TintaSiyasi.com -- Rumah tangga asmara (as-sakinah mawaddah wa rahmah), siapa yang tak mendambakannya? Sebuah situasi rumah tangga, termasuk di dalamnya relasi suami istri, yang diwarnai ketenteraman dan kasih sayang berdasar kecintaan terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya. Namun di tengah belitan sistem sekularisme kapitalistik liberal saat ini, potret keluarga ideal tersebut sering kali sulit ditemui.
Yang dominan nampak adalah fenomena buram sebagaimana kisah pasangan di Konawe, Sulawesi Tenggara. Seorang suami tega menghabisi nyawa istrinya. Diduga penyebabnya karena sang istri kerap tak izin ke suaminya saat pergi keluar rumah (detik.com, 28/9/2021). Dalam ajaran Islam, istri keluar rumah memang harus izin suami. Namun, saat sang istri melakukan kesalahan, mestikah hidupnya diakhiri?
Kisah sebaliknya terjadi di Serang, Banten. Seorang istri terancam hukuman 15 tahun penjara gegara membunuh suaminya. Percekcokan mereka dipicu sang istri yang dipaksa berhubungan oleh suaminya. Sementara istri tersebut meragukan status pernikahan mereka tersebab suaminya bekerja di Timur Tengah selama delapan tahun dan baru kembali ke kampung halaman. Sang suami marah lantas menganiaya si istri. Ia menggigit tangan istrinya. Untuk melepaskan gigitan tersebut, sang istri mencekik suami hingga melayang nyawanya (detik.com, 2/9/2021).
Tragedi menyesakkan dada tak hanya menimpa kedua pasangan di atas. Setiap hari, kasus rumah tangga seperti KDRT, perselingkuhan, perceraian, hingga pembunuhan, tak berjeda menghiasi pemberitaan media. Alih-alih meraih makna bahagia, fenomena ini kian menjauhkan pasangan dan anggota keluarga dari tujuan pernikahan yaitu tercipta rumah tangga berkarakter asmara (as-sakinah mawaddah wa rahmah).
Salah satu penyebab masalah ini ialah ditinggalkannya pengaturan Islam, khususnya yang terkait pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pasangan. Oleh karena itu, menjadi keniscayaan bagi suami istri Muslim untuk terus belajar, memahami, dan saling bersinergi menerapkan tuntunan Islam dalam pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing. Inilah prasyarat yang mesti ditempuh demi meraih rumah tangga asmara.
Penunaian Hak dan kewajiban Suami Istri sebagai Bagian Ibadah kepada Allah SWT
Allah SWT telah menjadikan kehidupan suami istri sebagai tempat yang penuh kedamaian. Allah SWT berfirman, “Dan di antara tanda–tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri–istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum: 21)
Dirangkumkan dari tafsir Ibnu Katsir dan Al-Mukhtashar, ayat ini mengandung makna yaitu pertama, Allah SWT menciptakan pasangan hidup dari jenis sendiri (manusia). Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Nabi Adam. Sekiranya Allah tidak menjadikan Hawa untuk Adam, dan Dia menciptakan semua Bani Adam adalah laki-laki, serta menjadikan pasangan mereka bukan dari jenisnya seperti jin atau hewan, maka tak akan terjadi ketenteraman dan kerukunan.
Kedua, litaskunuu ilaihaa. Makna as-sakn/sakinah adalah al ithmi’nan (ketenteraman/kedamaian). Dalam konteks ini artinya agar pernikahan itu menjadikan seorang suami merasa tenteram dan damai di sisi istrinya, pun sebaliknya. Mereka akan saling cenderung satu sama lain, bukannya saling menjauhi.
Ketiga, mawaddah. Secara makna bahasa, mawaddah berarti: cinta kasih, keinginan bersama. Imam Sayuti dalam tafsir Dur Mantsu(11/595) yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Al-Mundzir, mawaddah adalah makna kinayah dari al jima’(hubungan suami istri).
