TintaSiyasi.com -- Era reformasi telah berjalan dua puluh empat
tahun sejak 1998. Benarkah tujuan kemerdekaan 1945 sudah jauh
diselewengkan orang menjauh dari cita-cita proklamasi?
Hari-hari
terkahir ini seluruh ruang dipenuhi wacana penundaan pemilu dengan
demikian berimbas pada perpanjangan masa jabatan presiden, DPR dan DPD.
Sementara berdasarkan Pasal 4 ayat 1 UUD 45, Presiden RI memegang
kekuasaan pemerintahan menurut UUD dan tata cara pemilihannya diatur
dalam undang-undang sesuai Pasal 6A ayat 5 UUD 45.
Kemudian
dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Sebagai
negara hukum, semua pihak harus menyadari bahwa ada aturan dasar yang
harus dipatuhi, yakni konstitusi. Semua aturan dan ketentuan konstitusi
harus dianggap final dan mengikat secara mutlak, tidak bisa diutak-utik
lagi oleh siapapun, kecuali dengan mekanisme konstitusional melalui
amandemen UUD 45 oleh lembaga tinggi negara Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) RI. Termasuk perihal pengunduran pemilu pun harus dalam
bingkai konstitusional. Tidak boleh dilakukan secara "bar-bar", terkesan anarkhi.
Kita
dapati berita ada beberapa Menteri dan para Ketua Umum partai politik
pendukung Jokowi yang menggulirkan usulan perpanjangan masa jabatan
Presiden Jokowi. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa para penyelenggara
negara itu tidak memahami sama sekali konstitusi UUD 45 terkait aturan
dalam Pasal 7A.
Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya apabila terbukti
telah melakukan pelanggaran konstitusi (UUD NRI 1945). Presiden Jokowi
bisa dimakzulkan atau dipecat (impeachment), jika terbukti ikut
serta dalam upaya inkonstitusional memperpanjang masa jabatannya dengan
melanggar aturan yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 UUD 45.
Tak
pelak, seorang ahli Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra turut
meramaikan perbincangan soal pengunduran pemilu. YIM menawarkan tiga
jalan yang dapat dilakukan untuk mengundur pelaksanaan pemilu dari lima
tahun menjadi enam tahun, tujuh tahun atau dalam waktu tertentu, yaitu
dengan:
Pertama, amandemen UUD NRI (perubahan dan penambahan). Kedua, dekrit Presiden; atau ketiga, membuat konvensi baru dalam praktik penyelenggaraan negara.
Semua
cara memiliki risiko besar karena terkesan negara ini tanpa haluan
negara yang mapan. Hari-hari ini bangsa Indonesia benar-benar terkesan
menjadi bangsa yang "bar-bar" dan anarkhi serta terkesan Suka-Suka Kami (SSK) dalam menjalankan pemerintahan negara.
Kita sudah kehilangan arah serta tidak tentu haluan mana yang hendak diikuti.
Atau
Anda pun akan bertanya, ibarat sebuah bahtera raksasa, Republik ini
sebenarnya sudah berlabuh di mana? Apakah semakin mendekat atau menjauh
dari apa yg kita harap dan cita-citakan? Sri Bintang Pamungkas bahkan
menyatakan bahwa Republik ini sudah berantakan tidak karuan.
Pengkhianatan
dan penjajahan, bahkan di antara anak bangsa sendiri, sudah terjadi di
mana-mana. Apalagi sudah masuk pula penjajah asing dan aseng.
Bahkan,
semua sila dari dasar negara ini pun sudah nyaris berantakan, apalagi
cita-cita. Nasib dan hari depan bangsa juga sudah tidak jelas. Soal
ekonomi, sosial, budaya, demokrasi yang semu tirani (pseudodemocracy). Inikah alasan MPR mau mengajukan proposal amandemen terhadap hukum dasar kita?
Saudara
sekalian, sebagaimana diketahui bahwa hukum dasar itu ada dua, yaitu
hukum dasar tertulis (konstitusi) dan hukum tidak tertulis (konvensi).
Konstitusi itu bukan peraturan perundang-undangan biasa yang mudah untuk
diubah dan dijalankan semau rezim yang berkuasa.
Ada
yang berpendapat bahwa "demi keselamatan rakyat, konstitusi dapat
dilanggar". Padahal UUD NRI 1945 sebagai Konstitusi negara RI juga
memuat dalil atau prinsip salus populi suprema lex esto. Oleh karena itu dalam implementasinya, penerapan dalil "salus populi suprema lex esto" dapat terjadi penyimpangan oleh rezim yang lebih mengutamakan kekuasaan dibandingkan hukum.
Dalil
itu terkesan sebagai alasan pembenar dari semua tindakan dan
kebijakannya meskipun secara konstitusional tidak benar. Apalagi
kebijakan dan tindakan rezim itu didasarkan atas penerapan prinsip
"negara tidak boleh kalah" secara keliru. Oleh karenanya, penerapannya
dalil “keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi” ini perlu
dipertanyakan dan dikritisi agar tidak disalahgunakan oleh rezim yang
cenderung berwatak otoriter konstitusional.
