TintaSiyasi.com -- “Usut tuntas otak pembantaian enam warga
sipil yang merupakan para syuhada.” Demikian pesan HRS atas belum tuntasnya
penanganan tragedi KM-50 hingga kini. Padahal kisah keji tersebut telah setahun
yang lalu terjadi. Pada Senin dini hari (7/12/2020), enam laskar FPI ditembak
oleh polisi di KM-50 Tol Jakarta-Cikampek. Dari luka yang ditemukan, ditengarai
cara menembaknya sangat sadis. Diduga ditembak dari jarak dekat, dengan satu
hingga dua atau tiga lubang peluru pada jenazah laskar. Wajar jika banyak pihak
menganggapnya sebagai extrajudicial killing atau unlawful killing.
Bak mencari jarum di tumpukan jerami. Upaya mengungkap kebenaran atas tragedi
KM-50 terkesan sulitnya setengah mati. Hingga setahun, proses hukum terhadap
terbunuhnya enam laskar FPI belum menunjukkan tanda-tanda dapat mengungkap
secara terang-benderang, siapa dalang dan seluruh pelaku pembantaian. Sebuah
ironi hukum tengah dipertontonkan oleh para penegak hukum di negara yang
mengaku sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan ini. Lantas, bagaimana
korban akan mendapat keadilan?
Bahkan hingga sekarang, dua orang anggota polisi yang menjadi terdakwa dalam
kasus pembantaian ini sama sekali tak tersentuh hukum, alias tidak ditahan.
Sementara JPU mendakwa keduanya melanggar Pasal 338 dan Pasal 351 ayat 3 KUHP
juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana lima belas dan tujuh
tahun penjara. Dalam Pasal 21 ayat 4 KUHP, tersangka yang melakukan pidana
dengan ancaman penjara di atas lima tahun bisa ditahan.
Sungguh tidak adil! Padahal, tak sedikit polisi yang dihukum karena sebuah
kesalahan. Misalnya, anggota polisi Brigadir NP yang smackdown mahasiswa di
Tigaraksa, Tangerang, Banten dihukum 21 hari penjara, turun pangkat, dan tidak
punya jabatan. Pun anggota polisi RB, ditahan dalam kasus bunuh diri
mahasiswi Unibraw, Malang, Jawa Timur. Ia ditetapkan tersangka tindak pidana
aborsi atau pasal sengaja menggugurkan kandungan/mematikan janin. RB dijerat
pasal 348 KUHP juncto pasal 55 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara
(portal-islam.id, 8/12/2021).
Lalu, mengapa dua orang pembunuh enam laskar FPI tersebut tidak ditahan? Apakah
karena mereka hanya pelaku yang dilindungi pihak tertentu? Kasus ini menyisakan
pertanyaan, sejatinya di mana keadilan itu disemayamkan. Padahal keadilan
merupakan syarat mutlak keberlangsungan kehidupan manusia. Keadilan adalah
dambaan setiap insan, termasuk rakyat kecil yang biasa diperdagangkan dengan
sebutan wong cilik oleh wong licik. Tanpa melihat latar belakangnya, pasti
setiap orang menginginkan keadilan dan menolak segala bentuk kezaliman.
Otoritas Kuasa di Balik Misteri Pencarian Keadilan atas Korban Tragedi KM-50
Justice (keadilan) merupakan salah
satu nilai dasar hukum yang dibentuk dan ditegakkan, selain kepastian dan
kemanfaatan. Secara ideal, penggagasnya yaitu Gustav Radbruch mengatakan bahwa
keadilan harus diutamakan jika hukum negara dan keadilan bertentangan. Pun,
keadilan tidak boleh memihak. Jika keadilan memihak, misalnya tunduk pada
kepentingan penguasa atau tumpul ke atas dan tajam ke rakyat, maka yang lahir
adalah kezaliman. Mana yang sekarang berlaku, keadilan atau kezaliman?
Mari kita gunakan keadilan sebagai alat potret penanganan tragedi KM-50. Bila
kita jujur menilai, sebenarnya dalam penanganan tragedi KM-50 terjadi rasa
ketidakadilan hukum khususnya bagi rakyat kecil. Ketidakadilan itu tampak dalam
beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, sejak awal para ahli telah
menyarankan agar dilakukan investigasi oleh tim gabungan pencari fakta (TGPF)
independen. Namun ditolak oleh pemerintah. Ini awal mula tragedi KM-50 tidak
segera terungkap secara fair atau adil.
Kedua, terlalu berlebihan jika soal
pelanggaran prokes kemudian disikapi dengan penguntitan terhadap HRS. Ancaman
pidana hanya satu tahun atau denda 100 juta rupiah. Tetapi, mengapa disikapi
oleh polisi seperti pengejaran terhadap teroris?
