Tanya:
Ustaz, mohon dijelaskan hukum syara’ seputar suami memukul istri. (Abdullah, bumi Allah).
Jawab:
Tak ada perbedaan pendapat di kalangan seluruh fukaha (ahli fikih), bahwa boleh (ja’iz) hukumnya suami memukul istrinya jika terdapat padanya tanda-tanda nusyuz (ketidaktaatan) dari istri kepada suami.Contoh ketidaktaatan istri, misalnya keluar rumah tanpa ijin suami, tak mau melayani suami padahal tak punya uzur (misal haid atau sakit), atau tak amanah menjaga harta suami, dan sebagainya.
Semua fukaha sepakat suami boleh memukul istri dalam Islam, tanpa khilafiyah (perbedaan pendapat)(Lihat : Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, 4/487; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/59; Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/15; Imam Al Kasani, Badai’us Shanai’, 3/613; Imam Nawawi, Al Majmu’, 16/445; Ibnu Qudamah, Al Mughni, 35/15; Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 5/261).
Dalil Syar’i
Dalil kebolehannya adalah firman Allah SWT,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS An Nisaa` [4] : 34)
Tiga Tahap Mendidik Istri
Ayat ini menunjukkan suami berhak mendidik istrinya yang menampakkan gejala nusyuz dalam 3 (tiga) tahapan secara tertib sebagai berikut:
Pertama, menasehati istri dengan lembut, agar kembali taat kepada suami, sebab menaati suami adalah wajib atas istri (lihat QS Al Baqarah [2] : 228).
Kedua, memisahkan diri dari istri di tempat tidurnya, yakni tak menggauli dan tak tidur bersama istri, namun tak boleh mendiamkan istri. Langkah kedua ini ditempuh jika tahap pertama tak berhasil.
Ketiga, memukul istri. Langkah ini dilakukan jika tahap kedua tak berhasil (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/51; M. Ahmad Abdul Ghani, Al ‘Adalah fi An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 67).
Namun, meski Islam membolehkan suami memukul istrinya, Islam menetapkan pukulan itu bukan pukulan yang keras, melainkan pukulan yang ringan, yang disebut Nabi Saw. sebagai pukulan yang tidak meninggalkan bekas (dharban ghaira mubarrih).
Kriteria Pukulan Syar’i
Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan ayat tersebut dengan berkata, ”Pukulan di sini wajib berupa pukulan ringan (dharban khafifan), yaitu pukulan yang tak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih).
Ini sebagaimana penafsiran Rasulullah Saw. terhadap ayat tersebut ketika pada Haji Wada’ beliau berkhotbah, “Jika mereka (istri-istri) melakukan perbuatan itu (nusyuz), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih).” (HR Muslim, dari Jabir bin Abdullah RA). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm.153)
Para ulama banyak menguraikan bagaimana ukuran pukulan ringan tersebut. Pukulan itu tak boleh menimbulkan luka, tak boleh sampai mematahkan tulang atau sampai merusak/mengubah daging tubuh (misal sampai memar/tersayat). (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 5/261).
Pukulan itu bukan pukulan yang menyakitkan, juga harus dilakukan pada anggota tubuh yang aman, misal bahu, bukan pada anggota tubuh yang rawan atau membahayakan, misalnya perut.
Jika menggunakan alat pun tak boleh alat yang besar seperti cambuk/tongkat, tapi cukup dengan siwak (semacam sikat gigi) atau yang semisalnya. (Imam Nawawi Al Bantani Al Jawi, Syarah Uqudul Lujain, hlm. 5; Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/55-56, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/329). Islam juga menjelaskan haram hukumnya suami memukul/menampar wajah istrinya.
Keharaman menampar istri, sesuai dengan larangan dalam hadis Mu’awiyah Al Qusyairi ra, ”Bahwa Nabi Saw. pernah ditanya seorang laki-laki, ’Apa hak seorang istri atas suaminya?’ Nabi Saw. menjawab, ’Kamu beri dia makan jika kamu makan, kamu beri dia pakaian jika kamu berpakaian, jangan kamu pukul wajahnya, jangan kamu jelek-jelekkan dia, jangan kamu menjauhkan diri darinya kecuali masih di dalam rumah.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/310).
Suami Terbaik Tak Memukul
Bahkan meski memukul istri itu boleh, namun yang lebih utama adalah memaafkan, yaitu tak memukul istri. Imam Syafi’i meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda,
لن يدرب خيلركم
”Orang-orang terbaik di antara kamu, tak akan pernah memukul istrinya.” (Imam Syafi’i, Al Umm, 5/1871).
Wallahu a’lam.[]
Oleh: K.H. M. Shiddiq Al-Jawi
Ahli Fiqih Islam
0 Komentar