TintaSiyasi.com-- Miris, menyaksikan rakyat berdesak-desakan demi berebut sembako di hadapan pemimpinnya. Terlebih jumlah sembako yang dibagi tak seimbang dengan jumlah warga sehingga banyak warga tak kebagian. Tentu menambah kekecewaan di tengah harapan membawa pulang sekantong bantuan. Demi mengganjal rasa lapar di tengah sulitnya memenuhi kebutuhan hidup di masa pandemi yang kian tak bertepi ini.
Adalah Presiden Jokowi saat kunjungan kerja ke Cirebon pada Selasa (31/8/2021), sekaligus mengadakan bagi-bagi sembako. Tak ayal, warga berkerumun dan berdesak-desakan di tengah pandemi Covid-19. Berbagai insiden tak terelakkan. Adegan saling dorong terjadi. Banyak anak kecil menangis. Seorang ibu hamil ikut berebut sembako hingga terjepit dan terjatuh. Hingga warga rela turun ke selokan untuk mengambil bingkisan yang jatuh di dalamnya.
Fenomena berebut sembako ini menjadi bukti, warga sangat membutuhkan bantuan. Fragmen kemiskinan dan penderitaan yang kian telanjang dipertontonkan. Sebuah elegi kehidupan jelata yang tak pernah mengecap arti kata sejahtera. Namun lihatlah, betapa tega para pemimpin kita menyaksikan rakyat berebut sembako di hadapannya. Bukankah mereka mengetahui bahwa perebutan itu biasa terjadi saat bagi-bagi bantuan, apalagi di tengah aneka krisis saat ini. Mengapa presiden atau timya diduga sengaja melakukannya. Sebuah perilaku ambigu yang menyisakan berbagai pertanyaan sekaligus keprihatinan.
Di antara deretan pertanyaan itu adalah benarkah bagi-bagi sembako yang justru berujung pada jeritan sebagian warga itu, tulus berasal dari kehendak melayani dan meningkatkan kesejahteraan rakyat di masa pandemi. Ataukah semata demi meraih citra pemimpin merakyat, peduli wong cilik, memahami keinginan, serta kebutuhan kaum jelata. Sementara realitasnya, politik pencitraan yang dibangun para pemimpin di negara demokrasi ini tak berbanding lurus dengan penciptaan kesejahteraan rakyat selama ini.
Politik Pencitraan Difasilitasi dalam Sistem Demokrasi Sekularistik
Politik pencitraan menurut Margaret Scammell, ahli pemasaran politik dari London School of Economic (LSE) dipahami sebagai upaya memperkenalkan tokoh yang punya reputasi baik. Dalam arti itu, yang dilakukan dalam usaha mengemas dan menjual sosok calon pemimpin sebenarnya adalah menjual reputasi orang tersebut, dan itu semata-mata diartikan sebagai “...trustworthiness and credibility of the candidates or parties” (2006).
Terkait ini, politik pencitraan adalah hal yang baik secara etis. Memasarkan seseorang yang mempunyai reputasi baik seharusnya dilihat sebagai tanggung jawab moral memperkenalkan sosok yang layak menjadi pemimpin bangsa untuk menghindari negara ini jatuh ke tangan orang yang buruk dan tidak bertanggung jawab.
Masalahnya, politik pencitraan sekarang terutama dalam konteks pemasaran politik, direduksi hanya sebagai “branding”. Diadopsi dari dunia ekonomi, “branding” adalah upaya meyakinkan publik bahwa barang dan jasa yang dipasarkan pantas dibeli bukan pertama-tama karena kualitas, tetapi karena kemampuan pemasar menciptakan kesan mendalam dalam kesadaran publik mengenai produk tersebut.
Dalam konteks pemasaran politik, “branding” dipahami sebagai usaha menganeksasi kesadaran publik bahwa sosok atau tokoh tertentu adalah berbeda dari tokoh lain, khas, ideal, bukan pertama-tama karena kualitasnya,tetapi karena kemampuannya membangkitkan kekaguman publik. Trik-trik pemasaran figur publik dipersepsi tidak melulu rasional karena mengeksplorasi juga aspek-aspek psikologis dan bawah sadar, termasuk kekaguman akan figur gagah, berwibawa, sederhana, merakyat, dan sejenisnya.