Ketiga, petugas tidak jelas, sehingga
tidak jelas pula rombongan penguntit itu dari unsur mana? Polisi, TNI, BIN atau
aparat negara lainnya, ataukah ada mafia pembunuh bayaran layaknya ghost rider?
Keempat, Tindakan polisi atau pihak
lain dalam pembunuhan secara extraordinary adalah tindakan yang overacting,
bertentangan dengan kepatutan, etika penegakan hukum, dan bersifat sadis,
kejam, tanpa rasa kemanusiaan, khususnya terhadap enam anggota laskar FPI
pengawal HRS.
Adapun dalam Buku Putih Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam laskar FPI
, banyak sisi terungkap yang secara prinsip dapat disimpulkan telah terjadi
extrajudicial killing atau unlawfull killing atas enam orang tersebut. Ini
tentu bertentangan dengan asas hukum presumption of innocent dan prosedur
penangkapan, sekaligus terjadi pelanggaran HAM (kategori berat atau tidak harus
dikroscek dengan UU HAM 1999 dan Pengadilan HAM 2000).
Buku Putih ini mendalilkan, telah terjadi pelanggaran HAM berat yaitu kejahatan
terhadap kemanusiaan dengan cara melakukan pembunuhan secara langsung kepada
penduduk sipil secara sistematis. Extrajudicial killing sebagai pelanggaran HAM
berat patut diduga telah terjadi.
Lalu, siapa pelaku extrajudicial killing? Jelas sesuai keterangan pers Kapolda
Metro Jaya pasca tragedi adalah polisi. Adakah pihak lain yang terlibat? Buku
Putih ini mendalilkan di pengantar halaman 6-7 bahwa bukan polisi pelakunya.
Lalu siapa? Buku Putih ini menjawab aparatur negara. Namun tidak menyebutkan
siapa sebenarnya aparat negara yang dimaksud.
Siapakah aparat penegak atau petugas yang bukan berasal dari kepolisian itu?
Ini sisi gelap tabir tragedi KM-50 yang juga belum diungkap dalam Buku Putih
TP3. Hal tersebut juga dapat dirunut melalu kegagalan TP3 untuk mengungkap
ghost rider dalam tiga mobil hantu seperti yang diungkap oleh M Rizal Fadillah
(15 Juli 2021) dalam artikel "Mobil Mana Mobil?"
Berdasar analisis singkat Rizal, dapat disimpulkan bahwa kendati pihak
kepolisian, Komnas HAM, dan TP3 telah bekerja, namun masih menyisakan misteri
tiga mobil yang diduga kuat terlibat secara langsung atas tragedi unlawfull killing di KM-50.
Jika tiga mobil tersebut tidak terungkap, lalu bagaimana bisa mengungkap
pengendara (rider) nya?
Maka, tidak aneh hingga sekarang pun mereka pantas dijuluki sebagai ghost rider(s). Dan ketika ghost rider-nya tidak dapat diungkap
maka sangat sulit untuk bisa mengungkap tabir misteri dugaan pelanggaran HAM
berat pada tragedi KM-50.
Terlepas benar tidaknya dugaan pelaku pembantaian enam laskar FPI, apakah
polisi ataukah aparat negara, aroma keterlibatan kuasa cukup tercium. Tersebab
target utama mereka bukan laskar, melainkan HRS.
Terkait motif politik di balik peradilan HRS, pembubaran FPI, hingga
pembantaian enam laskarnya, dapat dilihat dari aspek masa lalu dan masa datang.
Berdasarkan peristiwa masa lalu, patut diduga adanya dendam politik atas
kekalahan pilkada DKI tahun 2017 hingga Ahok dipenjara dua tahun. Di mana HRS
ditengarai berada di balik kejadian tersebut bersama berbagai elemen umat Islam
lainnya.
Adapun berdasarkan perkiraan di masa datang, diduga ada kekhawatiran munculnya
pengaruh HRS di perhelatan politik tahun 2024. Selain itu, seiring
genderang perang melawan radikalisme yang ditabuh oleh rezim, politik bumi
hangus pun dijalankan. Menyusul HTI, akhirnya FPI dibubarkan. Tak hanya itu,
eks Sekjen FPI dan Pengacara HRS, Munarman, ikut ditahan dengan tuduhan
terlibat terorisme.
Sepertinya sulit berharap jika kasus HRS sebagai persoalan murni hukum dan
penanganan tragedi KM-50 bisa terlepas dari keterlibatan otoritas elit kuasa.
Realitasnya, hukum dan politik itu tidak bisa dipisahkan, bahkan sering kali
terjadi eksploitasi hukum demi kepentingan politik.
