TintaSiyasi.com-- Publik banyak yang mengeluhkan tingginya harga tes polymerase chain reaction (PCR). Dalam beberapa hari yang lalu, keluhan tersebut telah ditanggapi oleh Presiden Joko Widodo. Diinformasikan dari detik.com (15/8/2021), Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan agar harga tes PCR diturunkan. Jokowi meminta agar biaya tes PCR di kisaran Rp 450 ribu hingga Rp 550 ribu.
"Saya sudah berbicara dengan Menteri Kesehatan mengenai hal ini, saya minta agar biaya tes PCR berada di kisaran antara Rp 450.000 sampai Rp 550.000," kata Jokowi dalam keterangannya melalui kanal YouTube Setpres, Minggu (15/8/2021).
Cukup disayangkan, tes PCR hanya dihimbau untuk turun, tetapi belum ada upaya untuk memaksa agar tes tersebut murah, Padahal, seharusnya pemerintah memiliki kekuatan untuk memaksa agar biaya tes PCR murah, bahkan gratis. Kalau hanya memberi himbauan agar tes PCR turun, di mana kekuatan negara ini?
Terkonfirmasi dari bisnis.com (15/8/2021), importir alat deteksi Covid-19 seperti PCR dan Rapid Test Antigen dikuasai secara dominan oleh kelompok perseorangan atau korporasi non-pemerintah. Malahan sejumlah korporasi itu tidak memiliki latar belakang bisnis yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat.
Berdasarkan dokumen importasi yang diterima Bisnis, dominasi impor alat kesehatan dari pihak korporasi non pemerintah mencapai 77,16 persen dari keseluruhan pengadaan barang selama tiga semester pandemi virus Corona di Tanah Air. Sementara itu, pemerintah hanya memegang 16,67 persen dari keseluruhan aktivitas impor alat kesehatan penanganan Covid-19 itu. Sisanya, 6,18 persen pengadaan barang dari luar negeri dilakukan oleh lembaga non-profit.
Berdasarkan penelusuran Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan dua hal. Pertama, tidak ada biaya impor yang dibebankan kepada Pelaku Usaha untuk produk test kit dan reagent laboratorium.
Kedua, hasil penelusuran ICW menemukan bahwa rentang harga reagen PCR yang selama ini dibeli oleh Pelaku Usaha senilai Rp180.000 hingga Rp375.000. Jika dibandingkan antara penetapan harga dalam Surat Edaran milik Kementerian Kesehatan dengan harga pembelian oleh Pelaku Usaha, gap harga reagen PCR mencapai 5 kali lipat.
Dari paparan di atas dapat dianalisis sebagai berikut. Pertama, sangat jelas, ada tangan-tangan korporasi di balik mahalnya tes PCR. Padahal, tes ini dijadikan syarat kegiatan dan aktivitas masyarakat. Tanpa tes ini, rakyat belum diizinkan untuk bepergian menggunakan transportasi udara, laut, maupun darat. Jika yang berperan di balik tes ini adalah korporasi, bukankah ini menambah beban rakyat?
Kedua, seharusnya negara hadir sebagai pengendali, bukan hanya pemberi himbauan. Jika pemerintah belum bisa mengatur agar tes PCR murah, apalagi gratis, maka ini menunjukkan, negeri ini berada dalam belenggu korporasi kesehatan.
Bukankah, ini cukup membahayakan, jika kepentingan umum, yaitu, salah satu cara menangani pandemi (testing) diserahkan kepada para kapitalis? Bukan kemaslahatan yang diutamakan, bisa jadi hitung-hitungan untung rugi dalam hal pelayanan kesehatan.
Ketiga, pemerintah harus menyadari, kondisi amburadul dan membebani umat, diakibatkan karena diterapkan sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini yang menjadikan negara hanya sebagai legislator atas titah pemilih modal (kapitalis). Patut dikhawatirkan, akibat penerapan sistem kapitalisme, pemerintah yang berkuasa adalah para oligarki penjaga singgasana korporasi. Lalu di mana demokrasi yang katanya mengutamakan kepentingan rakyat?
Karena sejatinya, musibah terbesar yang dihadapi rakyat bukanlah wabah virus Covid-19, tetapi kezaliman sistemis yang dibuat oleh kapitalisme sekuler. Hal itulah yang menjadi deretan penderitaan rakyat di kala wabah datang. Seperti tes PCR yang seharusnya mudah dijangkau rakyat dengan harga murah/gratis justru dijadikan bisnis korporasi. Di saat yang sama pemerintah belum berdaya untuk menekan harga PCR menjadi murah/gratis.
Tak dipungkiri untuk mewujudkan tes PCR gratis butuh kas negara yang banyak. Padahal faktanya kondisi keuangan negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Inilah yang seharusnya jadi muhasabah pemerintah. Apa yang salah? Apa yang keliru? Hanya dengan menyadari kesalahan dan mau menerima solusi Islam, musibah yang dibawa sistem kapitalisme sekuler bisa diselesaikan.
Karena Islam bukan hanya sekadar mengatur agama ritual, tetapi juga segala aspek kehidupan. Tak tertinggal dalam mengatur negara, Islam memiliki sistem pemerintahan khilafah yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW dan berdiri selama 13 abad lamanya. Maka, untuk apa kita masih sombong menolak sistem khilafah ini? Seyogyanya, segera kembali kepada sistem agung yang berasal dari Zat Yang Maha Kuasa Allah SWT.[] Ika Mawarningtyas
0 Komentar