Praktik politik demokrasi tidak bisa dipisahkan dari pencitraan. Kesadaran bahwa pencitraan berperan penting dalam politik muncul pertama kali tahun 1960 ketika Richard Nixon yang memenangi perdebatan Presiden AS di radio kalah telak oleh John F. Kennedy dalam perdebatan di TV. Terpilihnya John F. Kennedy sebagai presiden AS tidak terlepas dari politik pencitraan ketika media massa merepresentasikannya sebagai figur ideal.
Sejak saat itu praktik politik AS tidak lepas dari politik pencitraan. Para kandidat presiden tidak segan mengeluarkan uang ratusan milyar untuk konsultasi dan pemasaran politik, mengubah penampilan, cara menghadapi media, teknik meredam serangan lawan, dan sebagainya. Di AS, politik pencitraan mencapai puncaknya sejak tahun 2000-an dan dipertahankan hingga kini.
Politik pencitraan ala Indonesia mulai dipraktikkan sejak zaman reformasi, terutama sejak SBY maju sebagai capres dari Partai Demokrat menantang Megawati Soekarnoputri dari PDIP pada tahun 2004. Beberapa konsultan politik lulusan AS sangat berjasa dalam merepresentasikan sosok SBY ke publik. Tidak hanya sebagai figur yang disakiti (diberhentikan sebagai menteri oleh Megawati), tetapi juga sosok gagah, berwibawa, sabar, dan semacamnya. Representasi sosok ini bertolak dari kajian ilmiah persepsi masyarakat mengenai sosok yang disenangi, dan konon mereka menyukai figur SBY sebagaimana dikemas dan dipasarkan konsultan politik.
Sejak saat itu, politik pencitraan menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik politik di negara ini. Maka, tidak mengherankan jika calon-calon pemimpin kita rajin mencitrakan dirinya. Ada yang tetiba rajin blusukan, mencitrakan diri sebagai pejuang kaum miskin, pembela produk dalam negeri, propetani dan nelayan, antiekonomi liberal dan ribuan ikon lainnya. Ada juga yang memperbaiki penampilan fisik agar tampil lebih bergaya, funky, gaul, menyukai genre musik atau film tertentu, dan semacamnya, demi menarik dukungan pangsa pemilih tertentu.
Oleh karena itu, jelang Pemilu, Pilkada dan Pilpres, intensitas blusukan dan bagi sembako biasanya meningkat tajam. Dalam rangka menggenjot elektabilitas, agar rakyat kian mengenal dan simpati, hingga dipilih dalam ajang kontestasi. Pasca terpilih dan berkuasa, untuk mempertahankan atau menguatkan citra di mata rakyat, blusukan dan bagi sembako dipandang masih efektif dilakukan.
Terlebih di tengah ketidakmampuan menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, tindakan ini menjadi cara instan agar tetap mendapatkan simpati dan dukungan. Ujung-ujungnya demi status quo, eksistensi tahta kekuasaan. Bukan demi kesejahteraan rakyat. Rakyat dibuat cukup puas dengan kunjungan sesaat, bagi-bagi atau lempar sembako, dan bantuan langsung tunai yang pelaksanaannya sering tak sesuai.
Kalau pun politik pencitraan kini diterima sebagai semacam kelaziman, bukan berarti ia lolos dari evaluasi kritis dan sanggahan etis. Terlebih dalam penerapan sistem politik demokrasi sekularistik kapitalistik saat ini. Sistem ini justru memfasilitasi terjadinya politik pencitraan, sehingga leluasa dijalankan. Berbasis pada kebebasan, demokrasi tegak atas empat pilar yaitu: kebebasan berpendapat, berperilaku, kepemilikan, dan beragama.
Pun demokrasi berasas sekularisme yang memisahkan ajaran agama dari kehidupan, sehingga halal-haram bukan standar perbuatan prioritas. Maka, penguasa dalam demokrasi cenderung menerapkan politik ala Machiavelli. Di mana penguasa kuat harus bersikap keras terhadap rakyat, serta kelangsungan kekuasaan membenarkan segala cara meski brutal dan tidak bermoral. Termasuk dalam hal ini adalah memoles citra pemimpin yang sejatinya tak memiliki kapasitas atau kapabilitas seperti yang digambarkan.