Keempat, rahmah. Makna bahasa dari rahmah ialah kasih sayang, kelembutan, biasanya timbul karena ikatan pertalian darah. Imam Sayuti dalam tafsir Dur Mantsur, rahmah adalah makna kinayah dari al walad (keturunan). Begitu pun dengan Imam Mujahid dan Ikrimah dalam tafsir Al Bahr Al Muhyith.
Kelima, agar bertafakkur. Tujuan pernikahan bukan sekadar melangsungkan keturunan dan terciptanya keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, namun agar manusia juga bersyukur atas nikmat Allah SWT dan mengagungkan kebesaran-Nya.
Jadi, ketentuan dasar dalam pernikahan adalah kedamaian, dan dasar kehidupan suami istri adalah ketenteraman. Namun, suasana damai dan tenteram ini hanya akan diperoleh dalam relasi suami istri yang berbalut persahabatan. Pergaulan suami istri bukanlah interaksi bisnis atau perseroan yang berbasis untung rugi secara materi. Pun bukan layaknya hubungan komandan sebuah divisi militer dengan anggota pasukan yang mau tak mau harus diiyakan.
Islam memandang, istri merupakan sahabat bagi suami. Demikian sebaliknya. Pergaulan di antara suami istri adalah pergaulan persahabatan. Satu sama lain merupakan sahabat sejati dalam segala hal. Jenis persahabatan yang diharapkan mampu memberikan rasa damai dan tenteram satu sama lain, saat keduanya bersama dalam mahligai rumah tangga.
Selain itu, agar persahabatan suami istri dipenuhi kedamaian dan ketenteraman, syariat Islam telah menjelaskan apa yang menjadi hak istri atas suami dan hak suami atas istri. Berikut kewajiban istri terhadap suami, pun kewajiban suami terhadap istri. Pengabaian terhadap pemenuhan hak dan kewajiban tersebut niscaya mengantarkan suami istri pada kegagalan pencapaian tujuan pernikahan, salah satunya tak akan terwujud sakinah mawaddah wa rahmah.
Hanya saja, pasangan Muslim saat menjalankan pemenuhan hak dan kewajibannya tak sekadar demi meraih kesakinahan rumah tangga. Yang lebih utama adalah melaksanakannya sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah SWT. Sehingga apa yang dilakukannya akan bernilai ibadah dan mendapat pahala di sisi Allah SWT. Bukankah Allah SWT adalah ghayatul ghayah (tujuan dari segala tujuan), dan ridha Allah menjadi prioritas peraihan setiap hamba dalam segala aktivitasnya?
Allah SWT telah berfirman, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyaat: 56)
Menjalankan pernikahan sebagai bagian ibadah karena juga mengimplementasikan ajaran Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda, “Menikah adalah sunahku. Barang siapa yang tidak mengamalkan sunahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat).” (HR. Ibnu Majah)
Pemahaman bahwa menikah adalah ibadah, memenuhi hak dan kewajiban pasangan (juga anggota keluarga lainnya) merupakan bagian ibadah, menjadi hal penting. Maka, pernikahan harus didasarkan semata-mata demi menjalankan perintah Allah SWT dan tuntunan Rasulullah SAW. Bukan karena materi, kecantikan, dan jabatan.
Pernikahan akan mudah hancur jika dorongan utama karena ketiganya. Bukankah semua itu bisa berkurang atau hilang? Jika seseorang menikah karena materi, cintanya akan berkurang saat pasangan hidupnya kesulitan materi atau jatuh miskin. Kalau didasarkan pada jabatan, ia bisa hilang dan berakhir. Bila menikah karena rupa, kecantikan wanita tentu saja akan memudar seiring usia menua.
