TintaSiyasi.com-- Pendahuluan
Allah SWT di dalam Al-Qur’an maupun di dalam as-Sunnah, menyeru segenap manusia; baik kafir maupun Mukmin, baik alim maupun awam, baik mujtahid maupun muqallid. Artinya, Allah menuntut kepada semua lapisan manusia agar mereka memahami isi Al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab, tanpa memahami tak mungkin dapat mengamalkan dan menerapkan Al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kehidupan mereka. Namun, pada faktanya tingkat intelektualitas dan pemahaman manusia sangat beragam; tidak dalam satu tingkatan. Sehingga hal ini meniscayakan adanya sebagian golongan yang mengikuti pemahaman orang lain atau golongan lain. Hal inilah yang melahirkan adanya dua golongan manusia dalam memahami dan mengamalkan seruan Allah SWT; mujtahid dan muqallid. Realitas ini telah terjadi sejak awal wahyu turun.
Di sisi lain, Al-Qur’an dan as-Sunnah datang dalam bentuk garis-garis global, menggunakan gaya Bahasa Arab yang sangat tinggi, padat isi, sehingga secara alami, seperti alaminya akal manusia, mengandung dalalah yang bersifat multi dan visibiltas makna yang cukup beragam. Di sinilah lahir berbagai pandangan dari para ahli (baca: fuqaha’) sejak generasi awal Islam. Realitas inilah yang kemudian hari mengkristal dan disebut sebagai mazhab.
Pada saat yang sama, realitas di atas menimbulkan masalah baru bagi para muqallid; kepada pendapat siapa dia harus merujuk, apakah pendapat-pendapat tersebut mengikatnya, apakah mereka harus terikat dengan pendapat satu mujtahid atau satu mazhab, apakah dia harus berada dalam lingkaran satu mazhab, atau dia boleh berada di antara lingkaran berbagai mazhab? Dan jika pun dia berada di antara lingkaran berbagai mazhab, bagaimana dia harus menentukan pilihan terhadap satu pendapat dari beragam pendapat sebagai sebuah pendapat yang dia anut dan dia amalkan dalam rangka mengamalkan seruan Allah SWT. Atau dengan kata lain, bagaimana dia harus mentabanni?
Ternyata rumit juga menjadi seorang muqallid, meski kenyataannya dia dapat diibaratkan dengan para penikmat kuliner yang tinggal menyantap begitu saja semua makanan yang telah tersaji.
Taqlid dan Hukumnya
Secara bahasa, taqlid artinya mengikuti orang lain tanpa melakukan pengamatan atau penelitian. Adapun dalam istilah, taqlid dimaknai sebagai pengamalan terhadap pendapat orang lain dengan tanpa hujjah mulzimah (mengikat).
Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan “orang lain” dalam definisi taqlid adalah seorang mujtahid. Adapun taqlid kepada selain mujtahid, maka tidak dibolehkan. Sebab, selain mujtahid, baik dia level muta’allim (baca: alim ulama, kyai, ustadz, dan lain-lain) maupun awam. Sebab, hakikat taqlid adalah mengambil hukum syara’ melalui, dan dari, hasil ijtihad orang lain. Dan satu-satunya yang melakukan ijtihad adalah seorang mujtahid. Namun, bukan berarti bahwa seorang harus mengambil hukum syara’ langsung dari seorang mujtahid. Melainkan, dia boleh mengambil hukum syara’ hasil ijtihad tersebut dari siapa saja, baik mujtahid atau bukan, dengan syarat ada jaminan bahwa sumber tersebut dapat dipercaya kredibiltasnya. Sebagaimana seorang muqallid, setelah mempelajari hukum syara’ dari seorang mujtahid atau non mujtahid, dia boleh mengajarkannya kepada orang lain. Yang tidak boleh adalah: ber-taqlid kepada selian mujtahid. Sebab, hakikat taqlid adalah mengambil dan mengamalkan hukum syara’, dan yang melakukan istinbath hanyalah seorang mujtahid.
Adapun hukum taqlid dalam masalah hukum syara’, maka dibolehkan bagi seorang mujtahid dengan alasan ijtihad adalah fardhu kifayah, dan wajib bagi selain mujtahid, karena Allah SWT memerintahkan bertanya kepada orang yang memiliki ilmu bagi siapa saja yang tidak mengetahui (lihat: QS. An-Nahl:43), juga perintah Nabi SAW yang memerintahkan bertanya bagi siapa saja yang bingung (HR. Abu Dawud). Sedangkan dalil-dalil yang mencela taqlid, maka yang dimaksud adalah taqlid dalam masalah iman, bukan dalam masalah hukum syara’. Ayat-ayat tentang hal ini, meski bersifat umum, namun tentu umum dalam konteksnya, seperti ditegaskan oleh Imam an-Nabhani ra di dalam as-Syakhshiyyah.
