TintaSiyasi.com -- Miris. Praktik liberalisasi terus dipertontonkan. Masyarakat heboh dengan video viral prosesi pernikahan seorang Muslimah dengan pria Katolik di sebuah gereja di Kota Semarang, Jawa Tengah. Sejak diunggah pada Ahad (6/3/2022), tayangan berdurasi 13 detik itu dilihat jutaan akun. Dalam video tersebut, tampak perempuan berhijab bergaun panjang putih dengan seorang mempelai pria berjas hitam, beserta seorang pendeta yang memimpin proses pernikahan ala gereja.
Menurut Ahmad Nurcholish, Aktivis Pusat Studi Agama dan Perdamaian sekaligus konselor pernikahan tersebut, pernikahan berlangsung dengan tata cara Islam dan Katolik. Prosesi akad secara Islam digelar di hotel dan prosesi pemberkatan di gereja ST Ignatius, Krapyak, Kota Semarang. Ahmad mengaku, ini adalah pasangan ke 1.425 yang menjalani pernikahan beda agama. Bersama rekannya, ia mendampingi hampir 15-20 pasangan beda agama menikah setiap bulannya. Ia sendiri pelaku pernikahan campuran ini (tribunnews.com, 7/3/2022).
Tingginya angka pernikahan beda agama merupakan fenomena menyesakkan dada. Menjadi fakta kian rusaknya tatanan hidup manusia lantaran menjauh dari syariat Sang Pencipta. Tampak sekali manusia makin tidak bervisi akhirat, yang dikejar persoalan duniawi. Aturan haq tak lagi diindahkan. Manusia lebih mengagungkan soal hak asasi tanpa memperhatikan batas hukum dan agama.
Proyek lama deislamisasi dan liberalisasi ini kian marak berdalih hak asasi manusia (HAM). Di sisi lain, pluralisme agama juga makin terlihat dengan pernikahan beda agama ini. Pluralisme tentu terkait dengan program moderasi beragama. Terlebih, 2022 adalah Tahun Toleransi dan Moderasi Beragama, sehingga ditengarai nikah beda agama akan banyak terjadi.
Hal ini akan berjalan mulus ketika negara memfasilitasi keabsahannya melalui penetapan pernikahan oleh Pengadilan Negeri (PN) dan penerbitan kutipan akte nikah oleh Kantor Catatan Sipil sebagai pernikahan tercatat. Sehingga pernikahan sah terkait anak, harta bersama, warisan, dan lain-lain. Dengan demikian, maraknya nikah beda agama tak bisa dilepaskan dari fasilitas sistemik yang bernuansa sekularisme liberalistik.
Perspektif Hukum Nasional, Hukum Agama, dan HAM terhadap Pernikahan Beda Agama
Polemik seputar pernikahan beda agama seolah tak kunjung usai. Seiringnya, masih ada pemeluk agama berbeda yang memutuskan menikah. Bahkan banyak yang menempuh jalan “penyelundupan hukum” agar pernikahannya bisa diakui negara. Misalnya, melakukan pencatatan pernikahan di luar negeri lalu melanjutkan pencatatannya di Indonesia. Dalam hukum nasional, pengaturan tentang pernikahan beda agama ini telah berlangsung cukup lama. Berikut aturan terkaitnya.
Pertama, UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat 1 berbunyi, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Ayat 2 berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Aturan soal menikah beda agama beberapa kali digugat ke MK, namun hingga kini MK belum mengabulkan. Nikah beda agama tetap tidak diperbolehkan sesuai UU Perkawinan. Upaya uji materi UU pernikahan sempat diajukan ke MK tahun 2014 oleh Damian Agata Yuvens, dkk. Fokus gugatannya pada pasal 2 ayat (1) UU ini, yang mengatur keabsahan pernikahan harus berdasarkan agama. Ketentuan ini ia anggap bertentangan dengan konstitusi karena membatasi ruang mempraktikkan pernikahan beda agama yang mereka nyatakan sebagai hak asasi.
Melalui putusan No. 68/PUU/XII/2014, MK menolak permohonan tersebut. Pasal ini kembali digugat ke MK awal Februari lalu oleh E. Ramos Petege, pria Katolik yang ingin menikahi pacarnya yang Muslimah.
Ketiga, UU Administrasi Kependudukan No. 23 Tahun 2006 jo UU No. 24 Tahun 2013. UU ini membuka peluang pencatatan pernikahan beda agama di Kantor Catatan Sipil dengan syarat sudah ada penetapan pengadilan. Kantor Catatan sipil akan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
Adapun dalam perspektif hukum agama (Islam), fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Pada tanggal 1 Juni 1980, MUI mengeluarkan fatwa berisi larangan pernikahan campuran antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim atau sebaliknya. Pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan ahli kitab pun dinyatakan haram, setelah mempertimbangkan mafsadahnya yang lebih besar dari maslahahnya.