Saudara sekalian, ingatan kita saya kira belum hilang soal adanya beberapa rentetan kejadian tragis, masa lalu:
Pertama, penculikan dan penembakan "terduga" preman dengan istilah "petrus", penembak misterius pada zaman Orba;
Kedua, penculikan aktivis di masa Orde Baru yang belum menemukan titik terang hingga hari ini.
Ketiga, munculnya korban jiwa dalam aksi penyampaian aspirasi yang masih marak terjadi hingga di era Reformasi ini. Keempat, pencabutan Badan Hukum dan pembubaran Ormas yang cenderung sewenang-wenang.
Kelima, meninggalnya sekitar enam ratus hingga tujuh ratus orang penyelenggaara pemilihan umum (PEMILU) serentak 2019;
Keenam, unlawfull killing (extrajudicial killings) atas emam anggota laskar FPI;
Ketujuh, penangkapan
dan penahanan aktivis dan ulama yang dianggap berseberangan dengan
pemerintah yang patut diduga dilakukan secara diskriminatif dan
sewenang-wenang.
Beberapa peristiwa hukum dan
politik tersebut di atas menimbulkan keraguan terhadap ketepatan
penerapan dalil “keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi” oleh
Pemerintah, bahkan cenderung sebagai back up atas prinsip "negara tidak boleh kalah".
Dengan demikian, konstitusi kita yang sebenarnya telah menganut asas, dalil "salus popili suprema lex esto" pun dapat "dikangkangi" oleh rezim yang cenderung berwatak otoriter konstitusional tersebut.
Lalu
apa gunanya konstitusi? Celaka betul rakyat negeri ini, sudah diminta
agar bergeser dari kitab suci ke konstitusi dalam bernegara, ternyata
konstitusi pun hendak digeser demi kepentingan pemerintah yang hendak
membenarkan kebijakannya atas dalil "salus populi suprema lex esto".
Menurut saya, konstitusi tidak boleh dilanggar atas dalil "salus populi suprema lex esto"
mengingat dalil itu justru telah dianut oleh konstitusi kita sendiri,
mulai dari pembukaan hingga ditetapkan dalam pasal-pasalnya.
Alasan
lainnya, konstitusi harus tetap dipatuhi selama belum ada amandemen
terhadapnya dan jika dilakukan amandemen pun ada hukum yang lebih hakiki
di negara bangsa religius (religious nation state), yakni kitab suci dan hukum alam.
Anda mungkin masih ingat dengan buku How Democracies Die
karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Banyak pemimpin awalnya
berwajah polos dan lugu, pelan tapi pasti lalu menjadi otoriter setelah
memimpin dalam rangka mempertahankan kekuasaannya.
Segala
cara akan dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan oligarkisnya,
termasuk menggunakan instrumen hukum sebagai alat untuk melegitimasi
seluruh tindakan politik, salah atau pun benar. Termasuk melalui
amandemen konstitusi.
Salah satu indikator rezim otoriter itu adalah:
Reject of (or weak commitment to) democratic rule of the game (penolakan (atau lemah komitmen) terhadap sendi-sendi demokrasi).
Parameternya, antara lain: Apakah mereka suka mengubah-ubah UU?
Bagaimana dengan rezim Inonesia kini? Sebagaimana kita ketahui, ada dua hal yang diisukan akan diamandemen di konstitusi kita:
Pertama, terkait
dengan isu amandemen masa jabatan presiden tiga periode, maka paramater
yang dipakai untuk membuktikan bahwa suatu rezim otoriter atau
demokratis adalah: apakah rezim suka mengubah UU demi melanggengkan
kekuasaannya atau tidak?
Masa jabatan Presiden mengalami perkembangan sebagai berikut:
1. Sesuai dgn UUD 1945 asli: Pasal 7: Presiden memegang kekuasaan selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
2. Penyimpangan praktik pada masa Orde Lama: seumur hidup dengan TAP MPRS No. III/MPRS/1963.
3.
Pelaksanaan konktekstual di Orba: kata dan sesudahnya dapat ditafsirkan
tanpa batas, hingga tiga puluh dua tahun masa kepemimpinan Presiden
Soeharto.
4. Pembatasan dua kali di masa Reformasi dengan Amandemen UUD 1945.
5.
Wacana tiga kali periode, atas dasar kegentingan apa selain kemauan
untuk kembali mundur pada prinsip pelanggengam kekuasaan?
Sebagaimana
beredar di media sosial, wacana jabatan tiga periode ini kembali jadi
hangat setelah M. Qodari (Dir. Indo Barometer) mengangkatnya.
