TintaSiyasi.com -- Gawat! Belum lama para tokoh dan aktivis seperti Rocky Gerung, Bivitri Susanti, Lieus Sungkharisma, Syahganda Nainggolan, Ferry Juliantono dan lainnya berkumpul membahas kondisi pelaksanaan konstitusi akhir-akhir ini terutama fenomena adanya upaya untuk melakukan penundaan pelaksanaan pemilu 2024.
Upaya itu dipastikan melawan konstitusi. Jika tidak ada kekuatan lagi yang mampu mencegahnya, maka pilihan satu-satunya adalah people power.
Kali ini kita akan berbincang masih seputar perpanjangan masa jabatan Presiden dan penundaan pemilu yang mestinya melalui proses hukum berupa amandemen UUD 1945, yang greget-nya sempat makin santer. Pertanyaan besarnya adalah: apakah amandemen UUD dalam rangka perpanjangan masa jabatan dan penundaan pemilu justru akan membahayakan demokrasi dan memicu revolusi?
Sebagaimana dikonsepsikan oleh Gustav Radbruch, hukum punya tiga nilai dasar keberlakuannya sekaligus menjadi muara dari hukum itu ditegakkan. Ketiga nilai dasar itu disebut dengan Triadism. Triadisme itu adalah:
Pertama, secara filosofis: nilai keadilan (justice)
Kedua, secara yuridis: nilai kepastian (certainty)
Ketiga, secara sosiologis: nilai expediency (kebaikan, kebijaksanaan (wisdom, kemanfaatan (utility) dan lain-lain).
Pertanyaannya adalah: apakah hukum kita sudah memenuhi nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan, khususnya terhadap kesejahteraan sosial atau social welfare yang oleh Brian Tamanaha disebut sebagai "the thickest ROL"?
Ketika tiga nilai dasar hukum tersebut belum dapat diwujudkan, misalnya adanya fakta: disktiminatif (non equality before the law)---the unjust law is not law--lex injusta non est lex, ngaret, ketimpangan, kesengsaraan, kemiskinan, ketidakbebasan, opresi, persekusi, dan juga sikap otoritarian, dan lain-lain.
Adanya "Lack" pada ketiga nilai dasar tersebut dapat menggerus modal sosial yang berupa "trust" sehingga menjadi distrust. Distrust akan menjadi trigger munculnya sikap disobidience.
Pada bulan Mei 2019 di Indonesia sempat muncul issue untuk melakukan people power untuk merevolusi kondisi negeri Indonesia. Namun, diyakini "cost"-nya terlalu mahal sehingga tidak terjadi oleh karena pemerintah juga melarangnya dengan penjagaan yang sangat ketat. Secara teoretik sebenarnya ada cara lain untuk memprotes kebijakan suatu tata pemerintahan yakni dengan melalukan civil disobidience.
Civil disobidience bisa jadi dapat mengganti peran people power yg "cost"-nya lebih kecil dari pada people power. Sebagai sebuah teori tentu sifatnya sangat umum dan bagaimana praktik di lapangan tentu disesuaikan dengan situasi dan kondisi, in context.
Selain distrust, civil disobidience juga dapat disebabkan oleh karena authoritarianism, yaitu penggunaan dan pengutamaan pendekatan kekuasaan dalam menyelenggarakan pemerintahan. Dan akhirnya authoritarianism ini dapat menyebabkan timbulnya democracies will die. Dalam bukunya How Democracies Die, Levitsky dan Ziblatt menyatakan bahwa "Donald Trump’s presidency has raised a question that many of us never thought we’d be asking: Is our democracy in danger? Harvard professors Steven Levitsky and Daniel Ziblatt have spent more than twenty years studying the breakdown of democracies in Europe and Latin America, and they believe the answer is "yes"." Authoritarianism is the one factor that cause how democracies die?
Apa pun bentuknya, dapat diprediksikan bahwa inequality before the law dapat memicu terjadinya civil disobidience. Bila negara tidak ingin ada disobidience, maka pemerintah harus berbuat adil serta tidak otoriter kepada rakyatnya.
Sikap otoritarian selain membahayakan demokrasi juga dapat menjadi sebab disobidience, mungkin secara tidak langsung. Pemimpin yang otoriter memang "ditakuti" oleh anak buahnya karena cenderung menggunakan "tangan besi" dalam menyelesaikan konflik yang dihadapinya.
Karakter ototitarian ini dapat dijumpai di berbagai lingkaran kekuasaan, termasuk di lingkaran kekuasaan militer. Bila karakter otoritarian itu merembet ke lingkaran kekuasaan lainnya, bahkan massif terjadi, maka tidak menutup kemungkinan rakyat mengangkat "sumpah" untuk tidak taat lagi kepada pemerintahnya. Apa artinya pemerintah tanpa dukungan rakyatnya, atau taruhlah 50 persen rakyatnya melakukan "pembangkangan", maka dapat diprediksikan pemerintahan negara ini akan collaps!