Lalu pada tanggal 30 September 1986, MUI mengeluarkan surat terbuka yang menyerukan agar orang Islam tidak menikah dengan orang berlainan agama dalam kondisi apapun. Ini merupakan jawaban atas pertanyaan status pernikahan bintang film Lydia Kandou yang beragama Kristen dengan Jamal Mirdad yang Muslim. Surat tersebut juga merespon beberapa artikel di media, seperti Kompas, Pelita, dan Pandji Masyarakat.
MUI kembali mengeluarkan fatwa nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 pada Musyawarah Nasional tahun 2005. Fatwa ini mempertegas sebelumnya dan jawaban atas opini yang gencar digulirkan para aktivis liberal. Fatwa ini menyatakan, pernikahan beda agama tidak hanya haram tetapi juga tidak sah. Konsekuensinya, orang yang menjalaninya akan dinilai zina ketika melakukan hubungan suami istri.
Demikianlah beberapa perspektif terhadap pernikahan beda agama. Dalam perspektif HAM, nikah beda agama boleh karena bagian dari hak asasi manusia. Adapun dalam hukum nasional, nikah campuran ini pada dasarnya tidak boleh namun bisa diakui keabsahannya saat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Sementara dalam perspektif agama Islam, sebagaimana fatwa MUI, telah jelas dan tegas mengharamkan pernikahan beda agama.
Dampak Pembolehan Pernikahan Beda Agama terhadap Kehidupan Islam dan Kesakralan Lembaga Pernikahan
Banyak orang akhirnya menyadari bahwa liberalisme bukanlah semata-mata kegenitan intelektual, tetapi sebuah gerakan ideologis bahkan menjadi proyek yang mengancam sendi dasar ajaran Islam. Proyek liberalisme secara sistimatis berusaha mempengaruhi rumusan kebijakan publik.
Gencarnya wacana pernikahan beda agama mempunyai benang merah dengan ‘gerakan kristenisasi’ dan proyek deislamisasi. Hal ini dapat dicermati dari dinamika politik menjelang kelahiran UU Pernikahan yaitu UU No. 1 tahun 1974.
Pada 31 Juli 1973 pemerintah mengajukan RUU Pernikahan. Ada sejumlah pasal bermasalah yang kemudian diketahui draft RUU ini dibuat oleh kalangan Kristen sekuler. Sedikitnya ada sembilan pasal yang berlawanan dengan prinsip Islam. Di antaranya Pasal 11 (2) yang menyatakan: “Perbedaan dikarenakan kebangsaan, kesukuan, tanah asal, agama, kepercayaan, dan keturunan, bukan merupakan halangan untuk pernikahan”.
Para tokoh Islam serempak merespons keras RUU tersebut. Mereka menilai, RUU ini adalah jalan memaksa kaum Muslimin, golongan mayoritas untuk meninggalkan syariat agamanya. Organisasi-organisasi Islam berdemonstrasi dan melobi pemerintah agar melakukan perbaikan RUU. Prof. Dr. H.M. Rasyidi, mantan Menteri Agama menuding, ada “kristenisasi dalam selubung”. Menurutnya, pasal dalam RUU pernikahan ini satu paket gerakan kristenisasi oleh misionaris di Indonesia seperti pembangunan gereja di berbagai tempat.
UU Pernikahan akhirnya disahkan dengan berbagai perubahan mendasar. Namun, UU sebagai hasil perjuangan keras umat Islam ini terus diusik. Di baliknya ada proyek deislamisasi yang bersenyawa dengan liberalisme. Di dalamnya termasuk kalangan misionaris yang sejak lama kecewa terhadap keberadaan UU ini. Kini, para aktivis liberal pun giat mengopinikan bahwa pernikahan beda agama tidak ada masalah dari perspektif ajaran agama (Islam).
Umat Islam layak khawatir jika opini kaum liberal ini kian masif. Terlebih jika nikah beda agama dibolehkan/dilegalkan dengan alasan HAM, dan sebagainya. Berikut dampak buruk pembolehan nikah beda agama terhadap kehidupan Islam dan kesakralan lembaga pernikahan:
Pertama, membuka pintu lebar bagi permurtadan. Selama ini, meski tidak dilegalkan, motif cinta dan pernikahan seperti itu banyak digunakan untuk pemurtadan. Apalagi jika nanti dilegalkan, upaya pemurtadan justru akan makin gencar dan meluas karena telah dilegalkan oleh negara.
Kedua, melegalkan perzinaan. Dalam pandangan Islam, nikah beda agama haram dan tidak sah. Konsekuensinya, pelakunya dinilai berzina. Maka, bagaimana bisa meraih tujuan pernikahan sakinah mawaddah wa rahmah dalam tindakan berbalut kemaksiatan?
Ketiga, liberalisasi hukum Islam berujung pada deislamisasi. Pembolehan ini akan menjadi pintu untuk meruntuhkan banyak ketentuan Islam, terutama yang terkait dengan akibat pernikahan seperti hukum waris, perwalian, nafkah, hubungan pria wanita dalam pernikahan, dan sebagainya
Keempat, merembet pada tuntutan agar ragam pernikahan yang dilarang Islam juga dilegalkan. Misalnya, pernikahan sedarah, pernikahan sejenis, dan praktik perzinaan lain akan minta dilegalkan.