Jadilah politik pencitraan menjadi topeng bagi para pemimpin di negara demokrasi untuk menutupi bopeng-bopeng kebijakan dan tindakannya. Saat kesan baik direkayasa, sesungguhnya ia tengah mengakui ada kelemahan diri yang hendak ditutupi. Maka, dalam politik semacam ini, rakyat jangan pernah merasa "GR alias Gedhe Rasa" saat didatangi penguasa. Dalam penerapan demokrasi yang tengah berubah menjadi oligarki, poros aktivitas kepemimpinan tidak berkehendak melayani rakyat, tapi demi diri dan segelintir karibnya yaitu kaum oligark.
Namun, sejatinya politik pencitraan tak akan pernah merebut hati rakyat secara abadi. Apalagi kini rakyat kian cerdas dengan berbagai fenomena yang susul-menyusul terjadi. Jika jiwa melayani rakyat tak lagi menyala, bila karpet merah hanya digelar untuk kaum oligark, maka "perlawanan" rakyat menuntut perubahan kondisi tinggal menanti hari. Saat demokrasi kian menampilkan wajah bopengnya, telah siapkah umat Muslim di negeri ini menyajikan sistem Islam sebagai alternatif pengganti?
Dampak Buruk Pemimpin Berkarakter Psikopat Narsistik terhadap Pemenuhan Urusan Kesejahteraan Rakyat
Terkait salah satu cara dalam politik pencitraan yaitu memberi hadiah kepada rakyat, khususnya dengan melempar atau membuat orang banyak berkerumun di sekitarnya, ada analisis yang sempat beredar menjadi broadcast di media sosial yakni tentang karakter buruk (velap) manusia. Menurut The American Psychiatric Association, pengidap psikopat narsistik jauh berbeda dari karakter individu yang memiliki harga diri tinggi dan bernurani.
Dalam psikologi, ada "triad gelap" dari sifat-sifat tidak baik: psikopati, narsisme, dan Machiavellianisme. Pemimpin dengan model memberikan hadiah dengan melempar, dikatakan berkarakter buruk. Hadiah yang sering dibagikan seorang psikopat narsistik sebetulnya hadiah untuk dirinya dan kesenangannya sendiri. Bukan muncul dari rasa empati dan peduli yang tidak ia miliki di lubuk hatinya (zamane majalah online, 2/9/2021).
Dikatakan, dia sangat menikmati sanjungan 'kerumunan penjilat' yang rela menukar harga dirinya dengan pembagian jatah jabatan atau konsesi. Dan sangat senang melihat kerumunan orang berebut sesuatu yang dilemparkannya. Pengidap psikopat narsistik gemar pamer bagi-bagi sesuatu didorong rasa takut kehilangan perhatian, dan kebutuhan untuk melanjutkan permainan manipulatifnya. Orang jenis ini mendambakan untuk terus-menerus jadi fokus perhatian.
Potensi 'rasa sakit' karena merasa kurang perhatian mendorongnya melakukan apa saja yang akan membuat kekaguman banyak orang kepadanya terus mengalir - atau setidaknya jadi topik berita. Orang jenis ini selalu memperhitungkan semua langkahnya dengan kepala dingin. Termasuk akan menggunakan cara yang lebih halus (bahkan menawan) untuk menipu atau menjebak, sehingga 'korban' tidak menyadari jebakan tersebut.
Jelas bahwa praktik politik pencitraan yang mengarah pada karakter psikopat narsistik demi merebut dan atau mempertahankan kekuasaan, akan menimbulkan berbagai dampak buruk terhadap pemenuhan urusan kesejahteraan rakyat, yaitu:
Pertama, mengaburkan esensi politik. Politik adalah strategi untuk mengatur urusan rakyat, memenuhi kebutuhan, dan menyelesaikan persoalan mereka. Hanya orang amanah dan berkualitas yang pantas memimpin.
Pemimpin yang terus membangun citra tanpa disertai kapabilitas dan kerja nyata, akan jauh dari aktivitas politik hakiki. Mereka justru mengabaikan aspek substansial terkait visi, misi, tujuan mengelola kehidupan rakyat.
Kedua, hak-hak masyarakat tidak ditunaikan oleh penguasa. Akibatnya, kesejahteraan yang dijanjikan bagi rakyat tidak pernah tercapai. Mengapa? Karena politik pencitraan hanya menawarkan janji-janji politik yang manis tapi minus pelaksanaannya.
Sudah banyak bukti yang menunjukkan kebohongan penguasa yang tidak memenuhi janjinya ketika kampanye. Masyarakat terperosok kembali ke lubang sama.