Dengan demikian, pastikan pernikahan dilakukan sebagai bentuk ketaatan hamba kepada Allah SWT. Insya Allah akan langgeng karena yang diharap hanyalah ridha Allah SWT. Selama manusia berupaya, ketaatan itu akan selalu ada.
Dampak Pengabaian Pemenuhan Hak dan Kewajiban Suami Istri terhadap Keharmonisan Rumah Tangga
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barang siapa menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya (ibadahnya). Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT dalam memelihara sebagian sisanya.” (HR. Ath Thabrani dan Hakim)
Menikah menjadi sarana menyempurnakan agama karena di dalamnya ada begitu banyak perintah dan larangan Allah SWT yang mesti ditunaikan. Termasuk pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pasangan. Rumah tangga menjadi ladang subur untuk beribadah dan beramal shalih.
Hanya saja, sebagai bentuk ibadah, pernikahan tentu tak lepas dari ujian dan cobaan. Ini adalah konsekuensi keimanan seorang Muslim. Allah tentu tak membiarkan manusia mengatakan beriman. Namun Dia akan memberi mereka cobaan. Meski di tengah berbagai ujian pernikahan, pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pasangan tetap tak boleh diabaikan.
Bila pasangan tersebut menggunakan standar Islam dalam kehidupan pernikahan, maka cobaan tidak menjadi penghancur bagi sebuah ikatan pernikahan yang agung. Tetapi jika standar manusia sendiri yang digunakan, maka akan berujung pada petaka.
Jika Allah memerintahkan suami bekerja mencari nafkah, sang suami pun melakoni tugasnya dengan ikhlas. Demikian pula sang istri sebagai pengatur rumah tangga. Kalau pun terjadi perselisihan, mereka kembalikan kepada petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya.
Lantas bagaimana jika masing-masing pasangan tidak optimal atau mengabaikan pemenuhan hak dan kewajibannya? Berikut ini dampak negatif yang mungkin terjadi terhadap keharmonisan rumah tangga:
1. Memicu percekcokan hingga berujung pada perceraian.
Tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri mengakibatkan kekecewaan di hati pasangan. Jika kesenjangan ini terus-menerus terjadi, akan sangat mudah memicu konflik atau percekcokan. Ketidakpuasan terhadap sikap pasangan juga memicu adanya perselingkuhan. Lebih jauh lagi, saat kecocokan tak lagi dirasa maka perceraian menjadi pilihan di ujungnya.
2. Suasana keluarga jauh dari nuansa sakinah mawaddah wa rahmah.
Perselisihan akan menimbulkan suasana “panas” dalam rumah tangga. Kondisi ini tentunya berkebalikan dengan suasana sakinah yang didambakan setiap keluarga. Berkarakter tenang dan damai, sakinah membutuhkan suasana yang cenderung adem dan menyejukkan. Pertengkaran yang sering berlangsung akan menjauhkan penghuni rumah dari tujuan keluarga sakinah.
3. Anak-anak tidak terawat/terkelola maksimal.
Jika pasangan berada dalam relasi tidak ideal akibat tidak terlaksananya tugas dan fungsi masing-masing, tentu akan berpengaruh kepada tumbuh kembang anak-anaknya. Anak tidak akan terkelola secara maksimal, bahkan mungkin diabaikan. Bagaimana pun anak-anak adalah korban utama pertikaian orang tuanya.
4. Ridha Allah SWT tak mampu diraih.
Saat suami istri tidak menjalankan kewajibannya yang itu menjadi hak pasangan untuk ditunaikan, maka telah terjadi kemaksiatan di dalamnya. Karena ia tidak menaati perintah Allah atau melanggar larangan-Nya. Saat seseorang bermaksiat kepada Allah SWT, bagaimana mungkin Allah memberikan ridha-Nya? Dan bagaimana bisa pasangan tersebut merasakan hakikat bahagia? Tersebab bagi Muslim, makna bahagia sejati ialah kala Allah SWT mencurahkan ridha bagi dirinya.
