TintaSiyasi.com -- Meski usianya sudah senja, namun semangatnya menegakkan kalimatullah tak pernah reda. Terbukti, dalam beberapa kesempatan ia pun ikut serta ke medan peperangan dan bergabung bersama para mujahidah lainnya. Keberanian dan kepiawaiannya dalam menghadapi musuh sungguh tak bisa diragukan dan keberadaannya patut diperhitungkan.
Shafiyyah binti Abdul Muthalib namanya. Ia putri Abdul Muthalib bin Hasyim dan Halah binti Wuhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah, lahir di Makkah sekitar 569 H. Sang Mujahidah pemberani ini merupakan sahabat sekaligus bibi Rasulullah SAW dan juga saudari kandung ‘Singa Allah’ yang pemberani yakni Hamzah bin Abdul Muthalib. Ia juga merupakan ibu kandung Zubair bin Awwam sang pengawal setia Rasulullah SAW. Seperti halnya saudaranya, Shafiyyah memiliki kemampuan dalam militer yang membuat musuh ketakutan dengan kecerdikan dan kecerdasannya.
Dalam catatan sejarah, dengan semangat jihad fii sabilillah yang tumbuh dalam dirinya, mendorong Shafiyyah turut serta dalam perang. Pada Perang Uhud misalnya, ia mengobarkan semangat kepada para mujahid. Waktu itu kemenangan pun diraih kaum Muslimin, namun berbalik menjadi kekalahan karena tidak taatnya pasukan pemanah yang mengabaikan perintah Rasulullah SAW. Pasukan mulai terdesak sehingga banyak yang lari tunggang langgang meninggalkan Rasulullah SAW dalam kondisi bahaya.
Namun, Shafiyyah tetap berdiri dengan keberaniannya berbekal tombak yang dipegangnya. Dengan geramnya, ia meminta pasukan Muslim untuk tetap di tempat seraya berkata, “Apakah kalian hendak meninggalkan Rasulullah SAW?”
Pasca Perang Uhud, menurut Ibnu Sa’ad, dalam catatan bukunya al-Thabaqat al-Kubra, saudaranya Hamzah bin Abdul Muthalib gugur di medan perang dengan badan yang tercabik-cabik. Dengan perasaan yang sedih, ia pun berupaya menghampiri mayat Hamzah sambil membawa kain dengan tekad mengkafaninya. Namun, Nabi SAW memerintahkan Zubair bin Awwam, untuk membujuk ibunya kembali ke Madinah agar tidak melihat jenazah Hamzah.
Shafiyyah pun berkata kepada anaknya, “Mengapa aku diminta kembali? Aku mendapat kabar jenazah Hamzah disayat-sayat, ini di jalan Allah, aku sabar dan ridha.” Mengetahui bahwa Shafiyyah tetap tabah, Rasulullah meminta Zubair agar membiarkan ibunya.
Begitu juga saat Perang Khandaq. Waktu itu, Rasulullah SAW pergi berperang dan mengumpulkan para wanita, orang tua serta anak-anak dalam suatu benteng yang tinggi dan berpagar kokoh. Shafiyyah pun berada dalam benteng tersebut bersama yang lainnya. Kemudian Rasulullah menunjuk Hassan bin Tsabit untuk menjaga mereka. (Dikabarkan dalam riwayat lain, urat tangan Hassan bin Tsabit putus hingga tak mampu mengayun senjata). Berita terkait kondisi Hassan pun diketahui orang-orang Yahudi, maka itu dijadikan kesempatan mereka untuk menyerang para wanita, orang tua serta anak-anak yang ada di dalam benteng tersebut ketika kaum lelakinya sibuk dalam pertempuran.
Kaum Yahudi Bani Quraizhah pun mengutus seorang mata-mata agar tahu kondisi di dalam benteng. Kala itu Shafiyyah melihat ada orang yang mengendap-endap mendekati benteng. Ia pun berkata kepada Hassan, "Wahai Hassan, ada seorang mata-mata Yahudi akan memasuki benteng kita, keluarlah engkau dan bunuhlah dia, agar dia tidak mengetahui keadaan kita." Hassan menjawab, “Wahai binti Abdul Muththalib, engkau tahu bahwa aku tidak berani melakukannya.”
Mendengar itu, Shafiyyah pun bergegas pergi mengambil sebuah patok kayu lalu keluar dari benteng, diam-diam ia memukul kepalanya sampai mati. Kemudian ia kembali ke benteng dan menemui Hassan bin Tsabit sambil berkata, “Penggallah kepala Yahudi itu dan buanglah ke bawah!” Namun jawaban Hassan tetap sama seperti semula, “Aku tidak berani.”
Shafiyyah pun memberanikan diri memenggal kepala orang Yahudi tersebut dan membuangnya ke bawah bukit. Melihat kepala temannya menggelinding ke bawah bukit, orang-orang Yahudi menjadi ciut, segera angkat kaki dan tak berani menghampiri benteng tersebut. Akhirnya, berkat keberaniannya orang-orang yang ada benteng itu selamat.
Tak hanya itu, pada 628 M Shafiyyah ikut dalam Perang Khaibar. Ia menyaksikan duel antara putranya Zubair dengan orang Yahudi dan melihat putranya menang. Dikabarkan, Shafiyyah pun hidup dalam usia yang panjang lebih dari 70 tahun. Ia pun wafat, menurut catatan Ibnu Sa’ad dan juga Syamsuddin al-Dzahabi, pada tahun 20 H atau sekitar 640 M di masa Khalifah Umar bin Khattab di Madinah. Jenazahnya dimakamkan di Baqi' Ghargqad.
Itulah sepenggal kisah Shafiyyah binti Abdul Muthalib sang Mujahidah pemberani. Meski usianya sudah senja, tetap siaga di medan laga. Tak hanya itu, ia pun termasuk wanita awal yang memeluk Islam, menyaksikan dan turut berperan dalam menyebarkan ajaran Islam. Sungguh, pengorbanan dan keberaniannya patut dijadikan teladan bagi para Muslimah lainnya.[]Berbagai sumber
Oleh: Siti Aisyah. S.Sos., Koordinator Kepenulisan Komunitas Muslimah Menulis Depok
0 Komentar