TintaSiyasi.com -- Proyek IKN, sejak awal merupakan keinginan pemerintah, bukan tuntutan rakyat. Bahkan, perlu tidaknya pemindahan ibu kota masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Lantas, mengapa terburu-buru membangun IKN?
Hanya lewat satu ketukan palu Ketua DPR, Puan Maharani telah mensahkan UU IKN setelah mendapat persetujuan secara aklamasi oleh para anggota. Rapat paripurna ke-13 DPR ini berlangsung pada tanggal 18 Januari 2022. Hampir semua dari sembilan fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU IKN menjadi undang-undang, kecuali fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN, Ahmad Doli Kurnia mengatakan dalam rapat kerja dengan pemerintah sebelumnya telah disepakati bahwa "Nusantara" menjadi nama ibu kota negara yang baru (kompas.com, 18/01/2022).
UU IKN ini ditolak mulai dari segi tidak berjalannya uji publik dengan baik, karena tidak menerima naskah draf UU IKN lebih awal. Kedua, perlu dikritisi mengenai kejelasan wewenang dan hubungan Badan Otorita dengan Pemerintah Provinsi maupun Pemkab/Pemkot di Kaltim. IKN bukan lagi pemerataan pembangunan melainkan okupansi atau mencaplok wilayah Kaltim. IKN seperti pagar yang tidak boleh dimasuki orang Kaltim. Padahal, area IKN itu bukan lahan kosong. Ada banyak penduduk Kaltim yang bermukim di dalamnya.
Sebelum disahkan, sudah banyak yang memberikan kritik tajam, berbagai kalangan memberi tinjauan dari berbagai sudut pandang. Masyarakat adat menolak proyek ini karena berdampak pada seluruh aspek kehidupan mereka. Para aktivis lingkungan pun menghitung proyek ini akan membawa banyak kemudaratan.
Adapun politisi dan kaum intelektual menuding proyek ini terlalu dipaksakan. Selain berbiaya super mahal, proyek bedol ibu kota ini pun nirmanfaat bagi banyak orang. Terlebih tak dimungkiri kehidupan rakyat hari ini sedang jauh dari kata baik-baik saja. Beban ekonomi di tengah pandemi benar-benar tak tertahankan. Sementara kondisi keuangan negara pun nyaris kolaps tersebab utang.
Proyek IKN juga diduga telah menjadi ajang bisnis segelintir pihak dengan memanfaatkan proyek negara. Ketika lebih dari separuh proyek ini didanai APBN maka uang amanah dari rakyat tersebut akan mengalir ke kantong-kantong sejumlah oknum. Kekhawatiran akan hal ini telah mendorong sejumlah pihak untuk menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi.
Apalagi kini ada rencana dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk membiayai proyek IKN dengan merogoh anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp178,3 triliun. Padahal, dana PEN seharusnya digunakan untuk memulihkan ekonomi nasional yang terdampak pandemi Covid-19.
Selain itu, pengesahan UU Ibu Kota Negara (IKN) benar-benar kian menelanjangi hakikat demokrasi. Sistem yang sering diklaim terbaik ini nyatanya kerap ditunggangi kepentingan oligarki. Wajar jika ada tudingan bahwa proyek ini hanya jadi bancakan bagi para pemilik modal. Bahkan muncul dugaan bahwa di baliknya ada kepentingan politik Cina yang sedang mengincar wilayah jajahan.
Berdasarkan hal tersebut jelas nampak bahwa dalam pemindahan IKN, pemerintah hanya menekankan pada aspek ekonomi/bisnis, itupun bukan untuk kepentingan ekonomi dalam konteks untuk kesejahteraan rakyat apalagi utang pemerintah hingga akhir Desember 2021 sudah menembus Rp 6.908,87 Triliun Bahkan pada tahun anggaran 2022 ini beban bunga utang diperkirakan mencapai 360-400 Triliun. Sungguh terlalu! Bahkan tidak masuk akal jika pemerintah tetap memaksakan diri melakukan pembangunan IKN. Jelas hal ini mengancam stabilitas ekonomi, politik, pertahanan, dan kedaulatan negara.
Lantas bagaimana konsep Islam dalam membangun IKN? Sejarah membuktikan bahwa model ideal yang seharusnya menjadi contoh pembangunan kota baru untuk menjadi IKN adalah pembangunan Kota Baghdad yang menjadi ibu kota Khilafah Abbasiyah. Kota yang dibangun oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur ini memenuhi semua aspek kelayakan kota, mulai dari perencanaan, pertimbangan politik, pertahanan keamanan, arsitek dan tata kota, kemaslahatan rakyat, ekonomi, bahkan pendanaan pembangunannya. Hasilnya, Baghdad menjadi kota dengan desain terbaik di masanya.
Dalam aspek ekonomi tampak pada awal pemerintahannya, Khalifah Abu Ja’far al-Manshur benar-benar meletakkan dasar-dasar ekonomi dan keuangan negara dengan baik dan terkendali. Oleh sebab itu, tidak pernah terjadi defisit anggaran. Kas negara selalu penuh, uang yang masuk lebih banyak daripada uang keluar.
Dengan kas negara yang surplus itulah Khalifah Al-Manshur mampu mendanai pembangunan Kota Baghdad tanpa embel-embel investasi maupun utang. Pada saat itu, dana yang dihabiskan untuk membangun Baghdad mencapai 3,88 juta dirham. Dengan sistem pengelolaan harta sesuai syariah, khilafah mampu menyejahterakan rakyat dan kas negara pun mengalami surplus. Bahkan, ketika Khalifah Al-Manshur meninggal dunia, harta yang ada dalam kas negara masih surplus sebanyak 810.000.000 dirham. Itulah gambaran negara yang berhasil membangun ibu kota baru. Negara memiliki kekuatan finansial maupun ketepatan kebijakan karena berasaskan sistem yang diturunkan Allah SWT, Dzat Yang Maha Mengetahui.
Khalifah pun memerintah rakyat dengan landasan iman dan takwa juga amanah karena menyadari adanya pertanggungjawaban di hadapan Allah. Semua demi kemaslahatan rakyat dan kemuliaan peradaban Islam dalam naungan ridha Allah (MuslimahNews). []
Oleh: Luluk Afiva
Praktisi Pendidikan
0 Komentar