5. Menambah beban hisab kelak di yaumil akhir.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya...” (HR. Bukhari). Berdasarkan hadis ini, jika suami atau istri tidak menjalankan fungsinya, maka akan menambah berat bebannya kelak saat menghadap Allah SWT.
Demikian beberapa dampak negatif yang mungkin terjadi saat suami atau istri mengabaikan pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing. Akibatnya, rumah tangga tidak harmonis dan jauh dari tercapainya tujuan pernikahan sakinah mawaddah wa rahmah.
Aturan Islam tentang Pemenuhan Hak dan Kewajiban Suami Istri Menuju Keluarga Sakinah Mawaddah wa Rahmah
Agar persahabatan suami istri berlimpah kedamaian dan ketenteraman, syariat Islam telah mengaturnya secara indah. Islam telah menjelaskan hak dan kewajiban masing-masing. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis menjelaskan secara gamblang masalah tersebut.
Allah SWT berfirman, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (QS. AL Baqarah: 228)
Artinya, istri memiliki hak-hak dalam konteks suami istri terhadap suaminya, sebagaimana suami juga memiliki hak-hak terhadap istrinya. Karena itu, Ibnu Abbas pernah bertutur, “Sungguh aku berhias untuk istriku, sebagaimana ia berhias untukku. Aku pun suka meminta agar ia memenuhi hakku yang wajib ia tunaikan untukku. Dan ia juga minta dipenuhi haknya yang wajib aku tunaikan untuknya. Sebab Allah SWT telah berfirman (yang artinya): Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (QS. Al Baqarah: 228)
Ibnu Abbas juga berkata, “Para istri berhak atas persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka. Sebagaimana mereka wajib taat (kepada suaminya) dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka.” Artinya, suami tidak hanya menuntut istri memenuhi segala kehendak atau kebutuhannya tapi juga harus memenuhi hak dan kebutuhan istri.
Berikut ini hak istri atas suami, antara lain:
Pertama, dipergauli secara makruf (baik), di mana ini merupakan tambahan atas kewajiban memenuhi hak-hak istri berupa mahar dan nafkah, yakni tidak bermuka masam, berkata lemah lembut, bersikap tidak kasar/ keras, dan tidak menampakkan kecenderungan kepada wanita lain.
Kedua, mendapatkan nafkah secara makruf (layak), di mana menurut Ibnu Katsir, yakni dengan kondisi yang secara standar di negeri-negeri mereka dengan tanpa israf (pada sesuatu yang haram) dan juga tidak iqtar (bakhil), sesuai kemampuannya dalam kelapangan rezekinya, kebaikannya, maupun keterbatasannya.
Ketiga, menerima mahar, yaitu sesuatu yang diberikan suami kepada istri saat pernikahan.
Keempat, dibimbing dan diajarkan agama yang baik, jika suami tak mampu mengajarkannya maka mencarikan guru atau memberikan kesempatan istri mempelajari agama dengan berbagai sarana yang memungkinkan.
Kelima, diberi keadilan di antara para istri jika suami beristri lebih dari satu, dalam batas keadilan yang manusia mampu mengupayakan.
Adapun kewajiban istri atas suami antara lain:
Pertama, taat pada suami, kecuali dalam hal-hal yang menyalahi aturan Allah SWT.
Kedua, bermuka manis dan berhias demi menyenangkan hati suami dan membuatnya tenang.
Ketiga, menjaga harta dan kehormatan suami, terlebih jika suami tidak berada di rumah.
Keempat, mencari kerelaan dan menghindari kemarahan suami.
Kelima, mengatur rumah dengan baik, agar tercipta rumahku surgaku yang memberikan rasa nyaman bagi penghuninya.
Keenam, qona’ah (merasa cukup) dan bersyukur apa yang diberikan suami.
Ketujuh, dapat mengatur keuangan keluarga, tidak berfoya-foya, dan tidak bersikap boros.
