TintaSiyasi.com-- Sudah sangat nyata, bahkan telah merata dialami oleh umat Muslim di seluruh belahan dunia. Iya, umat Muslim saat ini mengalami berbagai macam problematika. Di antaranya, pembunuhan, pengusiran, penindasan, penganiayaan, dan penjajahan, seperti yang terjadi di Suriah, Palestina, Rohingya, Kashmir, Uighur, Yaman, dan negeri-negeri Muslim lainnya. Termasuk maraknya kriminalisasi umat Muslim dan monsterisasi ajaran Islam seperti niqab, hijab, jihad dan sistem pemerintahan Islam (khilafah). Problematika ini bahkan tak sekadar dirasakan oleh umat Muslim minoritas saja, tetapi di negeri mayoritas Muslim pun tak lepas dari persoalan ini.
Pedihnya, saat Muslim di Uighur dituduh sebagai radikal dan teroris, yang pada akhirnya berakibat pada reeducation camp. Muslim Palestina mengalami penjajahan dan perampasan tanah mereka. Muslim Suriah dibombardir hingga ratusan ribu nyawa melayang dan jutaan jiwa kehilangan tempat tinggal hingga harus mengungsi. Dan umat Islam di berbagai negeri mengalami penindasan dan diskriminasi, bahkan dimusuhi dan tidak diakui sebagai warga negara sebagaimana yang dialami Muslim Rohingya. Kaum muslim di negeri lain terhalangi memberi pertolongan karena terjerat ide nasionalisme yang mematikan.
Mengapa ini terus terjadi dan bahkan semakin memburuk? Apakah hukum-hukum international tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan mereka? Haruskah bergantung pada lembaga-lembaga dunia yang seakan menutup mata kepada penderitaan umat Muslim? Apa yang harus dilakukan umat Muslim untuk bangkit dari keterpurukannya? Adakah jalan keluar bagi umat Muslim untuk kembali berjaya dan meraih masa keemasannya seperti yang terjadi di masa sebelumnya?
Negara Barat dan Dunia Internasional Terus Memburu dan Mengeksploitasi Umat Muslim Melalui Beragam Cara dan Lembaga
Jika umat Muslim mau menelusuri sejarahnya, akan menemukan akar permasalahan dari seluruh problematika yang menimpanya saat ini. Tak tdrelakkan lagi, keterpurukan umat Muslim dimulai semenjak hilangnya institusi khilafah, umat tak lagi memiliki junnah. Semenjak saat itu pula, satu persatu negeri-negeri Muslim dibatasi oleh sekat-sekat nasionalisme, terpenjara dalam nation-state. Inilah yang membuat negara Barat dan dunia internasional dengan mudahnya menjajah umat Muslim di negsri-negeri mereka.
Racun nasionalisme berikut dengan kemerdekaan semu yang diberikan dunia internasional telah menjajah sebagian besar negeri-negeri Muslim dari segi pemikiran, hukum, budaya, ekonomi, dan semua lini kehidupan. Sebagain negeri Muslim lainnya terjajah secara fisik, dirampas tanahnya, ditumpahkan darahnya, direnggut jiwanya, dan dizalimi tanpa memberi jalan bagi saudara mereka di negeri lain untuk bangkit menolong mereka.
Aktivis Muslim Yaman Ramzi Nasser mengatakan, cara pandang nasionalisme bukanlah cara pandang Islam dan itu pula yang kemudian menyebabkan umat Islam saat ini terpecah belah. Ramzi menegaskan, ikatan nasionalisme penuh kepalsuan.
Lawyer Expert Amerika Dr. Abdur Rafay mengungkap, nasionalisme adalah problem dasar bagi kemanusiaan secara politik dan ekonomi. Bahkan menciptakan kelas rasial. Itulah kenyataan yang terjadi di negara- negara nation state atau nasionalisme yang telah menyebabkan banyak kematian akibat dominasi terhadap kelompok minoritas. Nasionalisme telah melahirkan dehumanisasi. Atas nama nasionalisme, menyebabkan banyak kematian manusia dan penguasaan sumber daya alam. Kondisi menyedihkan Muslim Rohingya sebagai hasil dari suatu penerapan konsep nation state. Nasionalisme yang menjadikan Muslim Rohingya tidak memiliki identitas kenegaraan karena dianggap komunitas ilegal yang mendiami Rakhine, Myanmar.