Ketika keadaan ini terjadi, maka sebenarnya "penguasa itu" telah kehilangan kepercayaan (trust) rakyatnya. Padahal sebagaimana pernah diungkapkan oleh Mahfud MD, bahwa pemimpin yang tidak lagi dipercaya oleh rakyatnya mestinya malu dan mengundurkan diri. Kita bisa baca hal ini pada Tap MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Pada bagian Etika Politik dan Pemerintahan ditegaskan bahwa;
"Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara".
Akankah kita menjumpai keadaan seperti itu? Kemungkinan terjadi sangat kecil, tetapi tauladan pernah diberikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 di mana beliau berkenan mengundurkan diri karena merasa tidak mampu dan tidak dipercaya lagi oleh rakyat dalam menyelesaikan persoalan bangsa dan negara waktu itu. Itu karakter seorang ksatria, bukan?
Sebaliknya, karakter kekuasaan yang otoritarian dalam rangka mempertahankan kekuasaan sebuah rezim (status quo) justru akan semakin melunturkan trust rakyat yang akan memicu terjadinya civil disobidience atau bahkan people power.
Rakyat mencatat dengan rapi bagaimana DPR dan Pemerintah tidak mau mendengar aspirasi rakyat terkait dengan revisi UU KPK, pembuatan UU Covid, UU Minerba hingga yang sangat fenomenal adalah UU Omnibus Law Cipta Kerja yang masih banyak salah ketik dan kritik tapi sudah diketok. Saya sempat mengatakan: DPR dan Presiden stubbrorn!
Kini, sebagaimana kita ketahui, ada 2 hal yang diisukan akan diamandemen di Konstitusi kita yang tampaknya juga mengindikasikan adanya "keras kepala-nya" para pejabat kita di DPR, Pemerintah dan bahkan MPR. Kedua issue itu adalah:
Pertama, perihal masa jabatan Presiden
Terkait dengan isu amandemen masa jabatan Presiden 3 periode, maka paramater yang dipakai untuk membuktikan bahwa suatu rezim otoriter atau demokratis adalah: apakah rezim suka mengubah UU demi melanggengkan kekuasaannya atau tidak?
Kedua, perihal PPHN
Saya sependapat dengan Hamdan Zoelva yang mengkritik wacana amendemen UUD 1945 yang disuarakan MPR. Sungguh benar bahwa mengubah konstitusi tak bisa sembarangan. Tidak ada urgensi negara untuk melakukan amandemen UUD 1945 pada saat ini.
Jika DPR, MPR dan Presiden "nekad" melakukan amandemen yang tidak ada urgensinya, maka jangan disalahkan jika rakyat membalasnya dengan civil disobidience bahkah Tarmidzi Yusuf memperkirakan lebih dari civil disobidience. Di akhir artikel yang bertitel: amandemen kelima UUD 1945 berpotensi memicu revolusi tertanggal 3 September 2021 ia menyatakan:
"Di tengah-tengah krisis kepercayaan terhadap MPR, DPR, Presiden dan partai politik bisa memantik revolusi bila amandemen kelima UUD 1945 dipaksakan, tanpa mau mendengar suara rakyat. Rakyat sebenarnya sudah muak dengan kondisi negara saat ini. Suara-suara penolakan terhadap amandemen kelima UUD 1945 semakin bergaung kencang. Selentingan seruan people power mulai terdengar di sosial media".
Pada akhirnya, semua pihak harus berpikir ulang untuk dipaksakanya amandemen ke-5 ini bila tidak ingin negara demokratis ini berubah menjadi negara diktator otoriter yang seolah konstitusional.
Sudahlah penegakan hukum buruk (terkait dengan kasus HRS, 6 anggota laskar FPI, aktivis KAMI, kriminalisasi ulama dan lain-lain) ditambah dengan kesan stubborn nya para wakil rakyat (DPR, MPR dan Presiden), maka apakah tidak mungkin kekhawatiran terbukti. Rakyat diam (civil disobidience) atau bergerak (people power) untuk menarik kembali amanat yang dulu telah diberikan kepada para wakil rakyat yang dipilihnya dulu.
Sikap civil disobidience atau pun people power dapat berakhir dengan chaos berkepanjangan. Jika demikian, maka bisa diprediksikan demokrasi kita dalam bahaya. Kita tentu tidak ingin hal itu terjadi bukan?
Tabik...!!!
Semarang, Sabtu: 12 Maret 2022
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hu.
0 Komentar