Ketiga, melanggengkan hasrat primordial manusia untuk berkuasa dengan menghalalkan segala cara demi merebut/mempertahankan kekuasaan. Akibatnya, kita akan memiliki pemimpin yang terus bersolek dan hanya memperhatikan penampilannya saat jutaan masyarakat menderita kemiskinan dan ketidakadilan.
Mereka hanya menjadi pemimpin pesolek ria yang tidak memiliki tujuan jelas, gemar menghambur-hamburkan anggaran publik untuk mengatasi masalah yang bukan masalah, dan mencari pembenaran- di media di balik bau busuk hasil kepemimpinannya.
Keempat, melahirkan masyarakat yang minim budaya kritis. Masyarakat terbiasa dididik untuk memilih orang bukan karena kesesuaian dengan kualifikasi, tapi lebih karena aspek figuritas, kedekatan, pesonanya, wibawanya, atau penampilannya.
Kelima, melahirkan sosok politikus pragmatis. Yang memandang kekuasaan sebagai tujuan dan menjadikannya sebagai alat memperluas dan memperpanjang usia kekuasaannya itu sendiri. Bukan sebagai sarana untuk mengurusi kemaslahatan masyarakat. Ia pun bekerja tidak ihklas dan tidak tulus sehingga terkesan mementingkan pribadi dibandingkan rakyat.
Keenam, semakin mengokohkan eksistensi sistem demokrasi. Pemimpin berkuasa hasil politik pencitraan terlanjur merasa aman dan nyaman berada dalam sistem demokrasi yang memberikan fasilitas dan keleluasaan baginya berbuat sekehendaknya. Sehingga ia akan berupaya mempertahankan keberadaan sistem ini. Di saat sama, setiap upaya yang dinilai bakal mengancam hilangnya sistem demokrasi, akan diposisikan sebagai lawan politik yang akan dilibas.
Dengan melihat dampak-dampak negatif di atas, nampak bahwa politik pencitraan sangat berbahaya. Selain mengancam terlaksananya sistem politik yang bermoral, para pemimpin yang berkuasa lewat politik pencitraan akan kesulitan dalam memberikan perbaikan-perbaikan terhadap masalah mendasar rakyat, apalagi untuk menciptakan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi rakyat.
Karakter Pemimpin Negeri yang Peduli Penderitaan Rakyat
Sudah saatnya aktivitas politik di negeri ini dikembalikan pada esensinya, yaitu sebagai sarana mengelola kemaslahatan rakyat demi mewujudkan kesejahteraan yang sebesar-besarnya. Jika merujuk pada Islam, ajaran yang dipeluk mayoritas masyarakat negeri ini, dalam aspek politik, citra pemimpin bukanlah hal utama. Ketika memimpin dan mengatur perkara umat dengan aturan Allah SWT, mereka merasa cukup dengan ridha ilahi ketimbang puja-puji insani.
Keberadaan pemimpin seperti ini juga akan merasa dekat dan mencintai rakyat. Sebaliknya, rakyat pun mencintainya dan senantiasa mendoakan dalam kebaikan. Para pemimpin dalam sistem Islam memahami betul bahwa politik (siyasah) ialah pengaturan urusan umat baik di dalam dan di luar negeri berdasarkan aturan Islam. Politik itu mengatur urusan. Bukan bertempur demi kekuasaan. Atau sibuk cari pencitraan. Islam memandang, kekuasaan hanyalah sarana untuk menerapkan aturan Allah SWT demi memelihara urusan umat dan memenuhi kemashlahatan mereka.
Pun mereka menyadari bahwa hakikat kepemimpinan adalah menjadikannya sebagai pelayan. Bukan justru minta perhatian, pelayanan bahkan memaksa pendanaan semisal menarik pajak dari rakyat. Mereka tahu bahwa tanggung jawab kepemimpinan terjadi secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal, bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya. Adapun secara vertikal, kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, Sang Penguasa Jagat Raya.
Inilah motivasi terdahsyat yang membuat para pemimpin Islam rela berpayah-payah, mendedikasikan seluruh hidupnya demi kemaslahatan umat yang dipimpinnya. Takut terhadap azab Allah SWT saat amanah kekuasaan tak tertunaikan. Dan senantiasa berharap ridha-Nya menyertai di segala aktivitas kepemimpinan.