Belum lagi, di negeri Muslim mayoritas tak seluruhnya menyadari kemerdekaan semu yang membelenggu mereka. Penjajahan gaya baru memang sulit dapat mereka sadari ketika racun nasionalisme telah menyebar di pikiran umat Muslim, dibumbui dengan akidah sekuler yang semakin mengakar, serta gaya hidup liberal yang semakin meciptakan manusia-manusia hedonis. Akhirnya, mereka diam bahkan ikut larut dalam skenario jahat kriminalisasi ulama dan aktivis dakwah, monsterisasi ajaran Islam, baik tentang niqab, hijab, jihad ataupun sistem pemerintahan Islam khilafah.
Nasionalisme menjadi cara ampuh bagi negara Barat dan dunia internasional untuk menghancurkan umat Muslim dari segala lini kehidupan mereka. Bukan hanya itu, hukum-hukum international pun tak memiliki sedikit pun pengaruh untuk dapat digunakan sebagai cara untuk melindungi umat Muslim. Lembaga dunia PBB, ICC, OKI dan lainnya tak memiliki nyali untuk menyelesaikan persoalan umat Muslim di negeri-negeri mereka.
Benar adanya ketika, Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menyatakan bahwa PBB tidak mampu menghentikan kejahatan tersebut dan pemimpin negeri-negeri Muslim hanya peduli wilayahnya, tidak peduli kepada umat Islam yang berbeda negara.
Padahal telah jelas kejahatan-kejahatan itu melanggar hukum internasional, Prof. Suteki tegas membeberkan bahwa apa yang terjadi di Uighur-Cina, merupakan 'international crime against humanity' (kejahatan kemanusiaan internasional). Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) The Roma Statute of the International Criminal Court (ICC) "Kejahatan terhadap Kemanusiaan," yaitu serangan meluas atau sistematis terhadap kelompok penduduk sipil yang ditandai oleh tindakan pembunuhan dan pemusnahan.
Bahkan, merujuk pernyataan Prof. Suteki di atas, Lawyer dari United Kingdom, Mr. Wakil Abu Dawud membongkar fakta tentang International Criminal Court (ICC) “Kejahatan terhadap kemanusiaan” yang hanya berkenaan dengan negara-negara yang terlibat kesepakatan tersebut, ternyata semua aturan tersebut tidak dijalankan. Menurutnya, undang-undang internasional hak asasi manusia yang didirikan pasca perang dunia kedua juga telah terbukti dilanggar. Bukan mengada-ada ketika pengacara ini mengatakan bahwa undang-undang internasional tersebut ternyata telah digunakan dan dipakai atau diterapkan secara selektif oleh kekuatan negara kolonial hanya untuk menguatkan hegemoni mereka (Barat penjajah).
Bahkan, kekuatan Barat (Inggris, Amerika, Perancis dan Rusia) menggunakan dalih memerangi ISIL masuk ke Suriah menjadikan kondisi umat Islam semakin parah dan konflik tak kunjung usai. Mereka terus melakukan serangan udara yang menyebabkan kepada terbunuhnya nyawa umat Islam yang tidak berdosa. Nasib umat Islam di Suriah yang lebih dari 10 tahun masih belum membaik. Ada 400000 orang terbunuh yang tentu angka tersebut bisa jadi lebih besar pada faktanya, kemudian 6 juta pengungsi yang hingga hari ini masih belum terperhatikan.
Namun, lagi-lagi dunia internasional bungkam. Lembaga-lembaga internasional bergeming. Undang-undang internasional mandul. Karena sejatinya, semua itu menjadi cara bagi negara-negara Barat untuk menguasai umat Muslim di negeri-negeri mereka. Faktanya, negara Barat dan dunia internasional menggunakan beragam cara dan lembaga untuk terus memburu dan mengeksploitasi umat Muslim, menjajah mereka, menguasai kekayaan ataupun tanah mereka, dan bahkan menumpahkan darah dan jiwa mereka.
Negara Barat dan dunia internasional melalui berbagai cara, baik dengan racun nasionalisme, sekat nation-state untuk terus memburu dan mengeksploitasi umat Muslim di negeri-negeri mereka. Lembaga-lembaga dunia PBB, OKI, ICC dibiarkan tak bernyali menyelesaikan problematika umat Muslim. Dan bahkan, berbagai undang-undang internasional dibiarkan mandul, dibuat namun dilanggar dan tak mampu mengadili kejahatan negara-negara kolonial yang menghegemoni negeri-negeri Muslim.