Di sini muncul dua masalah, bagaimana jika seorang muqallid dihadapkan dengan banyak pendapat (hasil ijtihad) para mujtahid; apakah dia boleh memiliih salah satu dengan sesuka hatinya? Bolehkah dia berpindah-pindah dari satu mujtahid ke mujtahid yang lain?
Masalah pertama, tentang memilih salah satu pendapat dengan sesuka hati. Dalam hal ini terdapat beberapa pandangan ulama.
Malikiyah, Hanabilah, dan al-Ghozali: Tidak boleh memilih dengan sesuka hati. Bahkan Ibn Abdil Barr mengutip adanya ijma’ terkait larangan ini. Sebab, hal itu artinya mengikuti hawa nafsu, dan ini jelas dilarang.
Al-Qarafi (dari mazhab Maliki), mayoritas Ash-hab Syafii, pendapat rajih di kalangan Hanafi: Boleh memilih sesuka hati. Dengan alasan tidak ada dalil yang melarang, karena pada prinsipnya seorang dapat memilih yang lebih mudah. Imam al-Qarafi memebrikan satu syarat selama tidak terjadi talfiq.
Pendapat as-Syathibi dan as-Sam’ani: Wajib melakukan tarjih.
Manakah, dari tiga pendapat tersebut, yang lebih rajih? Sebelum menjawab pertanyan ini, perlu kita pahami bahwa setiap Muslim diperintahkan untuk mengambil hukum syara’, dan hukum syara’ adalah seruan as-Syari’, Allah SWT, dan seruan ini hakekatnya tidak berbilang. Jika terjadi berbilang dalam pemahaman, maka masing-masing pemahaman adalah hukum syara’ bagi pemiliknya dan orang-orang yang mengikutinya, bukan yang lain.
Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa ketika ada dua pendapat yang berbeda di hadapan seorang muqallid, maka sesungguhnya masing-masing mujtahid mengikuti dalilnya. Oleh sebab itu, memilih salah satunya berdasarkan selera adalah bentuk mengikuti hawa nafsu. Dan mengikuti hawa nafsu jelas dilarang. Andai mengikuti selera dalam masalah semacam ini dibolehkan, tentu hal ini juga boleh bagi seorang hakim (qadhi), dan ini jelas bathil berdasarkan ijma’ sahabat. Apalagi dalam masalah ini terdapat panduan Al-Qur’an yang bersifat global, yaitu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya jika terjadi perselisihan. Dan kembali kepada Allah dan Rasul itu artinya merujuk kepada aspek-aspek murajjih (penggungalan satu atas yang lain) yang diridhai oleh Allah. Bukan hawa nafsu atau selera.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam masalah ini seorang muqallid wajib melakukan tarjih. Bagi seorang muqallid ada dua alat tarjih: pertama, murajjih ‘am, yakni pentarjihan yang berkaitan dengan sosok yang akan diikuti. Kedua, murajjih khash, yakni dalam satu hukum syara’ yang ingin diikuti. Dan pada dua alat tarjih ini berlaku sifat a’lamiyyah (yang paling tahu/ahli).
Bermazhab
Mazhab, secara bahasa maknanya tempat berjalan atau pergi. Secara istilah, seperti dikemukakan oleh al-Khathib as-Syirbini, mazhab artinya adalah hukum-hukum syara’ yang mencakup berbagai masalah. Secara informal, mazhab dalam makna ini telah ada sejak zaman sahabat. Kita sering mendengar ungkapan: Mazhab shabat. Mazhab Aisyah, Mazhab Ibn Umar, Mazhab Ibn Mas’ud, dan lain-lain.
Dari uraian sebelumnya, dapat kita pahamai adanya satu masalah, yaitu masalah bermazhab. Jika seorang mengikatkan diri dengan mazhab satu mazhab tertentu, itu artinya dia telah bermazhab. Ada tiga pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama menyatakan bahwa wajib hukumnya mengikatkan diri pada sebuah mazhab (bermazhab). Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak wajib mengikatkan diri pada satu mazhab. Jika sesorang telah mengikatkan diri pada sebuah mazhab, dia tidak wajib meneruskannya. Dia boleh pindah ke mazhab yang lain. Sebab, Allah tidak memerintahkan untuk mengikuti satu mazhab tertentu, melainkan Allah memerintahkan agar kita mengambil hukum syara’; mengambil apa yang dibawa oleh Nabi saw. Para penganut mazhab yang ada, jika mereka mengikuti hukum syara’ yang digali oleh mujtahid mazhabnya, maka aktivitas mereka dinyatakan syar’i. Sebaliknya, jika mereka mengikuti sosok mujtahidnya, maka amal mereka tidak syar’i. Di sinilah, an-Nabhani mengingatkan kepada seluruh pengikut mazhab bahwa hakekat mereka bermazhab adalah mengikuti hukum syara’ yang digali oleh para pendiri mazhab. Jika tidak demikian, maka mereka bertanggung jawab di hadapan Allah karena telah meninggalkan hukum Allah dan mengikuti sosok yang notabene adalah hamba Allah SWT.
