasuki fase kritis yang memicu ledakan kasus dan berakibat melonjaknya angka kematian. Kondisi ini menuntut kesadaran kolektif dan cara kerja baru yang lebih cepat dan tepat dalam menjawab persoalan. Suatu proses di mana pemerintah pusat bekerja dengan dukungan dari pemerintah daerah dan melibatkan masyarakat sipil secara nyata dalam pengambilan keputusan serta pelaksanaan.
Pemerintah harus hadir untuk menangani pandemi secara optimal. Begitu banyak fungsi strategis yang hanya bisa dimainkan olehnya dan tidak mampu dilakukan oleh individu, keluarga, maupun komunitas. Dalam Islam, seorang imam (pemimpin, penguasa) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya. Pun, ia merupakan junnah (perisai), tempat berlindung rakyat dari musuh dan kondisi buruk (pandemi). Dan kelak, semua peran tersebut akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Sang Maha Penguasa Jagat Raya.
Terkait wabah, kita dapati di masa kekhilafahan Islam yakni di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab, juga pernah dilanda wabah thaun. Dari sini kita bisa melihat sense of crisis ala Islam yang dimotori langsung oleh beliau. Dalam bukunya, “The Great Leader of Umar bin Khaththab” karya Dr. Muhammad Ash-Shalabi, kita bisa melihat penanganan pandemi di era keemasan Islam ini.
Berawal dari keteladanan sang khalifah, yang bergaya hidup sederhana terlebih di kala wabah. Beliau juga senantiasa bertobat memohon ampun, mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meminta pertolongan-Nya. Nyawa manusia tetap diprioritaskan, bukan ekonomi yang didahulukan. Ini terbukti ketika wabah melanda, beliau memberi makan orang-orang yang datang ke Madinah sebagai pusat pemerintahan. Dikisahkan jumlahnya mencapai 70.000 orang.
Selain itu, Khalifah Umar juga menunda pengambilan zakat selama masa sulit. Demikianlah, nyawa manusia dan kebutuhan rakyatnya sangat diperhatikan oleh khalifah dan rakyat tidak dibebani ketika masih berada di masa sulit (krisis). Khalifah Umar berlaku demikian, karena satu nyawa dalam Islam, dihargai sama dengan seluruh nyawa manusia. Sebagaimana firman Allah SWT, ”Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…”(QS: Al-Maidah: 32).
Jelaslah bahwa dalam sistem Islam, jabatan bukan sarana memperkaya diri, apalagi mencari kehormatan dan reputasi fatamorgana. Kepemimpinan adalah tanggung jawab yang besar. Terlebih di tengah pandemi, tanggung jawab itu memerlukan strategi berlapis dalam menetapkan kebijakan. Tidak bisa sembarangan tanpa perhitungan.
Meneladani kepemimpinan Rasulullah dan Khalifah Umar bin Khaththab, berikut ini ada sepuluh langkah-langkah strategis yang bisa dilakukan sebagai perwujudan pemimpin yang memiliki sense of crisis khususnya pada saat pandemi Covid-19:
1. Memiliki paradigma bahwa menjaga keselamatan nyawa dan kesehatan mental manusia adalah hal terpenting dan prioritas awal yang harus dilakukan. Terhadap program/rencana kegiatan yang tidak terkait langsung dengan kepentingan rakyat, hendaknya ditunda atau dibatalkan.
2. Mengedepankan perlindungan hak dasar dan martabat manusia dalam setiap kebijakan, tindakan, dan pelayanan kesehatan untuk semua orang terutama kelompok rentan.
3. Mengalokasikan anggaran yang memadai khususnya bagi kelompok rentan, terutama yang bersifat perlindungan dan jaring pengaman sosial, demi memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Juga menanggung kehidupan anak-anak yatim piatu yang orang tuanya meninggal akibat Covid-19.
4. Menerapkan kebijakan yang transparan demi memulihkan dan menjaga kepercayaan masyarakat, serta memastikan bahwa informasi yang relevan menjangkau setiap orang tanpa terkecuali.
5. Melibatkan masyarakat dalam membangun sense of urgency dengan memberikan gambaran tentang dimensi krisis dan proyeksi kebijakan pemerintah ke depan.
6. Menghentikan dan melarang pernyataan para pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh yang simpang siur, meremehkan keadaan dan melemahkan kewaspadaan masyarakat serta tidak sejalan dengan agenda percepatan penanganan Covid-19.
7. Memastikan perlindungan optimal bagi tenaga medis serta menghilangkan hambatan birokratis dan sentralistik dalam menangani wabah korona sehingga tes laboratorium, penanganan terhadap pasien korona dan screening masif dapat dijalankan secara cepat dan tepat.
8. Memberlakukan cara terbaik yaitu yang paling optimal dalam mengurangi bahkan membasmi penularan pandemi Covid-19. Misalnya lockdown yang telah terbukti berhasil mengatasi pandemi di Masa Rasulullah Saw dan Sahabat. Disertai penjaminan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, terutama bagi kalangan tak mampu.
9. Menggunakan penanganan Covid-19 sebagai momentum untuk memperbaiki sistem ekonomi dan mengatasi ketimpangan. Juga memberikan keringanan ekonomis bagi masyarakat seperti: membebaskan biaya sekolah, tidak menaikkan pajak listrik. Pun menghentikan sementara proyek infrastruktur dan lainnya, serta memfokuskan anggaran demi menuntaskan pandemi.
10. Negara membiayai penanganan Covid-19 dari pos pemasukan yang antara lain berasal dari: hasil pengelolaan sumber daya alam yang melimpah, pengumpulan donasi dari para kapitalis yang telah mengeruk kekayaan dan menguasai sektor strategis (hajat hidup rakyat), pemotongan gaji pejabat, dst.
Alangkah indahnya jika semua aktivitas di atas bisa ditunaikan oleh penguasa negeri ini. Rakyat kembali pada posisinya sebagai tuan yang dilayani. Hubungan rakyat-penguasa tak lagi bak penjual dan pembeli. Hanya saja, dalam sistem kapitalisme saat ini, mampukah idealitas kepemimpinan yang berpihak pada rakyat terjadi?
Melihat semua fenomena yang terjadi, hendaknya sistem kapitalisme yang rusak ini segera dicampakkan. Sistem rusak pasti melahirkan para pemimpin cacat pola pikir, serakah serta minim sense of crisis. Maka, hanya sistem Islam yang melahirkan pemimpin amanah, memiliki sense of crisis dan menjadikan rakyat sebagai prioritas mencapai ridha Allah di dunia dan di akhirat kelak.[]
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)
0 Komentar