Nasib Umat Muslim Semakin Memburuk Tanpa Memiliki Junnah
Beginilah nasib umat Muslim hingga detik ini di negeri-negeri mereka. Seharusnya mereka menyadari bahwa mereka tidak baik-baik saja, mereka harus menemukan solusi keterpurukan hari ini. Jika problematika umat Muslim ini dibiarkan terus berlarut-larut, keadaan umat Muslim akan semakin memburuk dan terpuruk ke jurang kehancuran yang lebih dalam.
Di Suriah, ratusan ribu umat Muslim bahkan bisa jadi lebih banyak dari faktanya terenggut nyawanya secara paksa, baik menimpa perempuan, anak-anak dan orang tua. Jutaan jiwa pun hidup dengan penuh penderitaan dalam pengungsian. Jangankan terjamin pendidikan, kemiskinan terus mengintai mereka. Hidup dalam tenda dalam cuaca panas ataupun dingin, karena mereka kehilangan tempat tinggal dan harus pergi dari kampung halamannya akibat konflik berkepanjangan.
Di Palestina, semenjak deklarasi pembentukan negara Israel, 14 Mei 1948, umat Muslim terjajah, dirampas tanahnya. Konflik selama puluhan tahun tak mampu diakhiri oleh umat Muslim, akibat tak memiliki pelindung, sekat nasionalisme menghentikan umat Muslim di negeri lain untuk membebaskan penjajahan mereka. Ribuan nyawa umat Muslim Palestina telah menjadi korban kebiadaban Israel, bahkan 21,8% korbannya adalah anak-anak (databoks, 18/5/2021).
Di Kashmir, umat Muslim minoritas terus terzalimi dan mengalami diskriminasi. Di Yaman, akibat perang berkepanjangan, mereka didera kemiskinan yang semakin memburuk, anak-anak mengalami gizi buruk, hingga tinggal tulang dan kulit. Berikut juga di Rohingya, mereka terusir dari tanahnya, bahkan negeri-negeri Muslim tempat mengungsi pun tak banyak berpibak kepada mereka. Banyak yang kemudian dikembalikan ke negara yang telah menzalimi mereka. Kekuatan nasionalisme semakin mudah menghabisi umat Muslim, bahkan melunturkan ikatan ukhuwah islamiyah hingga nasib umat Muslim yang tertindas tidak dapat mereka tolong.
Yang lebih menyedihkan lagi, nasib umat Muslim Uighur. Mereka harus menghadapi kekejaman pemerintah Cina, atas dasar tuduhan radikal dan teroris. Aktivis Muslim Malaysia Mr. Abdul Hakim Othman mengungkapkan bahwa kaum Muslim Uighur di Xinjiang dibantai dan disiksa, bahkan organnya dijual oleh rezim Cina. Umat Muslim Uighur diperlakukan seperti itu oleh rezim Cina karena keislaman mereka. Bahkan, pemerintah Malaysia juga ikut-ikutan mendeportase Muslim Uighur karena takut hubungannya dengan rezim Cina menjadi buruk.
Namun, tidak ada satupun lembaga atau organisasi internasional yang mampu menyelamatkan Muslim Uighur di Xinjiang dari penyiksaan dan pembantaian oleh rezim Cina. Guru Besar Fakultas Hukum Undip Prof. Suteki mengungkapkan, apa yang terjadi di Uighur adalah kejahatan terhadap kemanusiaan internasional. Ia menuturkan, diduga kuat Pemerintah China sejak tahun lalu memenjarakan ratusan ribu warga Uighur tidak bersalah dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang yang disebut sekolah atau tempat pendidikan ulang politik, "Pemerintah China mengatakan sedang memerangi terorisme dan ekstremisme agama. Namun, atas nama memerangi teroris, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan. Jika ingin menumpas teroris, lakukan dengan menegakkan hukum kepada pelaku teror. Bukan malah melakukan pelanggaran HAM secara massal dan meluas".
Dan masih banyak lagi diskriminasi yang dialami umat Muslim, baik di negeri minoritas ataupun mayoritas. Kejahatan yang ditimpakan kepada mereka terlihat nyata terorganisir dan tersistem. Selama tanpa memiliki junnah, umat Muslim tak akan terlindungi, akan semakin mengalami penderitaan dan penzaliman yang semakin buruk lagi.