Mengemban amanah kepemimpinan itu tak semudah mengucap, tak pula sekadar tebar pesona ke rakyat. Pemimpin kuat adalah mereka yang tidak tersandera kepentingan partai, golongan, apalagi menghamba kepada penjajah dan kaum kafir. Bahkan, kepemimpinan kuat adalah sikap berani melawan kezaliman dan menerapkan syariat Islam yang datang dari Allah ’azza wa jalla.
Berikut ini karakter pemimpin negeri yang peduli pada penderitaan rakyat:
Pertama, orang yang paling takut kepada Allah. Pemimpin haruslah mereka yang paling merasa takut dosa dan paling merasa diawasi Allah SWT. Ketika pemimpin memiliki sifat ini, ia akan memimpin berdasarkan apa yang Allah SWT kehendaki. Sehingga kepemimpinannya tidak akan keluar dari batas syariat Islam.
Kedua, shiddiq (jujur). Sifat teladan ini telah dicontohkan Rasulullah SAW sebagai sifat dasar beliau baik sebagai individu ataupun kepala negara. Lawan jujur adalah dusta. Bila pemimpin jujur ia akan dipercaya rakyatnya.
Imam Ibnu Katsir berkata, “Jujur merupakan karakter sangat terpuji, oleh karena itu sebagian besar sahabat tidak pernah coba-coba melakukan kedustaan, baik pada masa jahiliah maupun setelah masuk Islam. Kejujuran merupakan ciri keimanan, sebagaimana pula dusta adalah ciri kemunafikan, maka barang siapa jujur dia akan beruntung.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/643)
Ketiga, amanah. Lawan dari sifat ini ialah khianat. Amanah merupakan sifat wajib yang harus dimiliki seorang pemimpin. Dengan sifat ini, pemimpin akan menjaga kepercayaan rakyat atas tanggung jawab kepemimpinannya.
Dari Ma’qil bin Yasâr radhiyallahu anhu berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allâh untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allâh mengharamkan surga atasnya.” (Muttafaq alaih)
Keempat, tabligh atau komunikatif. Kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu karakter ideal pemimpin dambaan umat. Sebab, pemimpin akan selalu berkomunikasi dengan rakyatnya. Komunikasi yang baik antara pemimpin dan rakyatnya akan menciptakan hubungan yang baik pula. Pemimpin harus terbuka dengan rakyatnya, mendengar keluhan mereka, dan menerima masukan serta nasihat mereka. Pemimpin tidak boleh antikritik. Hal itu telah dicontohkan Nabi SAW dan para khalifah sepeninggal beliau.
Kelima, fathanah (cerdas). Kecerdasan seorang pemimpin akan memudahkannya memecahkan persoalan yang terjadi di masyarakat. Pemimpin cerdas ditopang keilmuan yang mumpuni. Makin berilmu, ia makin memahami dan menyelesaikan persoalan dan solusi tepat bagi rakyatnya.
Keenam, adil. Lawan dari adil adalah zalim. Pemimpin haruslah adil. Di tangannya, hukum ditegakkan. Pujian Allah dan Rasul-Nya terhadap pemimpin adil termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunah. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu Pemimpin) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS An-Nahl: 90)
Sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR at-Tirmidzi)
Itulah beberapa karakter yang wajib dimiliki pemimpin ideal yang akan menjauhkan umat dari penderitaan. Karakter ini nyaris tidak ada di sistem pemerintahan demokrasi sekularistik. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan karakter pemimpin dambaan dibutuhkan sistem baik yang mampu melahirkan sosok tersebut. Tanpa sistem Islam, mustahil kita temukan pemimpin ideal harapan umat.
Dengan sistem Islam, pemimpin yang beriman, bertakwa, adil, dan amanah akan tercipta. Maka, pencitraan pemimpin bukanlah hal penting dalam politik Islam. Bahkan sekali lagi, pemimpin Islam tak butuh piala citra. Ia hanya ingin dapat juara di hadapan Rabbnya.[]
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)
Pustaka
Jena, Yeremias, Bahaya Politik Pencitraan, kompasiana.com, 19 Januari 2014
Jannah, Chusnatul, Karakter Pemimpin Ideal Dambaan Umat, muslimahnews.com, 4 Maret 2021
Studi Psikologi Orang yang Gemar Berbagi dengan Cara Melempar, gelora/co, 1 September 2021
0 Komentar