Penjelasan di atas mengenai bermazhab. Adapun masalah meninggalkan hukum-hukum yang ada dalam satu mazhab (yang diikuti oleh seorang muqallid), maka dapat dirinci sebagai berikut.
Jika dia telah mengambil hukum tertentu (dari sebuah mazhab), namun belum dia amalkan, maka dia boleh meninggalkan hukum tersebut dan mengambil pendapat lain berdasarkan aspek pentarjih.
Jika dia telah mengamalkan, maka dia tidak boleh meninggalkan hukum tersebut, kecuali hukum kedua memiliki dalil lebih kuat.
Adapun mengambil hukum yang lain (bukan yang sedang dia amalkan, atau telah telah dia amalkan), dari mazhab lain, maka dapat dirinci sebagai berikut:
Pertama: Jika seseorang mengkomitmenkan dirinya pada satu mazhab (bermazhab), maka:
Pada satu masalah dari mazhab yang dia anut masih berkaitan dengan amalnya, maka dalam hal ini dia tidak boleh mengikuti mazhab lain. Sedangkan pada masalah yang sudah tidak terkait dengan amalnya, maka boleh mengikuti mazhab lain.
Perlu diketahui bahwa boleh menganut mazhab lain dalam satu masalah yang tidak berkaitan dengan amalnya tersbut dengan syarat masalah tersebut telah benar-benar terputus dari masalah lain dan tidak menyebabkan terjadinya pencideraan terhadap hukum syara’. Dengan kata lain harus satu paket, dalam istilah para ulalam: dalam satu qadhiyyah.
Kedua, jika seeorang tidak mengkomitmenkan dirinya pada satu mazhab tertentu. Maka dalam kondisi ini, dia boleh mengambil pendapat lain dalam satu masalah.
Tabanni dan Taqlid
Tabanni, secara bahasa memiliki beberapa makna. Di antaranya diambil dari kata “Ibn” yang berarti anak. Sehingga maknanya “menjadikan/mengangkat anak”. Makna lainnya adalah diambil dari kata: “bina’”, yang berarti membangun. Sehingga, “tabanni” maknanya membangun.
Adapun tabanni menurut istilah adalah pengambilan seorang Muslim terhadap satu hukum yang diperselisihkan sehingga hukum tersebut menjadi pendapatnya dan dia berkomitmen untuk mengamalkannya, dan mendakwahkannya, mengajarkannya, saat dia menyerukan pemikiran dan hukum-hukum Islam.
Tabanni dilakukan dengan cara mentarjih salah satu pendapat dari beberapa pendapat yang ada dalam satu masalah, dengan kepuasan intelektual berdasarkan dalil-dalil yang mu’tabar. Tabanni bersifat mengikat, dalam arti setelah melakukan tabanni pada satu pendapat, maka pendapat tersebut menjadi hukum Allah bagi orang yang mentabanninya dan dia tidak boleh mengamalkan yang lain.
Hubungan Tabanni dengan Taqlid
Tabanni merupakan fenomena (zhahirah) kolektif; mencakup induvidu, kelompok, umat, dan negara. Satu hal yang sangat fital bagi para pemegang kendali individu mapun komunitas (jama’ah). Tabanni dilakukan dengan cara meyakinkan dengan mentransfer pemikiran dengan dalil-dalilnya ke dalam akal obyek dengan metode pemikiran yang mengharuskannya untuk beramal. Sedangkan taqlid merupakan fenomena individu, dan tidak mengharuskan adanya kepuasan intelektual. Oleh sebab itu, taqlid tidak bisa menjadi pengikat dalam sebuah proyek kebangkitan umat.
Dengan demikian, tabanni memiliki hubungan dengan taqlid dari satu sisi. Namun tidak dapat menghalangi seorang muqallid mazhab tertentu untuk bergabung bersama bekerja dalam proyek kebangkitan umat. Wallah a’lam. []
Oleh: Ustaz Utsman Zahid
(Pengasuh Pondok Pesantren Nahdhotul Muslimat Surakarta)
0 Komentar