Kelima, menurunkan loyalitas dan ketaatan Muslim pada Allah SWT. Muslim/Muslimah pelaku nikah beda agama berpotensi tergerus loyalitasnya pada agama Islam. Alih-alih demi toleransi pada pasangannya, ia akan melonggarkan keterikatan pada syariat Allah dan Rasul-Nya. Saat larangan Allah untuk nikah beda agama saja dilanggar, bagaimana ia akan mampu menjalankan syariat Islam lainnya?
Keenam, melahirkan generasi yang lemah agamanya. Perbedaan agama pasangan tentu berakibat pada perbedaan visi misi atau cara pandang mereka terhadap kehidupan. Berikut berpotensi memunculkan pola asuh berbeda. Bagaimana mungkin akan lahir generasi berkepribadian Islam yang khas dan mumpuni dari pernikahan gado-gado seperti ini?
Ketujuh, mengokohkan eksistensi sistem sekularisme liberalistik. Maraknya nikah beda agama lambat-laun akan dianggap sebagai peristiwa biasa. Kemaksiatan yang dilakukan terus-menerus akan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Masyarakat akan terbiasa dengan praktik penyimpangan agama. Hal ini kian mengeksiskan praktik sistem sekularisme liberalistik.
Demikianlah dampak buruk terhadap kehidupan Islam dan kesakralan lembaga pernikahan jika nikah beda agama dibolehkan. Sekarang belum tegas dilegalkan saja pernikahan campur ini telah marak, apalagi jika dilegalkan.
Strategi Islam Mengatur Pernikahan Kedua Pihak yang Dilatarbelakangi Perbedaan Agama
Jika kita cermati, sesungguhnya upaya gugat menggugat aturan agama bahkan yang sudah jelas dalilnya akan terus berlangsung selama sistem demokrasi diterapkan di negeri ini. Sistem demokrasi memberi peluang untuk seseorang berpendapat sekehendak hatinya karena demokrasi menganut prinsip kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan perpendapat dan kebebasan bertingkah laku. Maka wajar seseorang mengeluarkan pendapatnya walaupun bertentangan dengan Islam.
Sistem Islam sangat berbeda dengan demokrasi. Perkataan dan perbuatan seorang Muslim wajib terikat dengan hukum syara’. Dia tidak bebas melakukan sekehendaknya, termasuk yang terkait dengan hukum pernikahan beda agama bahwa kaum Muslim dan Muslimah haram menikah dengan kaum musyrik.
Allah SWT berfirman: “Janganlah kalian menikahi para wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita Mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan kaum musyrik (dengan para wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya…” (QS. Al-Baqarah [2]: 221).
Maka, strategi Islam mengatur pernikahan kedua pihak yang dilatarbelakangi perbedaan agama adalah pertama, setiap Muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah SWT. Bukan pada hawa nafsunya meski berdalih cinta atau hak asasi manusia.
Kedua, memahami bahwa perkawinan wanita mukmin dengan pria kafir adalah haram secara mutlak. Perkawinan pria mukmin dengan wanita musyrik (selain Yahudi dan Nasrani) juga haram.
Ketiga, memahami perkawinan pria mukmin dengan wanita ahlul kitab adalah halal/boleh, namun dibatasi hanya dengan wanita ahlul kitab yang muhshanât yaitu ‘afîfât (yang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya).
Di tengah dunia yang didominasi oleh kebebasan berperilaku, perempuan mengumbar aurat, pergaulan bebas merajalela, perbuatan mendekati zina bahkan zina terjadi di mana-mana, rasanya sulit memenuhi sifat afîfât itu. Apalagi harus disadari bahwa meski dibolehkan, perkawinan pria Muslim dengan wanita ahlul kitab yang muhshanat tetap bisa mendatangkan banyak persoalan di kemudian hari.
Keempat, menyuarakan tentang keharaman pernikahan beda agama serta dampak buruknya bagi kehidupan umat Islam dan kesakralan lembaga pernikahan. Jika pernikahan campuran saja difasilitasi, maka hendaknya kita menjadi fasilitator bagi sampainya kebenaran Islam di tengah masyarakat.
Kelima, menyadari bahwa maraknya pernikahan beda agama adalah buah penerapan sistem demokrasi liberalistik. Selama sistem tersebut eksis, pernikahan gado-gado dan segenap kemaksiatan lainnya akan terus berlangsung.
Oleh karena itu, jika menginginkan pernikahan beda agama tak terjadi lagi, berikut manusia lepas dari kondisi rusak dan merusak, solusi totalnya ialah kembali pada aturan Ilahi dan menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Maka, berjuang menegakkan kalimat Allah SWT adalah jawabannya.
Oleh: Prof. Suteki (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)
0 Komentar