Selama tanpa memiliki junnah, umat Muslim tak akan terlindungi, dan akan terus terzalimi di manapun berada, baik di negeri minoritas ataupun di negeri mayoritas. Keadaan umat Muslim akan semakin memburuk lagi, baik yang di Suriah, Palestina, Kashmir, Rohingya, Yaman, dan di negeri-negeri Muslim lainnya akan terus mengalami diskriminasi, kriminalisasi dan monsterisasi.
Hancurkan Penjajahan dan Penindasan dengan Wujudkan Junnah bagi Umat Muslim di Seluruh Dunia
Bukan tak ada solusi, namun butuh kesadaran politik umat Muslim itu mau bersatu bangkit dari keterpurukan mereka. Menghancurkan penjajahan dan penindasan harus dengan menciptakan pelindung yang mumpuni untuk dapat melindungi umat Muslim di seluruh dunia.
Bukan mengada-ada ketika Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Suteki, S.H.,M.Hum. mengatakan jika berdasarkan fakta sejarah, hanya Khilafah Islam yang bisa menghentikan kejahatan kemanusiaan terhadap umat Islam. Karena faktanya, kekuatan Daulah Islam mampu menaungi 2/3 dunia dalam kesejahteraan baik bagi Muslim maupun non-Muslim.
Senada, Aktivis Muslim Malaysia Mr. Abdul Hakim Othman mengatakan hanya khilafah yang mampu membebaskan Muslim Uighur dan Xinjiang dari kamp-kamp yang dibuat rezim Cina, hanya khilafah yang mampu menekan rezim Cina untuk menghentikan penyiksaan terhadap Muslim Uighur di Xinjiang dan melepaskan mereka. Dan jika mereka bergeming maka khilafah akan memberikam peringatan secara militer dan mengerahkan para pasukan yang siap berjuang di jalan Allah untuk menyelamatkan Muslim Uighur di Xinjiang dan dimanapun seluruh dunia.
Berikut juga Aktivis Muslim Yaman Ramzi Nasser mengatakan, cara pandang nasionalisme bukanlah cara pandang Islam dan itu pula yang kemudian menyebabkan umat Islam saat ini terpecah belah. Maka solusi atas kejadian hanyalah dengan terwujudnya Khilafah Islamiah agar memenuhi hak asasi manusia dan tinggalan manusia terbebas dari berbagai bentuk kezaliman.
Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto menyerukan untuk stop berharap kepada institusi-institusi internasional yang tidak bisa berbuat apa-apa terhadap penindasan kaum Muslimin, agar kembali menjadi khairu ummah, ditentukan oleh diri umat Islam sendiri.
Umat Muslim harus bersatu melawan kejahatan dan kezaliman dan mewujudkan junnah/perisai yang akan melindungi, di antaranya:
Pertama, umat Muslim harus berani menghadapi tantangan, tidak boleh lemah, tidak boleh mudah ditekuk. Melindungi diri, keluarga, dan umat ini.
Kedua, kekuatan umat, uamt harus bersatu berdasarkan ikatan akidah Islam bukan nasionalisme, saling membantu dan melindungi seperti saudara.
Ketiga, berjuang menjemput kembali hadirnya institusi yang menjaga sebagai perisai. Mencegah musuh menyerang, melindungi keutuhan Islam, disegani masyarakat, dan orang pun takut akan kekuatannya. Menjadi ansharullah untuk tegaknya kembali institusi seperti yang pernah ada. Tanpa institusi ini akan terus terjadi kekejaman, peperangan, konflik, yang diciptakan oleh negara-negara kolonial.
Tidak ada jalan lain, untuk melindungi umat Muslim di seluruh dunia dari segala macam kejahatan dan kezaliman adalah dengan mewujudkan junah/perisai yang akan menjadi pelindung. Sebagimana yang pernah dibuktikan oleh fakta sejarah, 2/3 dunia hidup terlindungi dalam kesejahteraan baik bagi Muslim ataupun non-Muslim tanpa adanya diskriminasi. []
Oleh: Dewi Srimurtiningsih
(Analis Mutiara Umat dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst
Sumber: International Muslim Lawyer Conference
0 Komentar