Di
sisi lain konon pihak istana tak setuju wacana itu dengan bukti melalui
jubirnya Fajrul Rahman yang menyatakan bahwa Presiden Jokowi memegang
teguh UUD 1945 (Pasal 9) yang membatasi memegang jabatan presiden selama
dua periode (Pasal 7).
Benarkah Presiden
Jokowi menolak wacana ini, ataukah wacana itu hanya diarahkah untuk
penyelamatan kekuasaan kroni oligarkisnya? Namun, kini tersiar kabar
baru bahwa Presiden Jokowi setuju untuk dilakukan amandemen terbatas
terhadap UUD. Apakah juga akan "menyerempet" masa jabatan Presiden?
Dari
sisi konstitusional, mestinya tidak mungkin Presiden Jokowi memegang
jabatan tiga periode karena jabatan yang sekarang diemban didasarkan
pada rezim aturan konstitusi yang membatasi masa jabatan paling lama dua
periode sejak Presiden Jokowi menjabat periode pertama tahun 2014.
Dalam
prinsip hukum modern (Marc Galanter) hukum itu tidak boleh berlaku
surut (retroaktif). Jika UUD 1945 sekarang diamandemen, maka amandemen
itu tidak boleh berlaku untuk masa jabatan presiden sebelum amandemen,
melainkan untuk pemilu presiden yang akan datang (2024).
Periode singkat atau panjang sebuah masa jabatan sebenarnya tidak penting selama negeri ini punya miles stone, punya road map,
punya haluan negara dalam bentuk apa pun sehingga siapa pun
pemimpinnnya berapa lama pun masa jabatan memimpin negara itu tidak
menjadi persolan karena road map-nya jelas.
Siapa
pun presidennya harus mematuhi roadmap atau haluan negara yang sudah
ditetapkan. Jadi, buat apa masa jabatan diubah dari dua periode menjadi
tiga periode jika hanya ingin melanggengkan kekuasaan yang terindikasi
otoriter namun tidak patuh pada road map atau haluan negara? Ingat, karakter otoritarianisme justru akan membunuh demokrasi itu sendiri.
Kedua, perihal PPHN
Saya
sependapat dengan Hamdan Zoelva yang mengkritik wacana amendemen UUD
1945 yang disuarakan MPR. Sungguh benar bahwa mengubah konstitusi tak
bisa sembarangan. Tidak ada urgensi negara untuk melakukan amandemen UUD
1945 pada saat ini. Apalagi, hampir dua tahun belakangan, negara tengah
dilanda pandemi Covid-19.
Taruhlah masalah
besar paling nyata adalah pandemi, kemudian akibat pandemi terjadi
masalah ekonomi, masalah akan bertambahnya penduduk yang miskin dan
masalaah sosial lainnya. Pertanyaannya apakah masalah itu karena
persoalan UUD 1945? Apakah betul krisis multidimensional di negeri ini
karena Indonesia tidak adanya GBHN atau PPHN?
Bukankah
soal pedoman pembangunan kita sudah mempunyai RPJP dan RPJM? Jadi
sebenarnya persolannya bukan ada atau tidak adanya GBHN, PPHN atau pun
RPJP yang tidak ditetapkan di dalam konstitusier tetapi konsistensi para
politisi terhadap konstitusi yang sangat minim. Negeri seolah
dijalankan tanpa kendali, berjalan seperti autopilot sementara cuaca
negeri sedang tidak baik-baik saja.
Boleh jadi
strategi politik dengan mengamandemen UUD 1945 seolah kita masih
membicarakan mantra-mantra demokrasi, namun sesungguhnya kita telah
terjerumus ke dalam kubangan rezim tiran yang merusak
(tyran-okhlokrasi).
Akhirnya terkait dengan rencana amandemen ini dapat dikatakan bahwa:
Pertama, jika
ada orang atau sekelompok orang yang mendorong seorang presiden yang
sudah menjabat dua periode berturut-turut untuk mencalonkan kembali
ketiga kalinya, maka patut diyakini mereka itu telah berupaya melakukan
makar terhadap konstitusi, UUD NRI 1945.
Kedua, upaya
menghidupkan kembali GBHN dengan PPHN bukan solusi terbaik. Yang
terbaik adalah segera ganti presiden dan ganti pengurus negara sembari
membenahi hukum yang hendak digunakan.
Intinya,
amandemen bukan solusi jika otak pemimpin negeri ini tidak
"diamandemen" atau "dihijrahkan" dari sekedar otak politisi otoritarian
menjadi otak negarawan sejati sehingga pola pikirnya tidak dalam masa
lima tahunan melainkan masa depan Indonesia.
Jadi,
sungguh berbahaya melakukan amandemen konstitusi dengan tujuan
penundaan pemilu di masa rezim yang berkarakter otoritarianisme, bukan?
Tolak segala upaya penundaan Pemilu tanpa "reserve"!
Takbir...!!!
Bogor, Senin: 28 Pebruari 2022
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat
0 Komentar