Dengan demikian, lambatnya penanganan tragedi KM-50 hingga kasusnya masih
bertabir misteri, diduga tak lepas dari intervensi kekuasaan yang
mengelilinginya. Jika dugaan ini benar, tentu sebuah ironi kala hukum mesti
bertekuk lutut di bawah ketiak kekuasaan. Hingga penegakan hukum justru
menjauhkan manusia dari menikmati keadilan.
Dampak Lambatnya Penanganan Tragedi KM -50 terhadap Prospek Pencarian
Keadilan oleh Wong Cilik di Negeri Ini
Indonesia ialah negara hukum. Demikian deklarasi Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945.
Dan sebagaimana konsepsi Gustav Radbruch, hukum memiliki tiga nilai dasar
sekaligus menjadi dasar keberlakuannya. Ketiga nilai dasar itu disebut dengan
Triadisme. Triadisme itu adalah: secara filosofis mengandung nilai keadilan
(justice), secara yuridis memiliki nilai kepastian (certainty), serta secara
sosiologis ada nilai expediency (kebaikan, kebijaksanaan/wisdom,
kemanfaatan/utility, dll).
Pertanyaannya adalah, apakah hukum kita sudah adil, pasti, dan manfaat,
khususnya terhadap kesejahteraan sosial atau social welfare yang oleh Brian Z.
Tamanaha disebut sebagai "the thickest ROL?" Tiga nilai dasar hukum
tersebut saat belum dapat diwujudkan, akan nampak pada fakta antara lain:
diskriminatif (non equality before the law)---the unjust law is not law--lex
injusta non est lex, ngaret, ketimpangan, kesengsaraan, kemiskinan,
ketidakbebasan, opresi, persekusi dll.
Terkait proses hukum penanganan tragedi KM-50, nampak bahwa ketiga nilai dasar
hukum tersebut belum terealisasi. Bahkan persidangan yang terjadi di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan itu dinilai banyak pihak sebagai persidangan dagelan
atau abal-abal.
Setidaknya ada empat pertanyaan besar yang mengganjal sehingga rangkaian
peristiwa yang dibacakan di pengadilan menjadi indikasi dagelan, yaitu:
Pertama, soal konstruksi kasus yang
masih menimbulkan tanya. Sejak awal, konstruksi kasus oleh kepolisian sudah
menimbulkan pertentangan. Sementara tidak ada saksi mata dari pihak korban yang
dapat membantah klaim-klaim polisi.
Kedua, hasil investigasi Komnas HAM
menyatakan tidak terpenuhinya unsur pelanggaran HAM berat karena tidak adanya
perintah langsung atasan sehingga tidak tersistematis. Namun dalam dakwaan
jaksa terhadap dua pelaku, terungkap adanya tiga surat perintah dari Polda
Metro Jaya dalam operasi pembuntutan HRS hingga berujung tragedi KM-50.
Ketiga, kematian tersangka Ipda
Elwira sangat misterius karena lokasi kecelakaan yang disebut Polri tidak
terdeteksi di kecamatan setempat.
Keempat, tidak ditahannya kedua
terdakwa sejak ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya kini masih aktif di Polda
Metro Jaya. Padahal mereka telah didakwa dengan sejumlah pasal dengan ancaman
penjara.
Terlepas dari jawaban semua pertanyaan di atas, publik tentu berharap proses
peradilan mampu mengungkap kasus ini sehingga terang-benderang. Namun jika
proses penanganan tragedi KM-50 tetap lambat, maka akan berdampak terhadap
prospek pencarian keadilan oleh wong cilik di negeri ini, yaitu:
Pertama, prospek pencarian keadilan
oleh wong cilik akan melemah dan berujung pesimisme terhadap proses peradilan.
Mengapa? Karena proses hukum dalam hal ini aparat penegak hukum (APH) akan
cenderung pasif. Tersebab ada conflict of interest, indikasi terjadinya
pelanggaran HAM oleh penguasa. Sekali lagi, pencarian keadilan wong cilik akan
berbenturan dengan kehendak pemilik kekuasaan.
Kedua, prospek penyelesaiannya
diprediksi sangat suram.
Mengingat Pemerintah, c.q. APH (polisi dan jaksa) serta Komnas HAM kurang
memiliki political will untuk menuntaskan segera tragedi KM-50. Apalagi,
sekarang pemerintah tengah bergelut menanggulangi pandemi Covid-19 yang belum
jelas kapan akan berakhir. Sangat memungkinkan selama rezim ini, kasus ini akan
cenderung di-peties-kan.
Ketiga, berpotensi terjadinya
distrust rakyat.