Sementara itu, sebagai qawwam (pemimpin) dalam rumah tangga, suami memiliki hak atas istrinya, antara lain:
1. Ditaati dalam hal apa pun dengan syarat perintah dan larangannya tidak mengandung maksiat atau kejahatan.
2. Mendidik istri ketika nusyuz (membangkang) kepada suaminya dan memberikan sanksi yang dibolehkan syariat jika istri berdosa dalam rangka ta’dib (membina), bukan untuk menghukum itu sendiri.
3. Mendapatkan khidmat (pelayanan) terbaik dari istri dalam penyediaan makanan dan pemenuhan kebutuhan/keinginan lainnya.
4. Memberikan izin atau tidak kepada istri untuk keluar rumah, di mana suami yang shalih akan memberikan kesempatan pada sang istri untuk melakukan amal shalih di luar rumah sebagai bentuk penunaian kewajiban istri sebagai hamba Allah, anggota masyarakat, atau anak dari orang tuanya, misalnya: menuntut ilmu, menjenguk orang tua, serta berdakwah.
Adapun kewajiban suami terhadap istri yaitu:
1. Membimbing dan menjaga istri serta anggota keluarga lainnya agar terhindar dari perilaku maksiat dan siksa api neraka.
2. Melindungi dari segala bentuk ancaman dan gangguan yang berpengaruh terhadap keamanan dan kenyamanan istri.
3. Mengajarkan pendidikan agama dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna bagi diri istri, keluarga, dan umat.
4. Memberikan nafkah kepada keluarga secara makruf (layak) dalam batas-batas kemampuan sang pencari nafkah, meliputi: tempat tinggal, sandang, pangan, biaya rumah tangga, pengobatan, pendidikan, dan kebutuhan lain yang disanggupi.
5. Memuliakan istri dalam interaksi keseharian agar menenteramkan jiwa dan membahagiakan hidup istri, insya Allah akan menambah rezeki dan mencukupkannya.
Terkait fungsi qawwam (kepemimpinan) suami dalam rumah tangga, maknanya adalah pengaturan dan pemeliharaan urusan rumah tangga, bukan berkuasa dan hak memerintah secara mutlak. Tanggung jawab suami atas istri bukan berarti boleh bertindak otoriter seperti penguasa yang tidak bisa dibantah perintahnya. Istri berhak memberi masukan, mendiskusikannya, dan membahas apa yang dikatakan suaminya karena keduanya merupakan sahabat, bukan penguasa dengan rakyat. Namun, meski keduanya sahabat karib, kepemimpinan pengaturan dan pemeliharaan rumah tangga diserahkan kepada suami.
Berkaca pada Rasulullah SAW, beliau mempraktikkan kepemimpinan bernuansa persahabatan dalam rumah tangga. Rasulullah SAW bergaul secara indah dengan para istri. Selepas shalat Isya’, biasa masuk ke rumah dan bersendau gurau bersama keluarga untuk menghibur sebelum tidur, bersikap lemah lembut, sering membuat mereka tertawa, bahkan pernah berlomba lari dengan Aisyah ra. Dalam rumah tangga, Rasulullah SAW merupakan sahabat karib bagi istri-istrinya, bukan seorang penguasa otoriter, meski beliau kepala negara sekaligus nabi.
Demikianlah pengaturan Islam terkait hak dan kewajiban suami istri. Pemenuhannya akan mengantarkan pada tercapainya rumah tangga asmara (as-sakinah mawaddah wa rahmah). Pun sebaliknya. Dan rumah tangga sakinah yang ditegakkan secara individual akan lebih terjaga dan tahan lama dalam dukungan sistem Islam yang diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum
(Pakar Hukum dan Masyarakat)
Puspita Satyawati
(Analis Politik dan Media)
An-Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Pergaulan dalam Islam, HTI Press, 2014
0 Komentar