Adanya "lack" pada ketiga nilai dasar hukum tersebut dapat menggerus
modal social trust menjadi distrust. Berbagai tindakan unjustice seperti
tindakan penguasa yang memberikan sanksi berbeda terhadap kerumunan HRS dan
kerumunan lainnya, terjadinya extrajudicial killing pada enam laskar FPI,
lambatnya penanganan tragedi KM-50, dan lain-lain, berakibat distrust rakyat
terhadap penegakan hukum di negeri ini kian meningkat. Secara umum, trust
rakyat terhadap penguasa kian “ndlosor”.
Keempat, berpotensi memunculkan sikap
civil disobedience (pembangkangan sipil).
Distrust akan menjadi trigger munculnya sikap civil disobedience. Rakyat akan
bersikap apatis, yaitu acuh tak acuh terhadap penegakan hukum khususnya, dan
kebijakan penguasa pada umumnya.
Demikianlah dampak yang mungkin terjadi karena lambatnya penanganan korban
tragedi KM-50. Saat kebenaran dihalangi untuk diungkap, kala keadilan tak
diberikan pada yang berhak mendapatkan, maka kezaliman akan meraja.
Para pelakunya lupa bahwa tiap kekuasaan itu ada umurnya. Pun mereka lalai
bahwa tiap kezaliman memiliki nishab/batasannya, yaitu hukuman Allah kepada
pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat. Kian banyak kezaliman yang
dilakukan, maka doa-doa orang yang terzalimi akan mengetuk pintu-pintu langit.
Ketika telah mencapai nishabnya, Allah akan menghukum dan menghinakan
pelakunya.
Strategi Memfasilitasi Pencarian Keadilan oleh Rakyat atas Kezaliman
Penguasa
Sejak 7 Desember 2020, setahun sudah peristiwa getir unlawfull killing atas
enam anggota laskar FPI berlalu. Keenamnya adalah Muslim yang haram ditumpahkan
darahnya tanpa alasan yang haq. Kesan brutal, sadis, kejam menunjukkan bahwa
perilaku aparat atau pun petugas masih jauh dari kepatutan, sopan santun maupun
etika penegakan hukum.
Terlebih dalam Islam, ajaran yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini,
sangat menghormati jiwa manusia. Rasulullah SAW bersabda, “Hilangnya dunia
lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tampa haq.”(HR. An
Nasa’i, Turmudzi, dan dishahihkan al-Albani)
Menyaksikan ketidakadilan dalam penanganan tragedi KM-50, ada beberapa hal yang
harus dilakukan umat Islam, yaitu:
Pertama, umat Islam harus terus
menyuarakan ketidakadilan tersebut dengan media apa pun dan jangan bertindak
kontra produktif. Apalagi tokoh sekelas Amien Rais yang pernah secara gegabah
menyatakan bahwa polisi dan TNI tidak terlibat dalam dugaan pelanggaran HAM
berat. Ini menjadi makanan empuk bagi "pihak" yang memang ingin kasus
ini jadi remang-remang bahkan menghilang.
Kedua, umat Islam harus terus
menuntut agar tragedi KM-50 tetap diusut hingga akarnya dengan meminta
pemerintah membuat TGPF independen. Berbekal hasil investigasi Komnas HAM dan
Buku Putih, pencarian fakta secara independen dapat dilakukan.
Terlebih sampai sekarang tragedi ini dinilai belum terkuak tabirnya secara
penuh. Masih banyak sisi gelap yg belum tersingkap.
Ketiga, umat Islam tetap harus
mengawal proses penyelesaian perkara, baik dianggap sebagai pelanggaran HAM
berat atau tindak pidana biasa. Peradilan atas dua tersangka pembunuhan boleh
jadi menjadi pintu masuk pengungkapan tragedi KM-50 ini.
Meski keberadaan Buku Putih TP3 sekadar curhat dari para saksi yang tidak
diambil keterangannya di bawah sumpah sehingga tidak berarti dalam pembuktian
secara hukum. Namun, bisa sebagai pressure factor sehingga membuat TP3 menjadi
buzzer yang diharapkan menciptakan bising penguasa for bringing justice to
rakyat kecil.
Keempat, menuntut DPR agar mendesak
pemerintah menyelenggarakan Pengadilan HAM untuk membuktikan ada tidak adanya
pelanggaran HAM berat.
Jadi, bagi para pecinta keadilan dan kebenaran, harapan untuk menemukan ghost
rider tetap masih ada sepanjang rezim memiliki political will untuk menyibak
misteri dugaan pelanggaran HAM berat pada kasus unlawfull killing di KM-50 Tol
Jakarta-Cikampek. Jika tidak sekarang ya nanti, jika tidak di dunia, pasti akan
ada pengadilan akhirat. Anda percaya, bukan?[]
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)
0 Komentar